PEJUANG GARIS STATUS QUO DI PANJER KEMBUMEN
Pahlawan adalah sebuah gelar mulia bagi para pejuang bangsa. Hal ini
kadang tidak diimbangi oleh penghargaan yang setimpal. Bahkan terkadang
dilupakan oleh Pemerintah dan para generasi selanjutnya yang tinggal
menikmati hasil pengorbanan Raga, Jiwa dan Nyawa mereka. Fakta tersebut
dialami oleh tujuh pejuang NKRI di Kebumen pada masa akhir perang
kemerdekaan yakni pada peristiwa Agresi Militer Belanda II (19 Desember
1948). Peristiwa Patriotisme mereka tergolong tragis. Betapa tidak!
Mereka tidak hanya gugur karena penghianatan dan kejahatan perang
Belanda, tetapi mereka juga dilupakan oleh Pemerintah dan generasi
selanjutnya.
Fakta Pelanggaran Belanda
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda secara terang – terangan telah
melanggar persetujuan Linggarjati, dengan melancarkan ekspansinya hingga
ke Gombong. TNI mengadakan perlawanan dengan tetap mematuhi perintah
Gencatan Senjata. Pihak RI kemudian mengambil Kali Kemit sebagi garis
pertahanan dalam menghadapi Agresi Militer Belanda I.
Pada tanggal 27 Agustus 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) dibentuk.
Kemudian diadakan perundingan antara RI dengan Belanda di atas Kapal
Renville yang menghasilkan Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948.
Sebagai tindak lanjut dari perjanjian tersebut maka:
- Oleh KTN (Komisi Tiga Negara) setelah melakukan perundingan yang dipimpin Panglima Divisi III Kolonel Bambang Soegeng dengan dihadiri antara lain: Letkol Koen Kamdani Komandan Resimen XX selaku Komandan COP PDKS Kebumen, Mayor Rahmat, Mayor Panoedjoe, Kapten Soebiyandono, Kapten H. Soegondo, Letnan Soeyono, Residen Banyumas, Bupati Banjarnegara, Bupati Kebumen, Kepala Polisi Gombong, dan Kepala Polisi Kebumen, Kali Kemit ditetapkan sebagai Garis Demarkasi/Garis Status Quo. Artinya Kali Kemit Karanganyar Kebumen pada saat itu menjadi batas terluar wilayah NKRI, sedangkan sebelah Barat Kali Kemit adalah wilayah milik Belanda.
- Pasukan-Pasukan TNI yang berada di kantong-kantong (dimaksud daerah yang diduduki Belanda) harus ditarik keluar. Dengan demikian Kemit merupakan pintu keluar bagi pasukan TNI Siliwangi dari Jawa Barat yang akan hijrah ke Jawa Tengah.
Pasukan Siliwangi diangkut menggunakan kereta api oleh Belanda, lalu
diturunkan di stasiun Gombong. Selanjutnya mereka berjalan kaki ke
Karanganyar, dan diangkut menggunakan kereta api RI menuju Yogyakarta.
Untuk memperlancar pelaksanan hijrah, Local Joint Commite (LJC)
dibentuk dengan mendirikan pos di Panjatan (Karanganyar), dijabat oleh
Kapten Musa yang ditugaskan MBT. Selain itu, dibukalah Jembatan Renville di desa Panjer, Kebumen oleh Zeni atas order COP Kebumen dan komunikasi telepon oleh satuan PHB pimpinan Kopral R. Soehadi.
Di Pihak RI, Garis Demarkasi dijaga oleh tujuh anggota PK yang menggunakan rumah Bp. Prawiro Soemarto sebagai Pos PK RI.
Tentara Andjing Nica melakukan sweeping/pemeriksaan terhadap pedagang dari sekitar garis Status-Quo
Kunjungan pengamat militer asing ke brigade-V di garis demarkasi kemit, terdiri dari Kol. Servais (Belgia), Kol. Morizon (Perancis) dan Mayor. Sands (Inggris) sedang meneropong wilayah Indonesia.
Agresi Militer Belanda II
Persetujuan Renville yang telah disepakati ternyata dilanggar pula
oleh Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 wib Belanda
telah memulai serangannya di atas ibukota Yogyakarta sembari menunggu
bala tentara Belanda dan angkatan perangnya yang sedang dalam perjalanan
dari Gombong menuju Yogyakarta.
Peristiwa Militer di Kebumen
Pada hari Minggu pagi – pagi benar pukul 05.30 Wib tanggal 19
Desember 1948 Komandan Kompi III Batalyon III Brigade X (Batalyon
Sroehardoyo) yang berkedudukan di Nampudadi dan Kepala Staf Kompi III
Serma Koedoes mendengar ledakan Granat dari arah Kemit. Suara yang sama
terdengar pula oleh Kapten Soemrahadi pimpinan sementara Kompi III
karena Komandan Kompi III Kapten Radjiman sedang ke Purworejo untuk
menengok keluarganya yang sakit.
Ledakan granat itu tidak diragukan lagi setelah adanya laporan dari
Kopral Soeroyo anggota regu Combat pimpinan Serma Soekidi yang bertugas
di dalam kota Gombong, bahwa ledakan tersebut merupakan isyarat bahwa
Belanda melaksanakan rencananya “door stoot naar Yogyakarta“. Hal itu
menjadi lebih meyakinkan dengan adanya siaran RRI Yogyakarta secara
berulang – ulang.
Batalyon Sroehardoyo dan pasukan – pasukan lain yang bertugas di pos –
pos pertahanan garis demarkasi Kemit segera melakukan pergeseran
pasukan untuk menempati posnya yang baru yang telah ditentukan
sebelumnya. Batalyon Mobil Soehardoyo mendapat tugas dan tanggung jawab
pertahanan wilayah kabupaten Purworejo dan Batalyon Mobil Soedarmo di
wilayah Kabupaten Kebumen.
Batalyon Mobil II Mayor Soedarmo menempatkan Markas batalyon Kompi
Markasnya (Rahwana) di Wadas Malang kecamatan Krakal, berikut dengan
Kepala Staf Kapten Iskandar, Kompi I Werkudoro Kapten Soemantoro, Kompi I
Gatotkoco Kapten Soegiono, Kompi III Antasena Letnan I Moeklis dan
Kompi Bantuan Anoman Letnan I Tjiptono, pada dasarnya selalu berpindah –
pindah. Namun sesekali secara bergantian pasukan beristirahat di rumah
Glondong Rustam desa Karang Jambu, berdekatan dengan Komando Batalyon.
Batalyon Teritorial Kedu IV Purworejo dan Batalyon Teritorial Kedu V
Kebumen telah menyusun dan menempatkan kompinya, hingga dengan cepat
sambil berjalan KODM – KODM dapat dibentuk di tiap kecamatan dengan
personil yang ada pada kecamatan tersebut.
Instansi pemerintahan sipil, dinas dan jawatan serta sekolah –
sekolah, jauh sebelumnya telah mempersiapkan diri kemungkinan terjadinya
Agresi II.
Gugurnya Tujuh Orang Polisi Keamanan (PK) RI
Ketujuh PK yang menjalankan tugas istimewa menjaga garis
Demarkasi/Status Quo Kemit ini gugur pada tanggal 19 Desember 1948 pada
pukul 05.00 Wib saat Belanda memulai aksi militernya (Agresi Militer II)
dengan terlebih dahulu menghabisi mereka yang pada saat itu menghuni
rumah Bapak Prawiro Sumarto, timur pasar Kemit sebagai Pos PK pihak RI.
Gagalnya Trekbom Jembatan Renville Panjer dan Dikuasainya Pabrik Mexolie Panjer Kebumen
Satu – satunya akses jalan darat yang bisa dilalui angkatan perang
Belanda menuju ke Yogyakarta pada masa Agresi Militer Belanda
II/Doorstoot Naar Jogja pada tanggal 19 Desember 1948 adalah melalui
Jembatan Renville Panjer sebab jembatan resmi Tembana berhasil
dihancurkan oleh pejuang RI. Jembatan Renville sendiri adalah jembatan
kereta api di sungai Luk Ula Kebumen di desa Panjer, yang dibuka oleh
Zeni atas order COP Kebumen dan komunikasi telepon oleh satuan PHB
pimpinan Kopral R. Soehadi, sebagai tindak lanjut Persetujuan Renville
pada 17 Januari 1948. Jembatan Kereta Api ini secara darurat digunakan
sebagai akses penghubung dengan cara menumpuk balok – balok kayu di atas
rel agar bisa dilalui kendaraan dalam rangka memperlancar pelaksanan
hijrah, Local Joint Commite (LJC).
Pada pukul 06.00 Wib Belanda masuk dari arah barat ke kota Kebumen
bagian selatan dengan kereta api, dan bagian utara dengan jeep, panser
wagen, dan tank sebanyak kurang lebih 50 buah menggunakan lambang –
lambang KTN, yang merupakan Stoot Troop. Pada saat Belanda masuk kota,
di dalam kota telah kosong. TNI dibagi dua yakni sektor Utara dan Sektor
Selatan.
Saat Belanda masuk dan mendarat di selatan kota, di sana terdapat
Mayor Rahmat, Kapten Toegiran, Letnan I Soediro, dan Letnan II Iskandar.
Namun setelah mengetahui kekuatan Belanda yang besar, ketiga perwira
tersebut tidak terlihat lagi. Sedangkan Letnan II Iskandar tertangkap di
Jembatan Renville saat melaksanakan Trekbom.
Sasaran pertama pasukan Belanda pada waktu masuk ke kota Kebumen pada
tanggal 19 Desember 1948 adalah Pabrik Mexolie Panjer Kebumen. Cepatnya
gerak pasukan Belanda untuk masuk ke pabrik ini menyebabkan gagalnya
aksi bumihangus. Malah beberapa pejuang yang tengah beraksi tertangkap
dan ditembak mati oleh Belanda.
Di areal Pabrik Mexolie Panjer, Soewarno (pimpinan pemuda karyawan
pabrik Mexolie) dan dua anggota CA II Angkatan Laut serta dua karyawan
pabrik yang sedang melakukan bumi hangus di pabrik tersebut tertangkap
basah oleh Belanda yang begitu cepat menduduki Mexolie. Soewarno dibawa
ke stasiun, sedangkan empat lainnya setelah diperiksa di lapangan tenis
Panjer (di utara stasiun) kemudian ditembak mati di sana. Soewarno
dibawa dengan Panser Wagon ke Purworejo. Sepanjang perjalanan ia
mengalami beberapa peristiwa:
- Di Kepedek Kutowinangun; Di desa Kepedek sebelah timur Kutowinangun terdapat puing bekas pabrik padi (kini dipakai untuk KUD). Lima anggota AOI bersenjata kareben polisi menghadang Konvoi Belanda yang membawa Soewarno dengan tembakan. Belanda membalas serangan, tiga AOI gugur dan dua lainnya menghindar ke timur. Tapi sebelum sampai di tepi kampung, mereka tertembak oleh senjata metraliur 12.7 Belanda dan gugur.
- Di Jembatan Butuh; 100 meter sebelum Jembatan kali Butuh, terlihat seorang berlari dari kolong jembatan ke selatan melalui tanggul sungai. Belanda menembaknya dengan mitraliur 12.7 mm dan tepat mengenai sasaran. Korban adalah seorang Kopral dari Kompi Soedarsono Bismo yang ditugaskan menarik trekbom untuk memutuskan jembatan. Pemasangan trekbom dipimpin oleh Letnan II Soeparman Djliteng, Komandan Seksi I. Soewarno diperintah NICA untuk memeriksa kolong jembatan tersebut, diikuti 10 serdadu Belanda. Di sana ada sebuah trekbom seberat 150 kg yang siap diledakkan dari jauh dengan seutas kawat. Namun karena tergesa-gesa kawat yang diikat ke detonator belum dibuka. Trekbom tersebut diangkut Belanda ke Purworejo.
- Di Kota Purworejo; Sekitar pukul 17.30 Wib panser wagon yang menawan Soewarno masuk kota Purworejo dan langsung menuju jembatan kali Bogowonto di Cangkrep (Purworejo Timur).
- Di Gedung Timur Alun – Alun Purworejo; Pada pukul 20.00 Wib Soewarno dengan jeep dibawa masuk ke sebuah gedung di timur alun – alun Purworejo (kini Markas CPM) untuk diperiksa Polisi Militer Belanda. Tengah malam ia mendengar bahwa esok pagi ia akan ditembak mati. Pukul 01.30 Wib di belakang gedung tempat Soewarno ditahan, terdengar ledakan granat. Serdadu NICA menjadi panik. Dalam kesempatan demikian, Soewarno meloloskan diri melalui saluran got yang sampai di kali sebelah timur RSU Purworejo. Selanjutnya ia ke selatan sampai di Banyuurip dan ke barat sampai di Panjer dengan selamat pada pukul 18.00 Wib pada tanggal 20 Desember 1948.
Tertangkapnya Letnan II D.S. Iskandar oleh Belanda
Saat Belanda masuk dan mendarat di selatan kota, di sana terdapat Mayor Rahmat, Kapten Toegiran, Letnan I Soediro, dan Letnan II Iskandar.
Namun setelah mengetahui kekuatan Belanda yang besar, ketiga perwira
tersebut tidak terlihat lagi. Sedangkan Letnan II Iskandar tertangkap di
Jembatan Renville saat akan melaksanakan Trekbom yang tujuannya agar
Belanda tidak bisa menyeberang ke timur sungai Luk Ula. Kedatangan
Belanda yang terlalu cepat membuat Letnan II DS. Iskandar gagal
melakukan aksinya karena terkepung dan tertangkap.
Ia lalu dibawa dengan
kendaraan jeep ke berbagai sudut kota Kebumen sehingga banyak anggota
TNI dan masyarakat yang melihatnya.
Salah seorang yang melihatnya langsung adalah Letnan I Soeparman
Clapar (kawan lama Letnan II D.S. Iskandar) yang semula bermaksud
menumpang jeep nya yang melintas di jalan Stasiun (kini jalan Pemuda),
sebelum mengetahui bahwa Letnan Iskandar duduk di samping serdadu
Belanda. Setelah mengetahui keadaan, Letnan I Soeparman segera ke rumah
untuk cepat – cepat memindahkan keluarganya ke Clapar. Letnan II
Iskandar dibawa ke stasiun dan diangkut ke Purworejo. Setelah tiga hari
di tangsi Kedung Kebo, diangkut ke Gombong dan terus ke Purwokerto pada
tanggal 25 Desember 1948 di Brigade V. Sesudah 17 hari ditawan di Bigade
V, dengan kecerdikannya Letnan II Iskandar meloloskan diri melalui RSU
Puwokerto dan melapor ke induk pasukannya (berada di gunung Sumbing).
Konvoi Belanda menuju Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948
melalui Kebumen, Purworejo menggunakan kereta dan kendaraan terdiri dari
beberapa Jeep, Panser Wagon dan truk yang dipenuhi serdadu Belanda.
Karena terputusnya telepon dan radio belum ada, pada pukul 12.30 Wib
Letnan I Oemar datang dengan motor mewartakan kepada Kompi I Soedarsono
Bismo yang bertugas di pertahanan Kutoarjo (jalan Kaliwatu) bahwa
keberangkatan Belanda dari Gombong menggunakan simbol-simbol KTN. Konvoi
paling depan adalah tiga Panser dan diikuti 13 truk.
Instansi Sipil dan Militer Kebumen Meninggalkan Kota
Dinas-dinas, jawatan-jawatan, dan lembaga-lembaga pemerintahan sipil
setelah dilancarkannya Agresi Militer Belanda II tidak tinggal diam dan
menyerah kepada Belanda. Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota
melaksanakan pengabdian tugas pemerintahan di luar kota, di desa-desa
dan di gunung-gunung. Baik di kabupaten Purworejo maupun di Kebumen
melakukan hal yang sama.
- Komandan Batalyon II Brigade X Mayor Soedarmo di Pacekelan Wadasmalang, di rumah Doelah Sepingi (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Kepala Pemerintahan Militer Kabupaten, Mayor Rachmat di dukuh Brondong, Kemejing kecamatan Wadaslintang (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Bupati kebumen Sosroboesono di desa Kalipuru, rumah Lurah (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Kompi Gatotkaca, Antareja, dan Antasena sesekali secara bergantian di rumah Glondong Rustam desa Karang Jambu (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Wedono Tirtomenggolo di rumah Tirtodikrama desa Karang Jambu (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Rumah Penjara di Tegal, Brondong, kelurahan Kamejing, kecamatan Wadaslintang (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Kantor Pos di rumah Kartodikaryo, Karang Jambu, Wetan Gili (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Kejaksaan di rumah Doelsalam, Karang Jambu, Kulon Gili (wilayah kabupaten Wonosobo).
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di rumah Soewadji Madsirod, Kepala Dusun Wetan Gili ( wilayah kabupaten Kebumen).
- Kantor Kabupaten di rumah Bapak Madaslah, Congkokan, Karang Jambu (wilayah kabupaten Kebumen).
- Sekretaris Kabupaten R. Soetikno di rumah Bapak Sariyoem, Kepala Sekolah Rakyat III Wadasmalang (wilayah kabupaten Kebumen).
- Wedono, Opsir Pekerjaan Istimewa (OPI), Camat, Kepala PMO masing-masing dalam wilayahnya.
Selanjutnya muncul golongan Co (cooperator) yakni golongan yang mau
mengabdi dan bekejasama dengan Belanda, dan golongan Non Co yakni
golongan yang tidak mau mengabdi dan bekerjasama dengan Belanda.
Golongan yang menjadi Co disebut menyebrang. Alasan mereka adalah takut hidup sengsara dan sikap mental politik yang memang melekat di dalam dirinya sebagai penjilat.
Kondisi Kini
Makam tujuh Pahlawan tersebut sebelumnya terletak di lokasi yang tidak
layak (comberan), kemudian atas swadaya masyarakat Kemit, dipindahkan ke
pemakaman yang layak di desa Grenggeng diprakarsai oleh Bp. Taufik dan
Bp. Dwidjomartono.
Selanjutnya ada dua versi mengenai keberadaan tujuh makam Pahlawan tersebut pasca renovasi yang kemudian dituliskan nama – namanya. Versi pertama menurut buku sejarah GELEGAR DI BAGELEN yang disusun oleh Ikatan Keluarga Resimen XX Kedu Selatan. Di dalam buku yang menggunakan sumber data berupa wawancara dengan beberapa narasumber pelaku sejarah antara lain; Kolonel (Purn.) H. Soedarsono Bismo/Komandan Kompi Irawan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 1991, Letkol R. I Soehadi DKK di Gombong pada tanggal 23 Juli 1991, Moh. Tasdik dan Dwijomartono (Pejuang) di Kemit pada tanggal 1 Juli 1994 serta manuskrip Dinas Sejarah Militer dan Moh. Tasdik, ketujuh makam tersebut merupakan makam dari tujuh orang CPM penjaga garis demarkasi yang dihabisi Belanda pada aksi agresinya tanggal 19 Desember 1948. Versi kedua adalah menurut warga, yang meyakini bahwa ketujuh makam tersebut merupakan makam: 1. KH. Abumastur (Kyai Tratas 65 th), 2. Abdullah (40 th) dimana kedua pejuang tersebut juga disebutkan di dalam buku Gelegar Di Bagelen sebagai korban penyiksaan yang kemudian ditembak mati Belanda di Kemit, 3. Wahid bin Madngasah (23 th; tokoh ini tidak disebutkan baik dalam Gelegar di Bagelen maupun di dalam manuskrip Moh. Tasdik), 4. Pahlawan tak dikenal, 5. Pahlawan tak dikenal, 6. Pahlawan tak dikenal, 7. Pahlawan tak dikenal.
Tujuh pejuang penjaga garis Demarkasi pada masa Agresi Militer Belanda II sama sekali tidak mendapat perhatian dari pemerintah Kebumen, bahkan sepertinya tidak diketahui keberadaan dan sejarahnya oleh para abdi Negara (Sipil) di Kebumen baik secara umum maupun yang diberi kepercayaan mengurusi bidang kesejarahan.
Makam tujuh Pahlawan sekarang ini
Selanjutnya ada dua versi mengenai keberadaan tujuh makam Pahlawan tersebut pasca renovasi yang kemudian dituliskan nama – namanya. Versi pertama menurut buku sejarah GELEGAR DI BAGELEN yang disusun oleh Ikatan Keluarga Resimen XX Kedu Selatan. Di dalam buku yang menggunakan sumber data berupa wawancara dengan beberapa narasumber pelaku sejarah antara lain; Kolonel (Purn.) H. Soedarsono Bismo/Komandan Kompi Irawan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 1991, Letkol R. I Soehadi DKK di Gombong pada tanggal 23 Juli 1991, Moh. Tasdik dan Dwijomartono (Pejuang) di Kemit pada tanggal 1 Juli 1994 serta manuskrip Dinas Sejarah Militer dan Moh. Tasdik, ketujuh makam tersebut merupakan makam dari tujuh orang CPM penjaga garis demarkasi yang dihabisi Belanda pada aksi agresinya tanggal 19 Desember 1948. Versi kedua adalah menurut warga, yang meyakini bahwa ketujuh makam tersebut merupakan makam: 1. KH. Abumastur (Kyai Tratas 65 th), 2. Abdullah (40 th) dimana kedua pejuang tersebut juga disebutkan di dalam buku Gelegar Di Bagelen sebagai korban penyiksaan yang kemudian ditembak mati Belanda di Kemit, 3. Wahid bin Madngasah (23 th; tokoh ini tidak disebutkan baik dalam Gelegar di Bagelen maupun di dalam manuskrip Moh. Tasdik), 4. Pahlawan tak dikenal, 5. Pahlawan tak dikenal, 6. Pahlawan tak dikenal, 7. Pahlawan tak dikenal.
Tujuh pejuang penjaga garis Demarkasi pada masa Agresi Militer Belanda II sama sekali tidak mendapat perhatian dari pemerintah Kebumen, bahkan sepertinya tidak diketahui keberadaan dan sejarahnya oleh para abdi Negara (Sipil) di Kebumen baik secara umum maupun yang diberi kepercayaan mengurusi bidang kesejarahan.
Hal ini tentunya sangat tragis dan memilukan apalagi ketika kita
menyaksikan betapa penghargaan dan dukungan dari Pemkab Kebumen terhadap
putra – putra daerah masa kini yang berprestasi di dunia hiburan
nasional di elu – elukan, sementara ketujuh Pahlawan pemberani yang
gugur sebagai korban kejahatan perang Belanda tersebut tidak dihargai
dan tidak dikenali bahkan kini nyaris terhapus sejarahnya. Semoga Yang Maha Kuasa
dan para leluhur NKRI memaafkan kesalahan kita semua yang telah
melupakan dan berusaha menghilangkan sejarah.
Teringat Soekarno sebagai Presiden RI pertama yang selalu berpesan “JASMERAH” Jangan sekali – sekali Melupakan Sejarah, kiranya memang sudah seharusnya karena dalam sejarah itulah tersimpan berjuta memori pahit – getir serta mahalnya harga sebuah Kemerdekaan. Dalam sejarah dan peninggalannya lah generasi penerus akan belajar tentang harga diri dan jati diri bangsa yang harus dijaga sampai titik darah penghabisan.
Tindak lanjut segera dari pihak – pihak terkait terhadap sejarah ketujuh pahlawan penjaga demarkasi Kemit tersebut sangat diperlukan. Sejarah akan indah jika bertumpu pada rel keobjektifan yang semestinya karena melupakan dan merusak sejarah serta segala peninggalan yang berkaitan dengannya sama halnya menodai sebuah kemerdekaan.
Oleh : Ravie Ananda
Sabtu Legi 4 Mei 2013
Teringat Soekarno sebagai Presiden RI pertama yang selalu berpesan “JASMERAH” Jangan sekali – sekali Melupakan Sejarah, kiranya memang sudah seharusnya karena dalam sejarah itulah tersimpan berjuta memori pahit – getir serta mahalnya harga sebuah Kemerdekaan. Dalam sejarah dan peninggalannya lah generasi penerus akan belajar tentang harga diri dan jati diri bangsa yang harus dijaga sampai titik darah penghabisan.
Tindak lanjut segera dari pihak – pihak terkait terhadap sejarah ketujuh pahlawan penjaga demarkasi Kemit tersebut sangat diperlukan. Sejarah akan indah jika bertumpu pada rel keobjektifan yang semestinya karena melupakan dan merusak sejarah serta segala peninggalan yang berkaitan dengannya sama halnya menodai sebuah kemerdekaan.
Oleh : Ravie Ananda
Sabtu Legi 4 Mei 2013
Sumber :
http://kebumen2013.com/kisah-tragis-tujuh-patriot-kebumen-pembela-nkri-korban-kejahatan-perang-belanda-dan-perusakan-situs-mexolie-panjer-kebumen-mengatasnamakan-kepentingan-pembangunan/
http://kebumen2013.com/kisah-tragis-tujuh-patriot-kebumen-pembela-nkri-korban-kejahatan-perang-belanda-dan-perusakan-situs-mexolie-panjer-kebumen-mengatasnamakan-kepentingan-pembangunan/
Trimakasih...hasil penulisan saudara insyaallah bermanfaat dan jadi ladang amal.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKebetulan saya lagi nyusun Tesis "Pengaruh Status Quo Garis Demarkasi terhadap Revolusi Fisik dan Revolusi Sosial Masyarakat di sekitar Gombong Kabupaten Kebumen" ...Maturnuwun
BalasHapus