Magelang di Masa Pendudukan Jepang 1942 - 1945
Disusun ulang oleh : Agung Surono
Menurut letaknya, Magelang terletak antara 110˚- 01’- 51” Bujur Timur
dan 110˚- 26’- 56” Bujur Timur dan 7˚- 19’- 13” Lintang Selatan dan 7˚-
42’- 14” Lintang Selatan, dengan batas-batas yaitu sebelah Utara
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang, sebelah Timur Kabupaten
Boyolali dan Kabupaten Semarang, sebelah Selatan Kabupaten Purworejo dan
Kabupaten Sleman (DIY), sebelah Barat Kabupaten Temanggung dan
Kabupaten Wonosobo.
Secara administratif berdasarkan letaknya
termasuk daerah yang berada di tengah-tengah pulau Jawa. Seperti daerah
yang lain, Magelang merupakan suatu Kabupaten dan Kotamadya yang berada
pada Karisedenan Kedu dan menjadi Kota pusat dari Karisidenan ini. Yang
meliputi 5 Kabupaten dan 1 Kotamadya, yaitu Kabupaten Magelang,
Kabupaten Purworejo, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten
Kebumen dan Kotamadya Magelang sebagai pusat administrasi dan
pemerintahan Karisidenan Kedu.
Berdasrkan hal tersebut, magelang
merupakan kota yang cukup strategis karena menjadi jalur utama
penghubung kota-kota besar di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Setelah pendaratan pasukan Jepang di Kragan (Rembang).
Rembang berhasil dikuasai oleh Jepang tanggal 1 Maret 1942. Gerak maju
serangan pasukan Jepang kemudian dilanjutkan ke daerah lain. Gerak maju
invasi Jepang itu terus berlanjut dan berhasil menguasai Purwodadi pada
tanggal 3 Maret 1942. Dari Purwodadi kekuatan pasukan Jepang dibagi
menjadi dua. Pasukan pertama yang dipimpinoleh Yamamoto dan Matsumoto
bergerak melalui jalur Samberlawang terus menuju Surakarta. Pasukan yang
kedua dipimpin oleh Kaneuyi yangmelewati jalur Godong terus ke
Boyolali. Kedua pasukan Jepang ini nantinya akan bergabung kembali di
daerah Klaten. Dalam waktu yang singkat daerah-daerah tersebut mampu
ditaklukkan dan dikuasi oleh pasukan Jepang. Gerakan invasi pasukan
Jepang kemudian terus dilakukan hingga mampu menguasai Surakarta dan
Yogyakarta yang merupakan dua daerah istimewa di Jawa Tengah. Setelah
berhasil menguasai Yogyakarta, pasukan Jepang dibagi menjadi dua
pasukan. Pasukan yang pertama dipimpin Matsumoto maju melewati daerah
Magelang kemudian Temanggung terus hingga daerah Banyumas. Pasukan yang
kedua dipimpin oleh Yamamoto dan Kaneuyi yang ditugaskan menguasai
daerah selatan Jawa Tengah. Magelang berhasil dikuasai Jepang tanggal 6
Maret setelah Surakarta dan Yogyakarta dapat dikuasai sebelumnya oleh
Jepang pada tanggal 5 Maret 1942. Ketertarikan Jepang terhadap Magelang
dipicu karena potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Magelang yang
sangat melimpah. Ada beberapa hal yang menjadikan perlu untuk dikuasai.
Pertama, Magelang merupakan pusat produksi hasil pertanian (pangan)
berupa padi, sayuran dan buah-buahan serta tanaman komoditi (tembakau).
Kedua, sebagai pusat administrasi pemerintahan Kota Madya Magelang dan
Kabupaten Magelang. Ketiga, Magelang terletak di jalur transportasi
utama daerah-daerah yang memiliki perekonomian yang cukup baik dalam
bidang pertanian. Dengan menguasai Magelang maka mereka tidak perlu
merasa khawatir berkaitan dengan pemenuhan keperluan pasukan mereka
dalam berperang baik itu dalam masalah konsumsi pasukannya maupun untuk
bahan baku persenjataan. Magelang juga merupakan pusat pemerintahan
daripada Karesidenan Kedu yang meliputi daerah Kabupaten Temanggung,
Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Magelang sendiri.
Menguasai Magelang berarti Jepang dapat dengan mudah mengontrol dan
menggunakan potensi-potensi daerah-daerah yang termasuk ke dalam lingkup
Karesidenan Kedu dengan mudah, misal politik beras, dan perekrutan para
pemuda guna dijadikan pasukan perang guna membantu perang Asia Timur
Raya yang sedang dilakukannya. Dengan datangnya Jepang di Magelang
terjadi berbagai perubahan di dalam masyarakatnya.
Menurut
Undang-Undang Nomor 27 (Undang-Undang Perubahan Tata Pemerintahan
Daerah) seluruh pulau Jawa dan Madura, kecuali kedua Koci Surakarta dan
Yogyakarta, dibagi menjadi atas syu, syi, ken, gun, son, dan, ku. Daerah
syi sama dengan daerah stasdgemeente daerah ken sama dengan Kabupaten,
daerah gun sama dengan daerah kawedanan, daerah son sama dengan order
distrik atau kecamatan, dan ku sama dengan desa atau kelurahan. Selaku
kepala daerah syu, syi, ken, gun, dan ku masing-masing diangkat seorang
syuco, syico, kenco, gunco, dan kuco. Dengan pembagian diatas, maka
propinsi-propinsi seperti halnya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur di
hapuskan.
Pada masa pendudukan Jepang daerah Magelang sudah
termasuk Kabupaten atau ken yang mempunyai otonomi penuh dengan R.A.A
Sosrodiprodjo sebagai Bupati atau kenco Magelang. Kabupaten Magelang
adalah merupakan bagian dari Kerisidenan Kedu (syu kedu) dengan Residen
(syutyokan) Raden Panji Soeroso, yang membawahi Kabupaten Temanggung,
Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo, Kabupaten kebumen, Kabupaten
Magelang, dan Kotapraja (syi) Magelang.
Pada masa pendudukan
Jepang Jawa ditetapkan sebagai pemasok beras untuk pulau-pulau diluar
Jawa serta untuk keperluan medan pertempuran di Pasifik Selatan. Beras
yang didatangkan dari Jawa menjadi semakin penting karena semasa perang
angkutan jarak jauh dan perkapalan sangat sulit serta keamanan di laut
memburuk. Beras dari Jawa terkenal enak. Jepang berniat memprioritaskan
Pulau Jawa guna memenuhi kebutuhan akan beras. Dalam rangka
pelaksanaannya Jawa sebagai bagian dari lingkungan bersama Asia Timur
Raya mengemban dua tugas. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan sendiri
untuk tetap bertahan. Kedua, mengusahakan produksi bahan makanan untuk
kepentingan perang. Jaman penjajahan Jepang di mana rakyat diwajibkan
melaksanakan “wajib setor beras” ini juga biasa disebut ”Zaman
Kuintalan”, karena berasal dari kata Quintaal, yang berarti 100 Kg
(satuan berat yang diperkenalkan oleh Jepang). Para petani juga menyebut
jaman ini sebagai jaman penyetoran padi. Masyarakat diwajibkan untuk
menyetorkan sejumlah padi sebanyak yang telah ditentukan pemerintah
pendudukan dalam rangka mencukupi kebutuhan untuk perang. Jepang
menerapkan politik ekonomi yang desentralisasi. Dalam pelaksanaannya
Jepang memberikan tanggungjawab mengumpulkan semua kebutuhan ekonomi
pada pemerintah daerah. Setelah semua selesai baru kemudian dilaporkan
kepada pimpinan pusat pemerintahan pendudukan. Selama pendudukan Jepang
ini, untuk memperlancar kebijakan ekonomi Jepang secara terus menerus
mengumandangkan propaganda mengenai pelipatgandaan hasil pangan melalui
radio, surat kabar, penerbitan, ataupun pemutaran film. Untuk memenuhi
target kebutuhan akan beras bagi pasukannya yang sedang berperang Jepang
memerintahkan untuk membuka lahan baru yaitu dengan cara menebangi
hutan atau mengganti lahan perkebunan yang tidak bermanfaat bagi
pemenuhan kebutuhan perang untuk kemudian ditanami beras guna keperluan
perang. Jepang juga memperkenalkan cara penanaman padi yang baru
(larikan) yang tujuannya adalah untuk peningkatan hasil produksi beras.
Disamping rakyat dituntut untuk menyetor beras dan menaikkan
produksinya, mereka masih dibebani pekerjaan tambahan yang bersifat
wajib, seperti menanam dan memelihara jarak (Poesponegoro dan
Notosusanto [ed], 1993:49).
Untuk mengontrol dan upaya menaikkan
hasil produksi beras di desadesa, Jepang membentuk Kumiai(koperasi).
Fungsi dari koperasi ini adalah untuk menampung beras yang berasal dari
masyarakat terutama karena adanya wajib setor beras, juga sebagai sarana
penyebar informasi berkaitan dengan kebijakan perekonomian Jepang.Beras
yang akan diberikan pada Jepang dikumpulkan melalui perangkat desa
(Kepala Desa) atau melalui badan desa bentukan Jepang (Sidoing).
Sidoingini nantinya yang akan mengumpulkan beras dengan cara mendatangi
rumah penduduk yang memiliki sawah untuk menarik beras. Penarikan beras
dilakukan seminggu sekali atau dua minggu sekali (Wawancara dengan
Bapak. Simhadi, 17 April 2007).
Beras yang telah berhasil
dikumpulkan oleh Sidoing disimpan di rumah Kepala Desa atau di koperasi
(Kumiai) yang kedudukannya biasanya menjadi satu dengan kelurahan.
Setelah itu para petugas Jepang akan mengmbilnya untuk kemudian disimpan
di tangsi-tangsi penyimpanan beras mereka. Salah satu tangsi
penyimpanan beras Jepang yang ada di Magelang antara lain berada di
Komplek SECABA (Sekolah Calon Bintara) di jalan Ahmad Yani Magelang
(Wawancara dengan Bapak Sabar18 April 2007). Tetapi secara umum tangsi
penyimpanan beras Jepang memang ditempatkan di daerah komplek militer
dan sangat dirahasiakan. Itu bertujuan untuk keamanan dan jaminan
keraha-
siaan.
Beras yang mereka simpan itu nantinya akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pasukan Jepang yang sedang
berperang. Beras itu nantinya akan dikirimkan dengan menggunakan kereta
api atau truk. Sewaktu akan dilakukan pengiriman beras, pemerintahan
Jepang di Magelang akan membunyikan sirine (oleh pemerintah Jepang
digunakan sebagai pemberitahuan adanya musuh yang datang dan rakyat
disuruh sembunyi). Bagi rakyat Magelang yang sedang ada di pinggir jalan
diwajibkan untuk membalikkan badan pada saat truk atau kereta api itu
akan lewat agar rakyat tidak mengetahui apa yang diangkut di dalamnya.
Apabila ada yang menoleh atau melihat maka dia akan dihukum, biasanya
berupa pukulan atau tendangan (Wawancara dengan Bapak. Rachmat, 17 April
2007).
Kebijakan keuangan Jepang yang berusaha mempertahankan
nilai gulden atau rupiah Hindia Belanda guna mempertahankan harga
barang-barang agar dapat dipertahankan seperti sebelum perang dan untuk
mengawasi arus lalu lintas permodalan dan kredit tidak efektif.
Terjadilah inflasi yang sangat parah terhadap Indonesia. Pada masa ini
nilai tukar uang menjadi semakin kecil karena uang dibuat semakin banyak
sehingga membuat nilai tukarnya menurun. Pada masa Jepang proses
pembuatan uang dipusatkan di Yogyakarta. Bahkan, karena sangat kecilnya
nilai tukar uang pada masa itu akibat adanya inflasi, gaji yang diterima
orang Indonesia yang bekerja di pemerintah Jepang per bulannya nilainya
sama dengan harga sebuah nangka. Selain kebijakan itu Jepang juga
memberlakukan kebijakan wajib bayar pajak yang diambil dari berbagai
sumber misal pajak tanah, pajak produksi, atau juga pajak penghasilan.
Selain itu, para petani di Magelang juga diwajibkan untuk melaksanakan
kebijakan “tanam-wajib” lainnya yaitu menanam rami dan jarak (Wawancara
dengan Bapak. Simhadi, 17 April 2007).
Apabila dibandingkan antara
tingkat perekonomian pada masa Jepang dengan masa Belanda, Bapak
Simhadi, Bapak Rachmat maupun Bapak Sabar sama-sama mengatakan bahwa
pada masa Belanda lebih baik daripada masa Jepang, meskipun sama-sama
dalam kondisi terjajah. Pada masa Belanda apa-apa ada (barang keperluan
sehari-hari selalu ada), sedang pada masa Jepang kebalikannya (tidak ada
atau sulit dicari). Pada dasarnya pada masa Jepang apa-apa yang ada
dianggap milik Jepang atau setidaknya boleh digunakan oleh Jepang.
Jepang juga memberi perhatian terhadap masalah sosial ekonomi
kemasyarakatan. Pemerintahan pendudukan Jepang melakukan beberapa
perubahan, terutama berkaitan dengan masalah sosial ekonomi
kemasyarakatan itu. Di masa pendudukan Jepang, organisasi pedesaan
secara langsung dihubungkan dengan dunia luar dalam pengertian politik,
ekonomi dan spiritual (Kurasawa dalam Nagazumi, 1988: 83). Struktur
otoritas di daerah pedesaan juga dirubah. Selama pendudukan Jepang,
kepala desa dan para pembantunya diperlakukan sedikit lebih baik seperti
wakil pemerintah pusat, dan menjalankan perintah dari atas untuk
keuntungan pengusaha penjajahan (Kurasawa dalam Nagazumi, 1988: 84).
Pada masa pendudukan Jepang ini struktur sosial di daerah pedesaan
berubah. Para pejabat pamong praja (pangreh praja) beserta stafnya
berada di puncak hierarkhi sosial. Mereka pada umumnya adalah berasal
dari kota yang tidak berminat pada sektor pertanian di pedesaan.
Selama
masa pendudukan itu seorang Kepala Desa dan perangkatnya diperlakukan
sebagai alat pemerintah pusat, alat penguasa sehingga mereka menjalankan
perintah dari atas untuk keuntungan Jepang (Soemarmo, 2001: 51).
Mereka
diberi tugas untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah
pendudukan Jepang di tingkat pedesaan. Tugas mereka antara lain
mengumpulkan beras dari warga desa, merekrut romusha, merekrut para
pemuda/pemudi untuk mendapat didikan militer guna keperluan perang
Jepang.
Di antara penduduk dari golongan petani, kepala desa dan
para pembantunya mempunyai prestisesosial yang sangat tinggi. Diluar
kelompok pamong desa, stratifikasi sosial didasarkan atas kepemilikan
tanah, yang menempati golongan pertama masyarakat ini adalah kuli
kenceng, mereka yang memiliki sawah yang mudah dialiri. Kelas ini juga
mencakup mereka yang memiliki tanah kering yang mudah ditanami tetapi
status mereka berada di bawah para pemilik tanah. Tingkat sosial di
bawahnya adalah kuli karangkopek, yang memiliki tanah hanya pekarangan.
Berikutnya adalah kuli indung, yang sama sekali tidak memiliki tanah
tapi punya rumah. Kelas terakhir adalah indung tlosor, yang tidak punya
tanah maupun rumah dan menumpang pada keluarga lain dan bekerja untuk
mereka (Soemardjan, 1981: 41).
Pada masa pendudukan Jepang ini
nasib petani tak banyak berbeda. Mereka berada di tingkat paling bawah
dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Sangat sulit bagi mereka
untuk merubah posisi mereka karena kewajiban yang harus dipenuhi. Tak
ubahnya pada masa pendudukan Belanda, pada masa pendudukan Jepang juga
tak jauh berbeda. Terjadi peralihan kepemilikan tanah di dalam
masyarakat dari para petani ke pemerintahan pendudukan Jepang di
Magelang (Wawancara dengan Bapak Sabar 18 April 2007).
Perubahan
stratifikasi sosial berlangsung di masyarakat dimana orang Jepang
menduduki kelas tertinggi. Kelas berikutnya ditempati oleh orang-orang
Eropa terutama sekutu dari Jepang. Kelas berikutnya adalah orang
Indonesia. Kelas terbawah adalah orang-orang Belanda dan sekutunya
(orang-orang Cina). Penduduk keturunan Cina di Muntilan dibenci oleh
Jepang karena dianggap sebagai kaki tangan Belanda pada masa itu.
Perubahan ini juga diikuti adanya perubahan sosial sehari-hari.
Pada
masa pendudukan Jepang bagi masyarakat Tionghoa sangat terbatas sekali.
Segala tindak tanduknya di awasi betul oleh Jepang. Termasuk dengan 2
perkumpulan sosial Hoo Hap Hwee dan Sam Ban Hien tersebut (mengurusi
kegiatan sosial yaitu kematian, juga memiliki grup Barongsai dan Lion
Samsi. Nah pada setiap perayaan tahun baru Imlek, kedua grup seni ini
diadu keterampilannya). Karena itu kedua perkumpulan itu dilebur menjadi
satu dengan nama Song Soe Kiok. Maka sejak saat itu perkumpulan ini
hanya khusus menangani urusan kematian saja. Sedangkan lokasi atau
tempat dari perkumpulan ini berada di kawasan VOETPAT KARET, tepatnya di
depan seberang jalan dari rumah makan Es Murni di Jalan Sriwijaya
Bogeman.
Kebiasaan yang dilakukan orang Jepang setiap harinya
harus diikuti. Di Magelang sendiri juga demikian. Setiap hari ada
kewajiban yang harus dilakukan, yaitu mengikuti kebiasaan orang Jepang.
Kewajiban itu antara lain setiap pukul 7 pagi diharuskan menghadap ke
arah Timur menghadap matahari (memberi hormat kepada Dewa Matahari),
serta melaksanakan Upacara Tenno Heika menghadap arah Timur Laut
(memberi hormat kepada Kaisar Jepang). Kedua kewajiban ini harus
dilaksanakan oleh semua orang di mana saja mereka berada. Apabila ada
yang melanggar maka akan dihukum. Selain itu, rakyat Magelang juga
diwajibkan memberi hormat kepada setiap orang Jepang yang mereka temui
di jalan (Wawancara dengan Bapak Rachmat, 17 April 2007).
Ada juga
kewajiban untuk berolahraga (melakukan senam) bagi rakyat terutama bagi
para pemuda yang sedang mendapat pendidikan militer. Kegiatan olahraga
senam ini biasanya dilakukan secara bersama-sama di Stadion Tidar
(sekarang bernama Stadion Abu Bakrin). Pada waktu Jepang menduduki
Magelang hampir tidak ada pembangunan, kecuali membuat Stadion Tidar
yang dikerjakan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat, pegawai,
pejabat dan anak-anak sekolah
dan tentunya para romusha.
Kondisi
ekonomi sangat parah sebab segala hasil produksi disedot untuk
kepentingan perang. Kekayaan rakyat dikuras sampai ke “balung
sumsumnya”. Kemelaratan berkecamuk dan kelaparan berjangkit hampir di
seluruh Indonesia akibatnya timbullah golongan yang disebut “kere” atau
“gembel” dalam jumlah yang sangat besar. Untuk membangun prasarana
perang seperti kubukubu pertahanan, jalan raya, lapangan udara dan
lain-lain, Jepang memerlukan banyak tenaga kasar. Selain itu, diperlukan
juga tenaga kasar untuk bekerja di pabrik-pabrik dan
pelabuhanpelabuhan. Tenaga-tenaga inilah yang disebut romusha. Pulau
Jawa sebagai pulau yang padat penduduknya memungkinkan pengerahan tenaga
tersebut secara besar-besaran. Pada mulanya tugas-tugas yang dilakukan
itu bersifat sukarela, tetapi lama kelamaan karena kebutuhan yang terus
meningkat di seluruh Asia Tenggara, pengerahan tenaga yang bersifat
sukarela berubah menjadi paksaan. Beribu-ribu romushadikirim ke luar
Jawa bahkan ke luar Indonesia, seperti Birma, Muangthai, Vietnam dan
Malaya. Di Magelang tenaga romusha direkrut oleh Kepala Desa. Tenaga
romusha yang direkrut biasanya orang yang masih muda, sehat dan kuat.
Tenaga romusha yang direkrut ini berasal dari desa-desa yang ada di
Magelang. Mereka direkrut untuk membangun prasarana perang Jepang,
misalnya membangun gua-gua perlindungan dan persembunyian di
daerah-daerah pegunungan (misal di daerah Windusari, Kabupaten
Magelang), mambangun jalan bawah tanah sebagai alat pertahanan dari
serangan musuh (misal di daerah Jambon, belakang Koramil), memperbaiki
landasan udara yang ada di Bukit Tidar yang rusak karena politik bumi
hangus Belanda., Merusak jalan raya sebagai cara memperlambat musuh
(menghancurkan jalan raya atau minimal aspalnya harus mengelupas),
setiap jarak 1 Km pada jalan raya harus dibangun rugrat (lubang jebakan
sekaligus lubang persembunyian), membangun asrama bagi siswa sekolah
yang ada di Magelang (Wawancara dengan Bapak Sabar 18 April 2007).
Di
Magelang para romusha ini pada saat direkrut dijanjikan akan mendapat
bayaran setiap harinya. Tetapi pada pelaksanaannya tidak demikian. Para
romusha ini diperlakukan sangat buruk. Sejak dari pagi hingga petang
hari mereka diharuskan bekerja kasar tanpa makanan yang cukup (bahkan
tidak makan sama sekali) dan juga tanpa perawatan cukup. Bayaran uang
yang dijanjikan oleh Jepang tidak pernah ada. Romushamendapat jatah
makan tiap harinya, bukan berupa nasi (beras) melainkan berupa gronjol
atau tiwul (terbuat dari ketela) yang juga dianggap sebagai bayaran
mereka karena telah bekerja selama satu hari (Wawancara dengan Bapak
Sabar 18
April 2007).
Kondisi itu membuat para romusha
menderita kelemahan fisik, sehingga mereka tidak mampu bekerja lagi.
Jika diantara mereka ada yang berani beristirahat sekalipun hanya
sebentar maka hal itu akan mengundang makian atau pukulan dari pengawas
mereka yang orang Jepang. Masa istirahat yang diperbolehkan adalah pada
malam hari (tidur). Dalam keadaan fisik yang lemah membuat mereka tidak
tahan (rentan) terhadap penyakit. Karena tidak sempat memasak air minum,
sedangkan buang air di sembarang tempat maka mereka terjangkit wabah
disentri. Mereka juga terjangkit wabah malaria karena tidak bisa
menghindarkan diri dari serangan nyamuk (Poesponegoro dan Notosusanto
[ed], 1993:39).
Selain itu juga merebaknya penyakit beri-beri dan
kutu yang memperparah penderitaan rakyat Magelang. Banyak dari para
romusha ini yang mati karena koreng(infeksi luka). Selain mati karena
kekurangan makan dan penyakit akibat kerja kasar yang mereka lakukan
banyak romusha yang mati karena sengaja dibunuh untuk menjaga
kerahasiaan setelah membangun prasarana perang Jepang agar tidak
diketahui musuh. Mayat para romusha tergeletak dimana-mana dan dibiarkan
saja tidak ada yang mengurus. Pemandangan itu terlihat setiap hari dan
sudah biasa. Romushayang berasal yang dikirim ke daerah lain misal ke
Jawa Barat atau Jawa Timur atau juga ke luar Pulau Jawa seperti ke
Sumatra atau Kalimantan banyak yang tidak kembali. Bapak Sabar yang
merupakan mantan romusha merasa beruntung hanya dipekerjakan di wilayah
Magelang dan bisa bertahan. Temannya yang bernama Kirman tidak bisa
bertahan dan akhirnya meninggal pada saat membangun jebakan di sepanjang
jalan karena mendapat siksaaan dari tentara Jepang dan kekurangan makan
(Wawancara dengan Bapak Sabar 18 April 2007).
Penderitaan tidak
hanya diterima oleh para pemuda, tetapi juga para wanita. Oleh
orang-orang Jepang mereka dijadikan Jugunianfu (gundik), lebih
diutamakan adalah yang masih perawan. Mereka dijadikan pemuas hasrat
seksual pasukan Jepang. Orang-orang Jepang menjanjikan kepada para
wanita tersebut untuk kemudian dijadikan isteri dan akan dibawa ke
Jepang. Para Jugunian fuitu diambil dari desa atau kampung yang ada di
Magelang.
Dari sebuah dokumen yang berasal dari arsip
pemerintahan Belanda yang dibuat berdasarkan sebuah testimoni dari
seorang wanita Belanda di tahun 1946 . Wanita yang berumur 27 tahun ini
menceritakan tentang kamp wanita pekerja sex paksa di Magelang, Jawa
Tengah ketika itu. Wanita- wanita di kamp itu dinamakan dengan sinis
oleh Jepang dengan sebutan euphemisme "Jugun Ianfu" atau "comfort
woman".
Saat itu apabila ada orang Jepang yang tertarik kepada
seorang wanita maka dia berhak untuk memilikinya. Barang siapa yang
melawan atau mencegahnya maka orang itu akan dibunuh (Wawancara dengan
Bapak Rachmat 17 April 2007).
Akibat ini semua maka pada tahun
1943 jumlah penduduk Magelang berkurang sangat signifikan dikarenakan
terjangkitnya wabah cacar yang hampir terjadi di seluruh kecamatan dan
khususnya generasi muda yang di kirim ke Ujung Kulon sebagai romusha
oleh penjajahan Jepang. Kedua peristiwa ini tercatat dalam sejarah
pertumbuhan penduduk.
Sejak jaman penjajahan Jepang Magelang terkenal sebagai kota Garnisun
atau kota militer. Hal ini dapat di buktikan dengan banyaknya
peninggalan bangunan-bangunan militer sebagai pemusatan pasukan Jepang.
Para
pemuda Magelang selain direkrut untuk menjadi romusha juga direkrut
untuk menjadi tentara atau dididik kemiliteran dengan tujuan mengamankan
Magelang atau membantu Jepang dalam perang yang sedang dilakukan. Para
pemuda ini mendapat latihan kemiliteran terutama baris-berbaris.
Para
pemuda yang direkrut merupakan orang orang pilihan (berani dan kuat)
terutama yang ditunjuk untuk menjadi pasukan yang membantu langsung
Jepang dalam berperang. Ada beberapa pilihan yang ditawarkan para pemuda
itu, antara lain: (1) Menjadi pasukan militer Jepang yang mambantu
Jepang langsung dalam perang (HEIHO), untuk ditempatkan dalam organisasi
militer Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut; (2) Menjadi
pasukan PETA (berasal dari golongan masyarakat) yang bertugas
mengamankan Magelang. Bahkan, menjelang tahun 1945 di Magelang dibentuk
kompi yang beroperasi di daerah. Diadakan pendidikan atau penerimaan
prajurit tentara PETA angkatan pertama di Magelang. Pada saat itu baru
dapat terbentuk 2 batalyon atau Daidan. Dai Ici Daidan berkedudukan di
Gombong dan Dai Ni Daidan berkedudukan di Magelang dengan nama
lengkapnya Kedu Dai Ni Daidan atau Batalyon II Kedu (Wiyono,dkk, 1991:
30).
Dari kelurahan mereka dikirim ke kecamatan seterusnya dikirim
dan dikumpulkan di kawedanan, kemudian mereka diberangkatkan dari
pendopo Kabupaten Purworejo menuju tempat pendidikan di tangsi Tuguran,
Magelang (Wiyono,dkk, 1991: 29).
Salah satu putra Indonesia yang
memulai karier militernya di Magelang adalah Ahmad Yani beliau pada masa
penjajahan Jepang, Yani mengikuti pendidikan militer Jepang di
Magelang. Prestasinya begitu gemilang sampai-sampai Kapten Yanagawa,
pelatih Jepang, menaruh perhatian khusus pada Yani. Ketika lulus, Yani
pun menjadi siswa terbaik. Sebagai penghargaan, Yani diberikan sebilah
pedang samurai. Kemudian beliau diangkat sebagai Komandan Dai Ici Syodan
Dan San Cudan dari Dai Ni Daidan (Komandan Seksi 1 Kompi 3 Batalyon 2).
Jadi pelatihan militer ini bermanfaat bagi perjuangan hidup rakyat Magelang di masa depan.
Dapat
dikatakan bahwa terdapat tiga prinsip pokok pada kebijaksanaan di
bidang pendidikan yang dilakukan Jepang selama masa pendudukannya,
yaitu: (1) Pendidikan ditata kembali atas dasar keseragaman dan kesamaan
untuk seluruh kelompok etnis dan kelas sosial (berbeda dengan masa
kolonial Belanda yang membedakan pendidikan berdasar ras); (2) Secara
sistematis pengaruh Belanda dihapuskan dari sekolahsekolah, sedangkan
unsur-unsur kebudayaan Indonesia dijadikan landasan utama; (3) Semua
lembaga pendidikan dijadikan alat untuk memasukkan doktrin gagasan
Kemakmuran Bersama Asia Tenggara di bawah pimpinan Jepang (Lapian,
1988:87).
Kelompok masyarakat yang benar-benar mendapatkan
perhatian untuk digarap secara serius oleh pemerintah pendudukan Jepang
ialah kelompok pemuda. Meski berasal dari strata sosial yang
berbeda-beda mereka ini dihimpun dalam suatu organisasi yang sama.
Mengapa perhatian Jepang dicurahkan kepada kaum muda? Karena umumnya
pemuda memiliki sifat giat bekerja/kerja keras, dan semangat tinggi/yang
diliputi oleh idealisme yang tinggi. Mereka belum dipengaruhi oleh alam
pikiran Barat.
Pada masa pendudukan Jepang masalah pendidikan
tidak diperhatikan, tidak seperti pada masa Hindia Belanda. Jumlah
sekolah dasar menurun dari 21.500 manjadi 13.500, sekolah lanjutan dari
850 menjadi 20, Perguruan Tinggi/Fakultas terdiri dari 4 buah, dapat
dikatakan untuk berapa lama belum dapat melakukan kegiatan-kegiatannya.
Pendidikan bagi rakyat yang kurang diperhatikan ini mempengaruhi tingkat
intelektualitas mereka. Angka buta huruf tinggi sekali walaupun memang
ada di sana-sini dilakukan usaha untuk pemberantasan buta huruf. Sistem
pengajaran dan struktur kurikulum ditujukan kepada keperluan Perang Asia
Timur Raya (Poesponegoro dan Notosusanto [ed], 1983: 52)
Di
sekolah Bahasa Indonesia digunakan sebagai mata pelajaran utama. Bahasa
Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib. Kita sangat diuntungkan
dengan adanya peraturan itu, karena Bahasa Indonesia dapat berkembang.
Para siswa di sekolah tersebut juga dilibatkan dalam usaha yang
berkaitan dengan perang yang dilakukan Jepang. Sekolah pada saat itu
merupakan tempat indoktrinasi Jepang. Melalui pendidikan itu mentalitas
dan cara berpikir masyarakat dapat diubah dan dialihkan, dari mentalitas
Eropa kepada “alam pikiran Nippon” (Lapian, 1988: 87). Pendidikan yang
ada adalah untuk mempelopori dan membentuk kader bagi konsepsi untuk
memenangkan perang. Salah satu contoh indoktrinasi itu ialah bahwa
setiap siswa diharuskan bersumpah (Sumpah Pelajar) setia kepada Jepang.
Sumpah itu berbunyi: “ ware rawa sing njawani gaturowari, ware rawa
daeniponno sidhhonomoto, dai toak zeinozungzai tarangkotowok chiko, dai
toak kensetsu notomunimanaki ”(Wawancara dengan Bapak Rachmat 17 April
2007)
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah: “Kami pemuda
maju kedepan berani untuk menyempurnakan pembangunan dan kesejahteraan
Asia Timur Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, kami pemuda mementingkan
budi pekerti dan menjunjung tinggi peraturan seinendan, kami pemuda
berusaha sekuat-kuatnya dalam pekerjaan kami masing-masing dan maju
terus memperbanyak hasil usaha, kami pemuda mempertahankan Tanah Air
kami dengan sekuat tenaga sambil bekerja bersama-sama
sepenuhnyapenuhnya, kami pemuda menghargai semangat yang bersahaja dan
teguh, bersumpah akan melatih jasmani dan rohani, menuju cita-cita yang
tinggi.” Para pelajar atau pemuda Jawa itu secara otomatis dimasukkan
dalam organisasi Djawa Seinendan untuk dididik untuk fanatik dan
berpendirian ekstrim dengan latihan-latihan fasistis dan indoktrinasi
Jepang secara efektif. Di Magelang sendiri juga berdiri sekolahsekolah
Jepang, antara lain: (1) sekolah calon guru (shihan gakko); (2) sekolah
menengah pertama (tsu gakko); (3) sekolah pertanian (no-gakko); (4)
sekolah bahasa Jepang (zokyu nippono gakko).
Bagi Jepang Magelang
memiliki manfaat politis. Mengapa demikian? Karena Magelang terletak di
tengah-tengah dan mempunyai manfaat lebih dalam rangka mengawasi daerah
sekitarnya. Dengan menguasai Magelang sangat mudah mengontrol
daerah-daerah kekuasaan Jepang di sekitarnya karena Magelang terletak di
tengah jalur yang menghubungkan utara-selatan maupun timur-barat.
Magelang sendiri merupakan kota yang dapat disebut kota pendidikan
militer. Bekas gedung komplek Secaba sekarang pada masa Jepang dijadikan
tempat pendidikan kemiliteran dalam rangka merekrut pasukan perang baik
itu untuk Peta, Heiho, Seinendan, Keibodan guna membantu perang yang
dilakukan Jepang dalam lingkup se-Karesidenan Kedu. Pengaruh Pendudukan
Jepang terhadap Masyarakat Magelang Bagi masyarakat pedesaan, terutama
para petani kewajiban serah padi ini dirasa sangat berat. Para petani
diharuskan memenuhi kuota beras yang telah ditentukan pemerintah.
Penyerahan padi yang luar biasa besarnya ini telah menekankan kehidupan
ekonomi petani secara serius. Mudah diduga bahwa rakyat, yang selama
zaman Belanda hanya makan 60% saja dari apa yang dibutuhkan, terpaksa
harus lebih banyak lagi mengurangi konsumsi mereka, dan akan menderita
kelaparan. Kekurangan pangan yang juga terjadi secara langsung
jugaberdampak pada kesejahteraan petani. Bahkan, ini juga berdampak pada
tingkat kesehatan masyarakat yang buruk, banyak dari mereka yang
menderita penyakit beri beri, busung lapar, kudisan, dan lainlain.
Petani yang menanam padi tidak dapat merasakan hasil jerih payahnya
tetapi harus makan apa yang ada misalnya umbi, pohon pisang, kulit
pisang, kulit ubi kayu, batang pohon pepaya hanya untuk bertahan hidup,
padahal jelas bahwa apa yang mereka makan itu mengandung sangat sedikit
vitamin. Ini berdampak pada tingkat kesehatan masyarakat yang sangat
buruk, banyak dari mereka yang menderita penyakit beri-beri, busung
lapar, kudisan dan lain-lain. Tak berbeda dengan apa yang terjadi di
Magelang. Kehidupan Magelang sejak pendudukan Jepang sangat sulit
terutama dibidang perekonomian. Sebagian produk pangan rakyat dirampas
Jepang untuk memenuhi kebutuhan logistik mereka dan untuk biaya perang
melawan Sekutu.
Kondisi perekonomian Magelang sangat buruk pada
masa kekuasaan Jepang. Kebijakan wajib setor beras yang diberlakukan
oleh pemerintahan Jepang juga diberlakukan di Magelang. Para petani
diwajibkan untuk menyetor beras kepada pemerintah Jepang sebanyak 50%
dari hasil sawahnya secara keseluruhan. Apabila itu tidak
dituruti/dilakukan maka yang melanggar akan diberi hukuman. Hukuman yang
diberikan dapat berupa hukuman penjara atau perampasan sawahnya, bahkan
dapat juga dibunuh. Kadang untuk menghindari atau setidaknya agar bisa
tetap bertahan hidup mereka menyimpan sebagian beras yang mereka miliki
dengan cara menguburnya di dalam lubang yang telah mereka buat di dalam
rumah. Lubang itu biasanya berkisar pada kedalaman 1 m (Wawancara dengan
Bapak. Simhadi, 17 April 2007).
Adanya kebijakan wajib setor
beras semakin mempersulit kondisi warga Magelang. Pada masa itu mereka
mengalami kesulitan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka
sendiri. Beras dari hasil sawah mereka dirampas Jepang, sedangkan mereka
sendiri juga butuh makan. Hasil panenan mereka telah berkurang setengah
dari yang semestinya mereka peroleh sehingga mereka terpaksa mencukupi
kebutuhan konsumsi mereka dengan apa yang masih mereka miliki (Wawancara
dengan Bapak. Sabar, 18 April 2007).
Kebijakan ini menimbulkan
kekurangan pangan yang juga secara langsung berpengaruh pada
kesejahteraan petani. Para petani tidak dapat menjual hasil panen mereka
karena adanya kebijakan yang mewajibkan mereka untuk menjual hasil
pertanian mereka kepada Jepang. Tetapi apabila mereka berhasil
menjualnyapun tidak banyak berbeda. Disamping harga yang murah di
pasarpasarpun tidak ada beras yang dijual. Bapak Sabar mengatakan bahwa
pada masa itu bisa makan beras satu kali sehari itu sudah bagus. Fakta
yang ada mendukung pendapat itu. Ada sebuah keluarga di daerah Cuk
Kramat yang merupakan keluarga yang terpandang dan dianggap kaya di
daerah tersebut karena kebijakan wajib setor beras yang diberlakukan
pemerintahan pendudukan Jepang kemudian menjadi sebuah keluarga yang
serba kekurangan. Mereka harus menyetor beras kepada Jepang hingga
mencapai 75% dari hasil sawahnya. Hingga terpaksalah orang dari keluarga
itu pergi ke daerah lain untuk sekedar mencari makan (Wawancara dengan
Bapak Simhadi, 17 April 2007).
Keadaan perekonomian yang sulit itu
diperburuk dengan adanya blokade ekonomi Belanda terhadap Republik
Indonesia. Blokade ekonomi ini adalah berupa larangan masuk
barang-barang dan makanan maupun persenjataan ke Indonesia, baik melalui
darat maupun laut. Kesulitan yang diderita penduduk Magelang antara
lain adalah adanya peredaran Oeang Republik Indonesia (ORI) palsu yang
dikeluarkan oleh Belanda (Priadji, 1995:75).
Penduduk Magelang
apabila akan mencari kebutuhan sehari-hari terpaksa harus membeli di
daerah lainnya, seperti Ambarawa, Semarang dan Salatiga dengan harga
yang sangat mahal, karena daerah itu dekat dengan pelabuhan yang
merupakan pusat kegiatan ekonomi (keluar masuk barang dari daerah lain)
yang melewati jalur laut. Barang-barang kebutuhan seharihari misalnya
bahan makanan dan pakaian sangat jarang bahkan hampir tidak ada. Barang
industri sangat sulit didapat terutama tekstil. Akibatnya pakaian rakyat
terbuat dari serat rami, karung goni, atau bagor. Apabila dipakai dan
badan masih agak basah pakaian itu lengket di kulit. Itu pun jumlahnya
sangat terbatas. Setiap orang pada umumnya hanya punya satu atau dua
stel. Sebab itu sering terjadi bila orang harus mencucinya maka sambil
menanti pakaian itu dijemur ia harus tetap berendam di sungai sampai
pakaian itu kering untuk segera dapat dipakainya kembali (Soemarmo,
2001: 40).
Dapat dikatakan bahwa bidang perdagangan pada masa ini
lumpuh atau tidak dapat berjalan karena menipisnya persediaan akibat
barang yang dibutuhkan atau dicari tidak ada begitu juga uang untuk
membelinya tidak sebanding nilainya. Di Magelang sendiri kondisinya juga
tak jauh berbeda. Rakyat Magelang juga mengalami kesulitan memperoleh
sandang. Mereka menggunakan karung goni dan bagor sebagai bahan membuat
pakaian sehari-hari. Bahkan sepeda yang digunakan sebagai alat
transportasi sehari-hari oleh rakyat Magelang menggunakan karet mentah
untuk rodanya (Wawancara dengan Bapak Simhadi, 17 April 2007).
Praktik-
praktik romushamerupakan bentuk yang sangat nyata dari praktik
eksploitasi tenaga kerja dan manusia pada masa pendudukan Jepang. Hal
itu sekaligus merupakan suatu bentuk pemiskinan mentalitas masyarakat.
Dengan demikian telah terjadi perubahan mentalitas masyarakat yang
sangat mendasar pada masa pendudukan Jepang sebagai akibat penetrasi dan
sistem pendudukan yang bersifat militer.
Keadaan yang sangat
buruk itu menghantui masyarakat desa yang harus juga mengirimkan
penduduknya untuk berangkat menjadi romusha. Hal itu berkembang menjadi
ketakutan kolektif dan kegelisahan komunal. Masyarakat desa tidak berani
menentang perintah Jepang di satu sisi, tetapi tidak menginginkan
berangkat sebagai tenaga paksa Jepang. Akhirnya terjadi kekerdilan
mental sebagai akibat penetrasi politik yang sangat keras.
Tekanan-tekanan politik, ekonomi, sosial dan kultural saat itu telah
menciptakan kondisi masyarakat pedesaan yang diliputi kecemasan dan
ketakutan. Pendudukan Jepang di Magelang tidak hanya membawa dampak
negatif yang berupa menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat, tingkat
kematian yang sangat tinggi baik karena masalah kesehatan maupun
kekurangan ekonomi, atau kemunduran mental. Tetapi pendudukan Jepang
juga memberi dampak yang positif bagi rakyat Magelang, misalnya
pengenalan teknik bercocok tanam padi yang baru (larikan) yang membuat
hasil panen rakyat meningkat. Begitu juga dengan pendirian sekolah
pertanian di daerah Mertoyudan dalam rangka peningkatan hasil produksi
pertanian (menemukan bibit unggul) yang secara tidak langsung mendorong
perubahan ke arah yang lebih baik terutama dalam hal bercocok tanam.
Selain itu ada pula pendidikan militer yang diberikan baik di
sekolahsekolah maupun melalui organisasi semi militer maupun organisasi
militer bentukan Jepang (Heiho, Peta, Seinendan, Keibondan) kepada para
pemuda dan pemudi Magelang yang bermanfaat bagi peningkatan kedisiplinan
dan juga bangkitnya rasa nasionalisme, terutama berkaitan dengan usaha
merebut kemerdekaan dan juga mempertahankan daerah Magelang pada
masa-masa perjuangan selanjutnya.
Masalah pendidikan yang meski
pada masa pendudukan ini tidak terlalu diperhatikan, adanya
sekolah-sekolah Jepang yang dibuka di Magelang semakin meningkatkan
tingkat intelektual masyarakat.
Salah satu sekolah yang
dibuka di Magelang adalah pendirian sekolah Jepang di Magelang.
Orang-orang muda mendapatkan pendidikan formal yaitu pada tahun 1942
mulai didirikan sekolah menengah pada masa penjajahan Jepang yang diberi
nama "Syoto Chu Gakko". Pada masa itu lebih dikenal dengan nama SMP
Botton, karena letaknya berada di Kampung Botton.
Saat dibukanya
SMP Magelang yang terletak di Jalan Botton (sekarang Jalan Pahlawan)
sekolah tersebut baru mempunyai 4 kelas, dengan jumlah guru 4 orang,
yaitu Bapak Soetedjo Atmodipoerwo (merangkap direktur), Bapak Soediman,
Bapak Mardiyo dan Bapak P. Siagian (Prastowo, 1945 : 18). Mata Pelajaran
yang disajikan adalah Pelajaran Umum, disamping Bahasa Jepang serta
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Kegiatan Belajar Mengajar
pada saat itu harus disesuaikan dengan Kurikulum dan ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan oleh penguasa Jepang. SMP Botton ini selama
Pendudukan Jepang pernah dipimpin oleh
Kepala Sekolah Pertama : Bp. Soetedjo Atmodipoerwo ( 1942 - 1944 )
Kepala Sekolah Kedua : Bp. P. Siagian ( 1944 - 1946 )
Lalu
selain itu ada juga Pendidikan kesehatan (membalut luka, bedah peluru)
juga diberikan di sekolah-sekolah terutama kepada para wanita. Para
wanita ini nantinya menjadi orang-orang yang memegang peranan penting
dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, karena tentunya
dalam peperangan seorang tenaga medis dan pengobatan sangat dibutuhkan.
(Wawancara dengan Ibu Hardjanti, 17 April 2007).
Perjuangan melawan pendudukan Jepang
Rakyat
Magelang telah sampai pada puncak penderitaan lahir dan batin.
Penderitaan yang memuncak itu mau tidak mau menimbulkan dan menambah
rasa benci terhadap Jepang. Muncul pula rasa nasionalisme dalam diri
rakyat Magelang untuk bebas dari penderitaan itu. Timbullah perlawanan
lokal terhadap Jepang di Magelang.
Situasi pada bulan-bulan
mendekati jatuhnya penjajahan Jepang penuh dengan ketegangan, terutama
di kota yang strategis seperti Magelang dan Semarang. Di Magelang para
pemimpin mulai melakukan kegiatan. Dari kegiatan bekerja sama dengan
pemerintah Jepang atau paling sedikit kurang memusuhi pihak Jepang
sekarang beralih kepada gerakan rahasia atau ilegal untuk menentang
kekuasaan Jepang. Gerakan yang dilakukan antara lain dengan cara
menyusup ke dalam pemerintahan pendudukan Jepang. Ada juga yang
menggunakan cara lainnya yaitu dengan cara mendirikan usaha berupa kedai
makan yang sering digunakan untuk menyelenggarakan rapat dan pertemuan
rahasia melawan pemerintah pendudukan Jepang (Wiyono,dkk, 1991: 39).
Beberapa
tokoh pejuang di Magelang sebenarnya sudah menaruh rasa tidak percaya
akan janji-janji Jepang yang akan memerdekakan Indonesia di kelak
kemudian hari. Mereka berpendapat bahwa kalau memang akan memerdekakan
bangsa Indonesia “sekarangpun sudah siap”. Atas dasar keyakinan itu maka
pada tanggal 31 Oktober 1944 malam, mereka berkumpul dan membentuk
sebuah kelompok perlawanan yang bernama Barisan Pelopor yang diterima
secara aklamasi. Para tokoh Barisan Pelopor (BP) Magelang itu antara
lain : Dr. Mardjaban, W. Soemowarsito, Adisoedjono, Said, Soelito, R.
Koesman, R. Abdulkadir. BP ini akan berusaha menggerakan kekuatan
nasional untuk segera menyambut Kemerdekaan.
Pada tanggal 6
Agustus 1945 bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima yang menewaskan
sedikitnya 78.000 orang. Pada tanggal 9 Agustus bom atom kedua
dijatuhkan di Nagasaki (Ricklefs, 1991: 314).
Dan akhirnya Jepang
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Pada
hari-hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia secara
sayup-sayup terdengar berita tentang penyerahan Jepang terhadap Sekutu
tanpa syarat. Berita penyerahan Jepang kepada Sekutu diterima dengan
keragu-raguan oleh masyarakat Magelang. Betapa tidak, tentara Jepang
masih berkuasa dalam kota, juga pemerintahan sipil berjalan biasa,
seperti tidak terjadi apa-apa. Hanya saja orang-orang Jepang yang ada di
Magelang baik yang sipil maupun yang militer, tampak bermuka suram,
tidak ada yang tertawa, tampak gelisah lebih banyak berdiam diri di
tangsi atau tempat tinggal mereka di rumahnya masing-masing, mereka
tampak kehilangan gairah hidup. Orang-orang Jepang di Magelang tampak
lebih banyak bergerombol di penginapannya masing-masing, tentu sebagian
akibat daripada kalah perang. Tetapi yang jelas suasana pada saat itu
mereka bermuka suram dan loyo tidak seperti biasanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia disiarkan melalui RRI dari Jakarta.
Berita
proklamasi kemerdekaan Indonesia belum sampai diterima oleh masyarakat
Magelang. Pada tanggal 18 Agustus 1945 begitu mendengar Proklamasi R. P.
Soeroso langsung berangkat ke Jakarta untuk membuktikan peristiwa luar
biasa itu dan untuk mengetahui lebih lanjut akan kondisi politik
nasional R. P. Soeroso menyadari bahwa letak wilayahnya itu berada pada
titik pusat pulau Jawa, sehingga mempunyai nilai strategis untuk
menguasai pulau Jawa. Hal ini berarti bahwa rakyatnya perlu dipersiapkan
untuk menghadapi segala kemungkinan. Setelah mendengarkan berita
tentang Kemerdekaan Indonesia secara serentak tampak adanya perubahan
pada sikap dan wajah masyarakat kita yang sekaligus merubah suasana.
Beribu-ribu bendera Merah Putih serentak muncul dimana-mana, teriakan
“Merdeka” terus menerus terdengar, rakyat nampak seolah-olah bangun dari
tidurnya, semangat bergelora. Perubahan suasana tersebut dilihat oleh
fihak Jepang dengan sikap lesu, tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan. Tentara Jepang masih bersenjata dan berjaga di tempat-tempat
tertentu, sedangkan bendera Jepang masih tampak berkibar di
tempat-tempat resmi. Memang nyatanya tentara Jepang meskipun secara
formil sudah menyerah kalah terhadap Sekutu, akan tetapi secara de facto
masih berkuasa dan masih menyandang senjatanya dengan lengkap, menunggu
penyerahan kepada fihak Sekutu. Suasana demikian memang sulit
dipertahankan terlalu lama.
Mereka yang tergabung dalam “Berisan
Pelopor” (dimana duduk Alm. Dr. Mardjaban, W. Sumowarsito, Adisunjojo,
Sahid, Sulito, Kusman dan Abdulkadir) setelah mendengar berita
Proklamasi itu segera mengadakan perundingan pada tanggal 19 Agustus
1945 (Arsip Sejarah Peristiwa Magelang, KODAM VII/DIPONEGORO). Rapat
dilakukan dari jam 01.00 sampai dengan jam 05.00 WIB, barisan pelopor
mengadakan rapat membicarakan tindakan yang perlu diadakan guna
menghadapi perubahan politik yang mendadak itu, setelah mendengar berita
pasukan Jepang menyerah kepada sekutu. Dalam pertemuan tersebut R.A.A.
Sosrodiprodjo menghimbau kepada seluruh anggota barisan pelopor, agar
tetap tenang dalam menghadapi situasi sekarang ini.
Bersamaan itu,
beliau mengetahui sesungguhnya perubahan politik yang terjadi di
Jakarta maupun daerah Republik Indonesia yang lain pada tanggal 21
Agustus 1945, setelah syotyokan Raden Panji Soeroso baru saja datang
dari Jakarta.
R. P. Soeroso selaku pejabat pemerintah sipil yang
berkedudukan di Magelang yang setelah terbentuknya Kabinet RI yang
pertama pada tanggal 2 September 1945 beliau diangkat menjadi Gubernur
Jawa Tengah, terus mendagakan konsultasi dan konsulidasi guna mencari
jalan untuk mengambil alih kekuasaan sipil dari tangan Jepang. Dari
tokoh-tokoh BP mengusulkan agar diadakan pertemuan dengan Kepala-Kepala
Kantor dan Jawatan pemerintah bangsa Indonesia guna mencari jalan
pemecahan yang sebaik-baiknya dalam menghadapi keadaan.
Sehubungan
dengan itu Barisan Pelopor mulai bergerak bersama rakyat ke tempat
kediaman Raden Panji Soeroso pada tanggal 3 September 1945 jam 21.00
WIB. Mereka menuntut kepada baliau untuk mengumumkan secara resmi
kemerdekaan Republik Indonesia kepada rakyat Magelang dan menyatakan
kebulatan tekat Karisidenan Kedu menjadi bagian dari wilayah Republik
Indonesia. Raden Panji Soeroso mengumumkan berita proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dan menyatakan kebulatan tekat Karisidenan Kedu menjadi
bagian dari wilayah Republik Indonesia. Bersamaan dengan itu beliau
menghimbau kepada seluruh rakyat Magelang untuk jangan terlalu gembira
guna menjaga perasaan pasukan Jepang yang kalah perang dengan pasukan
sekutu.
Atas usul BP tersebut maka pada tanggal 10 September 1945
bertempat di rumah kediaman Dr. Mardjaban di Jalan Sultan Agungan No. 9
diadakan pertemuan yang dihadiri oleh : Para Kepala kantor dan jawatan
pemerintah bangsa Indonesia, unsur KNI dan beberapa tokoh pemuda yang
lain, pertemuan ini mengambil keputusan antara lain :
1. Bahwa
semua pegawai pemerintah berjanji untuk setia kepada Pemerintah Republik
Indonesia, dan tidak akan mau diperintah oleh pembesar-pembesar Jawatan
yang terdiri dari orang Jepang.
2. Membentuk beberapa sayap Pemuda untuk dapat diajak bersama-sama mengatasi segala persoalan.
3.
Bahwa dalam kurun waktu yang singkat para Pemuda pejuang ini hendak
melaksanakan pengambil alihan kekuasaan di kantor-kantor dan
jawatan-jawatan Pemerintah, untuk mencegah agar alat kekuasaan itu tidak
diserahkan oleh Jepang kepada Sekutu.
Pada tanggal 13 September
1945 telah diumumkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia di Magelang.
Tetapi, timbul permasalahan baru yang harus dipecahkan. Pertama,
pemindahan kekuasaan dari Jepang (kalau perlu dengan perebutan);
Kedua,usaha memperoleh senjata.
Sebagai langkah pertama kemudian
diadakan suatu gerakan penempelan bendera Merah Putih, yang digerakkan
secara serentak pada tanggal 23 September 1945 malam hari, sesudah
terlebih dahulu diadakan pertemuan kilat yang berupa pembulatan tekad
bertempat di sebuah gedung di jalan Poncol, depan foto studio “Gah
Hien”, gedung yang mana sekarang ditempati Dr. Kusen (Arsip Sejarah
Peristiwa Magelang, KODAM VII/DIPONEGORO).
Terjadi suatu insiden
karena hal itu, yang biasa disebut “Insiden Hotel Nitaka” (saat ini
Polwil Kedu). Insiden itu disebabkan karena ada orang Jepang yang
mencopot bendera Merah Putih yang dipasang di tembok hotel itu. Hotel
tersebut waktu itu merupakan markas RAPWI (Relief Action Prisoners of
War and Interness) yaitu pasukan Sekutu yang bertugas menangani para
tahanan perang dan hasil pampasan perang, yang dijaga serdadu Jepang.
Seorang pemuda yang melihat kejadian itu segera mendatangi serdadu
tersebut untuk memprotes, pertengkaranpun timbul dan dengan teriakan
“Siap” berkali-kali maka dalam sekejap saja gedung itu telah dikepung
oleh ratusan orang dengan bermacam-macam senjata, dari bambu runcing,
pisau batu dan lain-lain (Soekimin Adiwiratmoko, tanpa tahun: 17).
Untuk
menyelesaikan masalah tersebut keduanya bersepakat untuk
membicarakannya di markas Kempetai (gedung SMIP Wiyasa). Tetapi
pembicaraan itu tidak menemukan kesepakatan. Mereka kemudian berbondong
bondong menuju markas Nakamura Butai, yang merupakan komandan pasukan
Jepang, untuk membicarakan masalah kemerdekaan itu. Tetapi, tidak ada
keputusan yang dihasilkan dan semakin membuat kecewa para pemuda yang
berkumpul itu.
Peristiwa tanggal 25 September 1945 ini
merupakan buntut dari kejadian “Insiden Hotel Nitaka” sehari sebelumnya,
dimana pada tanggal itu sekitar jam 04.00 sd 05.00 ratusan rakyat,
pemuda warga Magelang berbondong-bondong mendaki Gunung Tidar dari arah
timur, barat, utara dan selatan dengan satu tujuan hendak mengikuti
upacara pengibaran bendera Sang Merah Putih di Puncak Gunung Tidar
Magelang. Dalam upacara itu, mereka mengalami kebingungan karena tidak
ada satupun yang membawa Bendera Marah Putih untuk dikibarkan. Kemudian
atas inisiatif salah satu pemuda yang hadir menyarankan agar supaya
menggunakan pakaian pemuda Selamet dan Gimin yang kebetulan mamakai
pakaian merah dan putih. Setelah pakaian disambung, maka pengibaran
bendera pun dilaksanakan. Pada jam 06.00 upacara pengibaran bendera Sang
Merah Putih dimulai dan berjalan secara khidmat dengan menyanyikan lagu
Indonesia Raya sehingga beberapa anggota yang mengikuti acara ini
sampai meneteskan air mata. etelah upacara selesai maka beberapa pemuda
dengan bersenjatakan "yari" (semacam tombak untuk latihan kemiliteran
Seinendan) ditugaskan tetap tinggal menjaga di Puncak Tidar dan yang
lain membubarkan diri. Tapi saat bubaran upacara ini terdengarlah
serentetan letusan senjata api dari arah markas Kompetai. Pasukan
Kompetai menembakan senjata karena mereka takut melihat massa yang turun
dari gunung Tidar sehingga mereka jadi panik dan kalut lalu menembakkan
senjata.
Mendengar tembakan itu massa tidak menjadi takut dan
mereka terus maju dan sebagian menolong rekannya yang menjadi korban ke
rumah sakit yaitu ke RSU Tidar yang kebetulan letak RSU Tidar
bersebelahan dengan markas Kompetai itu.
Massa lalu menyerbu dan
mengepung markas Kompetai bahkan ingin meringsek masuk ke markas
Kompetai. Dalam kondisi genting itu lalu datanglah Residen Kedu R.P.
Soeroso dan Kepala Polisi Kota Inspektur Legowo untuk meminta massa
mengurungkan niatnya. Karena kalau dipaksakan tetap menyerbu markas
Kompetai akan banyak memakan korban jiwa di pihak kita.
Korban
yang gugur di pihak kita ada 5 yaitu Kusni, Djajus, Sujud, Samad
Sastrodimedjo, dan Slamet (yang meninggal 2 hari setelah dirawat di RSU
Tidar).
Ke empat orang yang langsung gugur yaitu Kusni, Djajus,
Sujud, Samad Sastrodimedjo lalu dimakamkan di Makam pahlawan dengan
dihantarkan oleh massa yang banyak. Akibat peristiwa di jalan Tidar ini
pasukan kompetai yang bermarkas di Jalan Tidar lalu dipindahkan ke
Wonosobo dan bekas markasnya digunakan sebagai markas BKR. Untuk
mengenang kejadian kepahlawanan itu kemudian dibangun tugu di dekat
Gunung Tidar. (Arsip Sejarah Peristiwa Magelang, KODAM VII/DIPONEGORO).
Tentara
Inggris kemudian datang di Magelang tanggal 26 Oktober 1945. Oleh
Sekutu mereka ditugaskan untuk mengurus tawanan perang yang ada di
Magelang. Tetapi ternyata mereka membawa maksud lain, yaitu dengan NICA
yang juga menjadi bagian dari pasukan mereka. NICA merupakan pasukan
kolonial Belanda. Mereka dicurigai akan berusaha mencoba menduduki
Magelang kembali. Setelah datang mereka membangun benteng, mengeluarkan
larangan dan aturan yang harus dipatuhi rakyat Magelang. Itulah yang
membuat rakyat menjadi tidak senang, hingga pada akhirnya terjadi
pertempuran yang dahsyat.
Peristiwa lain yang tidak kalah hebatnya
adalah pembantaian penduduk Dusun Tulung Magelang yang berjumlah kurang
lebih 50 orang dibunuh secara kejam oleh pasukan Jepang. Di duga
pasukan Jepang itu didatangkan dari Semarang karena pada pertengahan
bulan Oktober sekutu sudah mengirimkan ke Semarang.
Pada
tanggal 31 Oktober 1945 pasukan Kido Butai yang masuk ke gedung SMP N 1
Magelang menyergap beberapa guru dan murid yang sedang berlatih kepalang
merahan di sekolah. Oleh bapak Siagian para murid diperintahkan untuk
mencari perlindungan. Dan para murid mencari perlindungan di ruang guru.
Akan tetapi para murid ini ditembaki lewat pintu angin dengan
menggunakan senjata automatis. Sehingga akhirnya pasukan Kido Butai
dapat masuk ke dalam ruang guru. Para murid akhirnya semua menyerah
dengan mengangkat tangan sebab kalau tidak mengangkat tangan jiwa para
murid pasti semuanya akan dihabisi oleh tentara Kido butai ini. Seorang
murid bernama Prayitno yang kebetulan sedang bertugas jaga di sekolah
itu ditembak dan gugur di tempat. Prayitno ini sehari-harinya selalu
memakai kupluk (songkok) dan Prayitno ini anak dari Temanggung.
Para
murid SMP N 1 Magelang ini lalu ditawan dan digiring ke arah balaiirung
oleh tentara Kido Butai dan disuruh duduk dengan tangan di atas kepala.
Selanjutnya salah satu tentara Kido Butai menyuruh Pak Siagian untuk
berjibaku dengan memberikan senjatanya namun Bapak guru Siagian
menolaknya.
Sedangkan seorang murid yang bernama Soeprapto dari
kejauhan nampak merunduk-runduk menuruni selokan air Kota yang berada di
belakang SMP N 1 Magelang. Lalu Soeprapto terus menyusup ke beranda
gedung SMP bagian sayap kiri. Maksud Soeprapto ini hendak membebaskan
guru dan para siswa SMP N 1 Magelang yang sedang ditawan oleh Kido
Butai. Setelah dekat dengan balaiirung sebelah selatan saudara Soeprapto
dengan cara merunduk / membongkok membelokkan diri ke arah utara jadi
berhadap-hadapan dengan para tawanan dengan menenteng senjata disebelah
tangan tangannya. Akan tetapi salah seorang tentara Kido butai
melihatnya lalu dengan tangkas dan cepat tentara Kido Butai mengacungkan
senjatanya ke arah Soeprapto dan menarik picu senjatanya. Soeprapto
tertembak tepat di dahinya Soeprapto. Pada waktu itu Soeprapto
mengenakan baju hijau dan memakai topi baja akan tetapi peluru yang
ditembakkan tentara Kido Butai menembus topi bajanya dan langsung
menembus kepalanya. Tersungkurlah Soeprapto dengan posisi tengkurap
dengan kepala ke arah utara. Dalam kondisi telah tertembak akan tetapi
Soeprapto masih berusaha mengacungkan tangan kirinya ke atas untuk
memekikkan kata "Merdeka" akan tetapi tidak kesampaian. Setelah itu para
tawanan yang terdiri dari dua guru yang bernama Siagian dan Fx.
Surjowidagdo (mengalami luka-luka parah terkena tembakan) dan para murid
diminta berdiri lalu digiring ke depan gedung SMP lalu berjalan menuju
ke utara menyusuri jalan Botton ke arah markas tentara Sekutu (Inggris)
di Badaan. Di Badaan para tawanan dimasukkan ke dalam rumah blok militer
dekat Plengkung yang menghadap ke selatan. Dan diantara tawanan dalam
rumah itu yang paling tua adalah seorang pensiunan Bupati Kendal dengan
usia +/- 80 tahun dan ada pula yang anggota BKR yang menceriterakan
pembentukan BKR sudah dimulai dan diatur dengan komandan regu, komandan
seksi dan seterusnya. Mungkin anggota BKR ini adalah bekas anggota
PETA/HEIHO.
Tanggal 1 November 1945 Bung Karno datang ke Magelang
berunding dengan tentara Inggris yaitu Jendral Bethell untuk menyerukan
agar kedua belah pihak menghentikan pertempuran. Siang harinya para
tawanan dibebaskan dan boleh pulang ke rumah masing-masing.
Hingga
pada akhirnya tanggal 21 November 1945 (malam hari) karena sadar adanya
perbedaan kekuatan yang sangat mencolok pasukan Inggris mundur dan
meninggalkan Magelang menuju Ambarawa.
DAFTAR PUSTAKA
Arsip Sejarah Peristiwa Magelang Kodam VII/Diponegoro
Arsip
Sejarah Kodam VII/Diponegoro Lapian. 1988. Dibawah Pendudukan Jepang:
Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalaminya. Jakarta: Arsip
Nasional RI
Darto Harnoko, Magelang Pada Mas Revolusi Fisik Periode 1945-1949. Balai Kajian Sejarah. Yogyakarta
Nagazumi,
Akira. 1988. Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang.
Terjemahan Taufik Abdullah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nugroho
Adi Perdana. 2010. Pengaruh Pendudukan Jepang Terhadap Masyarakat
Magelang 1942-1945. Paramita Vol. 20 No. 2 - Juli 2010.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed). 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Priadji. 1997. “Perjuangan Komando Distrik Magelang Pada Masa Revolusi Fisik Tahun 1948-1949”.
Skripsi. Jurusan Sejarah UNNES
Ricklefs, MC. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Soemardjan, Selo. 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: UGM Press
Soemarmo, AJ. 2001. Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press
Utomo, Budi Cahyo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Semarang : IKIP Semarang Press
Wiyono.
dkk. 1991. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Tengah.
Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
SANGAT BAGUS PEMUATAN SEJARAH INI, SAYA ADALAH SEORANG PENULIS NOVEL FIKTIF, PENULISAN INI SANGAT MEMBANTU.
BalasHapusMOHON IZIN UNTUK SAYA JADI REFERENSI BAHAN TULISAN.
SALAM SUKSES UNTUK ANDA.
Silahkan dan terima kasih banyak atas perhatiannya
HapusGan mohon ijin tulisannya dijadikan refrensi ya. berhubung sy sedang menulis modul SMA tentang pendudukan jpg di Magelang..terimakasih
BalasHapusMonggo. Untuk SMA berapa di Magelangnya Bu Mela Mita Septiana.
Hapus