Bapak Dading Kalbuadi Pimpinan Operasi Flamboyan
Kolonel Dading
Kalbuadi dari Grup-2 Parako/Kopassandha bermarkas di Tuguran Magelang yang akhirnya ditunjuk oleh Mayjen Benny Moerdani sebagai pimpinan Operasi Flamboyan
Kampanye militer terbuka belum dapat dilaksanakan sebagai akibat
belum adanya dukungan politik luar negeri. Hal itu menyebabkan Presiden
Suharto tidak berani mengambil resiko, sehingga mengatakan “Tunggu dulu.
Akibat kurangnya pengertian akan mengganggu arus bantuan dari IGGI.”
Kebijaksanaan presiden itu dapat ditafsirkan bahwa ABRI tidak boleh
masuk ke Timor Portugis.
Tetapi Mayjen Benny Moerdani memberanikan diri mengambil
kebijaksanaan lain dengan berkata, “Sebagai pelaksana yang baik kalau
dilarang, ABRI harus tetap melakukan kegiatan di Timor Portugis. Kalau
nanti yang melarang mengatakan boleh, sedangkan kita belum siap, kita
dianggap sebagai pelaksana yang jelek.” Langkah selanjutnya Ketua
G-1?intelijen Hankam mengambil prakarsa segera melakukan peningkatan
operasi non-phisik berupa operasi penggalangan oleh Kokamko (Komando
Kampanye Komodo) menjadi operasi phisik yaitu berupa operasi sandiyudha
terbatas (limited combat intelijen). Salah satu dasar pertimbangan yang
diambil ialah disebabkan Kokamko tidak memiliki pasukan yang dapat
digunakan untuk melakukan operasi phisik. Untuk mendukung pelaksanaan
operasi intelijen tempur terbatas, maka Mayjen Benny Moerdani mendesak
kepada Mayjen Sarwono, Asisten Keuangan, agar biaya operasi dapat
dikeluarkan selambat-lambatnya pada tanggal 27 Agustus 1975.
Pada dasawarsa 1970-an, Benny adalah tokoh kunci intelijen, khususnya
untuk operasi yang memerlukan pengerahan pasukan. Saat memerlukan orang
yang tepat guna memimpin infiltrasi ke wilayah Timtim, Benny teringat
pada sahabat lamanya, yakni Dading Kalbuadi.
Dalam suatu rapat di G-1/Intelijen Hankam, Tebet, Mayjen Benny
Moerdani memanggil Kolonel Inf Dading Kalbuadi (44 tahun), Komandan
Grup-2 Parako/Kopassandha, di Magelang, ikut hadir Pada tahun tersebut Grup-2 Parako/Kopassandha bermarkas di Tuguran Magelang yang saat ini menjadi Sekolah Calon Bintara Kodam IV Diponegoro. Rapat sengaja
mengambil tempat di kantor G-1/Intelijen Hankam di Tebet, karena
rapat-rapat di Hankam Jl. Medan Merdeka Barat, sudah diketahui oleh
Australia.
Dalam rapat itu Mayjen Benny Moerdani menunjuk Kolonel Dading
Kalbuadi memimpin operasi intelijen tempur dengan nama sandi Operasi
Flamboyan. Kolonel Dading adalah figur yang menarik. Tidak seperti perwira
tinggi pada umumnya, yang cenderung bergaya hidup hedonis setelah masuk
jajaran elite, sementara Dading Kalbuadi tetap hidup bersahaja. Dia
tidak meninggalkan kegemaran lamanya, yaitu menikmati nasi bungkus.
Kegemarannya menikmati nasi bungkus, merupakan refleksi perjalanan hidup
Dading yang akrab dengan operasi tempur, dan selalu ingin dekat dengan
anak buahnya.
Dading Kalbuadi sudah terlibat pertempuran sejak usia belia, pada
periode Perang Kemerdekaan (1946-1949), saat Dading masih duduk di
bangku SMP Purwokerto. Dia tergabung dalam Pasukan Pelajar IMAM
(Indonesia Merdeka atau Mati), yang umumnya beranggotakan pelajar di
Kota Purwokerto, ibukota eks Karesidenan Banyumas. Satuan ini didirikan
seputar bulan Oktober 1945, jadi hampir bersamaan dengan berdirinya TNI.
Satuan ini terbilang unik, karena Pasukan Pelajar IMAM secara komando
terpisah dari Tentara Pelajar (TP) Jateng yang berpusat di Solo, di
bawah pimpinan Mayor Achmadi. Hal ini bagian dari semangat tradisi
banyumasan, sebagai daerah “pinggiran” yang tidak selalu tunduk pada
Solo dan Yogya, sebagai pusat kultur Mataraman. Aspirasi ini rupanya
juga merembes di kalangan generasi mudanya, sehingga mereka membentuk
pasukan pelajar secara mandiri, lepas dari bayang-bayang satuan TP.
Sementara di Purwokerto sendiri ada juga satuan TP yang berafiliasi
ke TP Solo, yaitu Kompi 340 TP Purwokerto, yang didirikan menjelang
Clash I (Juli 1947) . Satuan ini lebih populer dengan sebutan Kompi
Encung, karena komandannya bernama Letnan Encung Abdullah Sajadi. Encung
sendiri sebelumnya adalah anggota dari Pasukan T Ronggolawe, yang
bermarkas di Salatiga. Anggota Pasukan T Ronggolawe juga terdiri dari
pelajar yang diasuh langsung oleh sesepuh TNI AD Kolonel GPH
Djatikusumo. Salah seorang anggota Pasukan T (Tjadangan) Ronggolawe yang
kemudian menjadi tokoh nasional adalah Sudharmono, SH (Wapres RI
1988-1993).
Dading dan LB. Moerdani sempat jumpa di Magelang, karena Dading menyelesaikan SMA-nya di SMA Peralihan (SMA peralihan khusus pelajar pejuang). Lokasi SMA Peralihan berada di Gedung Susteran yang ada di daerah Poncol Magelang.
Pasca Perang Kemerdekaan, Dading Kalbuadi tetap melanjutkan karir
sebagai tentara. Dading dan LB. Moerdani bertemu kembali saat sama-sama masuk di P3AD (Pusat Pendidikan
Perwira Angkatan Darat) di Bandung tahun 1951. Kebersamaan mereka terus berlanjut,
sebab selepas dari P3AD dengan bergabung dalam Korps Baret Merah (RPKAD).
Selama bergabung dalam RPKAD (nama terdahulu Kopassus), tidak ada
operasi tempur yang tidak diikuti Dading. Mulai palagan menumpas DI/TII
di Jawa Barat, operasi PRRI/Permesta di Sumbar, hingga Operasi Seroja di
Timor Leste. Saat terlibat dalam operasi menumpas gerakan separatis
PRRI di Muaralabuh (Sumbar) tahun 1958, Dading hampir saja tewas, akibat lehernya
terkena pecahan mortir.
Selain itu ia adalah seorang lulusan Sekolah Pasukan Khusus di
Fort Benning, Georgia, Amerika Serikat. Dengan
demikian antara keduanya terdapat rasa saling percaya dan jalinan yang
erat antara satu dengan yang lain. Tak berlebihan kiranya bila disebut Dading sebagai alter ego dari Benny.
Dalam melancarkan operasi intelijen tempur terbatas ke Timor Timur,
pasukan sandiyudha sebagai sukarelawan tidak dapat mengharapkan dukungan
resmi dari pemerintah, sehingga kedudukan mereka amat rawan. Disebabkan
sukarelawan beroperasi secara rahasia, maka mereka tidak dapat
mengandalkan dukungan perbekalan dan amunisi dari garis belakang secara
terus menerus. Pasukan sukarelawan yang melaksanakan tugas itu
membutuhkan klasifikasi tertentu. Sehubungan dengan tugas berat itu,
Mayjen Benny Moerdani berkata, “Ini mungkin one way ticket.” Kolonel
Dading menjawab, “Wis Ben, ora opo-opo (Sudahlah Ben, tidak mengapa),
saya kerjakan.” Tak lama kemudian Kolonel Dading menambahkan, “tapi
tolong, titip keluarga saya, kalau nanti saya tidak kembali.” Mayjen
Benny Moerdani menjawab, “Jangan khawatir, aku nanti pegang semuanya
kalau kamu sampai nggak ada….”
Dalam operasi penyusupan ini, Dading banyak dibantu yuniornya di Baret
Merah, seperti Yunus Yosfiah (Akmil 1965), Sofian Efendi (Akmil 1965),
Sutiyoso (Akmil 1968), dan seterusnya.
Sejak bulan September 1975 Detasemen Tempur-2 Grup-1
Parako/Kopassandha di bawah pimpinan Mayor Inf Muhidin berkekuatan dua
kompi atau sekitar 250 orang, yaitu Kompi-A di bawah pimpinan Lettu Inf
Marpaung dan Kompi-B dibawah pimpinan Lettu Inf Kirbiantoro telah tiba
di daerah perbatasan Timor Timur. Penugasan Detasemen-2 di daerah
perbatasan dipimpin oleh Mayor Inf Kuntara, sebagai Wadan Grup-1.
Pasukan pemukul Operasi Flamboyan terdiri dari tiga tim, yaitu Tim Susi,
Tim Tuti dan Tim Umi masing-masing di bawah pimpinan Kapten Inf Yunus
Yusfiah, Mayor Inf Tarub, dan Mayor Inf Sofyan Effendi.
Mayjen TNI Yogie S.M., Danjen Kopassandha memberi nama sandi Nanggala
dalam setiap penugasan operasi intelijen tempur yang dilakukan oleh
Kopassandha. Misalnya Kopassandha Grup-4 yang diselundupkan dari kapal
selam kelas Whiskey ALRI di dekat Jayapura dalam perjuangan pembebasan
Irian Barat pada tahun 1962 dinamakan Nanggala 1, sedangkan Kopassandha
Grup-4 yang bertugas di Timor Timur atau Tim Susi diberi nama sandi
Nanggala 2. Kekuatan Tim Susi terdiri dari Karsayudha yang membawahi
empat Prayudha. Komandan Tim Tuti Nanggala 3 dan Tim Umi Nanggala 4 yang
baru dibentuk, masing-masing dijabat oleh Mayor Inf Tarub dan Mayor Inf
Sofyan Effendi. Disebabkan kurangnya anggota Kopassandha, maka Tim Tuti
dan Tim Umi masing-masing terdiri dari dua Prayudha Kopassandha dan dua
peleton Para Komando (Parako). Baik Detasemen-1 dan Detasemen-2 pada
Grup-1 bernama sandi Nanggala 5.
Pada tanggal 27 Agustus 1975 Tim Umi di bawah pimpinan Mayor Inf
Sofyan Effendi diberangkatkan ke Atambua dengan pesawat menuju ke
Kupang, kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Motaain lewat laut
dengan menggunakan kapal Bea & Cukai. Seluruh anggota mengenakan
pakaian preman agar tidak menarik perhatian. Kapten Inf Sutiyoso dan
anak buahnya menyamar sebagai mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata
(KKN). Senjata dan amunisi dimasukkan ke dalam karung yang dibubuhi
dengan tulisan yang berbunyi alat pertanian. Tim Susi di bawah pimpinan
Kapten Inf Yunus Yusfiah telah tiba di Kupang pada tanggal 19 April
1975. Mereka juga mengenakan pakaian preman. Kegiatan yang dilakukan
ialah menyusup masuk ke Timor Portugis dalam kelompok-kelompok kecil
untuk membentuk basis-basis gerilya dan melakukan penyerangan. Tim Susi
masuk ke Maliana di Concelho Bobonaro sampai ke Atsabe dan Tim Umi di
bawah Mayor Inf Sofyan Effendi masuk ke Concelho Covalima, kemudian
menyerang Tilomar dan Kapten Sutiyoso menyerang Suai.
Disebabkan penyusupan hanya masuk ke sasaran di dekat perbatasan,
kemudian pimpinan Operasi Flamboyan merencanakan penyusupan yang jauh di
daerah pedalaman, yaitu ke suatu pegunungan di selatan Viquque. Tugas
itu dipercayakan kepada Kapten Sutiyoso. Suatu pagi ketika perahu
bermotor yang ditumpangi bersama anak buahnya sedang menyusur di daerah
lepas pantai Viqueque, tiba-tiba muncul helikopter Bolkow Pelita Air
Service terbang rendah mendekatinya. Perwira yang duduk di sebelah kanan
penerbang memberikan isyarat dengan menunjukkan tiga jari, menempelkan
ketiga jari pada pundaknya, kemudian ia menunjuk ke pantai. Kapten
Sutiyoso mengerti bahwa isyarat itu berarti seorang perwira yang
berpangkat kapten diperintahkan naik ke darat. Perahu bermotor segera
merapat ke pantai. Setibanya di darat Kapten Sutiyoso diberitahu bahwa
perintah penyusupan ke daerah Viqueque dibatalkan. Beberapa waktu setelah pembatalan
penyusupan ke Viqueque, Kapten Sutiyoso mengatakan bahwa ia mungkin
tidak dapat kembali setelah melakukan penyerangan Viqueque yang terletak
jauh dari basis. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia siap melaksanakan
tugas itu sebaik-baiknya.
Kolonel Dading
Kalbuadi saat berada di medan Operasi Flamboyan
Pasukan Celana Jeans
(The Blue Jeans Soldiers)
Para pelaku limited combat intelligence tidak berstatus sebagai
anggota militer, tetapi mereka berstatus sebagai sukarelawan. Dengan
demikian anggota pasukan sandiyudha yang bertugas kebanyakan hanya
mengenakan kaos oblong dan celana blue jeans. Hal itulah yang
menyebabkan mereka dijuluki the blue jeans soldiers, sedangkan para
pejuang integrasi dari keempat partai dijuluki Partisan seperti
panggilan para pejuang Prancis pada masa pendudukan Jerman dalam Perang
Dunia II. Tenaga Bantuan Opearasi (TBO) disebut Haiho, yaitu nama
pasukan pribumi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam struktur
organisasi Bala Tentara dai Nippon ketika menduduki Indonesia,
sebenarnya Tenaga Bantuan Operasi disebut To Bang.
Para awak pesawat militer dan awak pesawat sipil yang mendukung
operasi flamboyan juga berstatus sebagai sukarelawan. Penerbang militer
yang menerbangkan pesawat sipil dengan registrasi PK seperti Pelita Air
Service atau Dirgantara
Para awak pesawat militer dan awak pesawat sipil yang mendukung
operasi flamboyan juga berstatus sebagai sukarelawan. Penerbang militer
yang menerbangkan pesawat sipil dengan registrasi PK seperti Pelita Air
Service atau Dirgantara Air Service, biasanya mengenakan baju putih dan
celana biru tua seperti lazimnya awak pesawat komersial. Tetapi di
samping kursi penerbang dan mekanik terdapat senapan serbu G-3 atau
AK-47. Awak pesawat TNI AU mengenakan overall tanpa tanda pangkat maupun
atribut kesatuan militer. Bahkan kadang-kadang mereka hanya mengenakan
pakaian preman. Dua pesawat pembom serbu B-26 Invader dan dua AC-47
Gunship yang digunakan untuk operasi itu, dihilangkan identitasnya di
Lanud Penfui. Lambang segi lima, huruf yang berbunyi TNI AU dan call
sign pesawat dihapus dengan jalan menyemprot cat berwarna putih. Pasukan
Marinir mengenakan pakaian dinas lapangan secare terbalik agar nama,
pangkat, dan atribut militer tidak tampak.
Karsayudha Kopassandha dapat disejajarkan dengan The B-Team dalam Organisasi US Special Forces. Jika The B-Team berkekuatan 68 orang, yaitu terdiri dari 20 orang staf markas dan empat A-Team masing-masing sebanyak 12 orang, maka Karsayudha Kopassandha berkekuatan 72 orang, yaitu 20 orang staf markas dan empat Prayudha masing berkekuatan sebanyak 13 orang. Baik Komandan Karsayudha maupun The B-Team dipimpin oleh seorang perwira menengah berpangkat Mayor.
Karsayudha Kopassandha dapat disejajarkan dengan The B-Team dalam Organisasi US Special Forces. Jika The B-Team berkekuatan 68 orang, yaitu terdiri dari 20 orang staf markas dan empat A-Team masing-masing sebanyak 12 orang, maka Karsayudha Kopassandha berkekuatan 72 orang, yaitu 20 orang staf markas dan empat Prayudha masing berkekuatan sebanyak 13 orang. Baik Komandan Karsayudha maupun The B-Team dipimpin oleh seorang perwira menengah berpangkat Mayor.
Prayudha Kopassandha dapat disejajarkan dengan The A-Team dalam
organisasi US Special Forces. Susunan Prayudha terdiri dari seorang
Komandan berpangkat Kapten, seorang Wakil Komandan, seorang Bintara
Operasi, dua orang Prajurit PHB, dua orang Prajurit Kesehatan, dua orang
Prajurit Intelijen/Territorial, dua orang prajurit Persenjataan,
seorang Prajurit Logistik, dan seorang Prajurit Zeni untuk demolisi.
Seluruhnya berjumlah 13 orang.
Prestasi Dading dalam memimpin Operasi Flamboyan, kemudian dilanjutkan dengan Operasi Seroja (operasi militer terbuka).
Pada hari kedua Operasi Seroja pada tanggal 8 Desember 1978 ketika belum seluruh Dilli dikuasai oleh TNI, Assisten Hankam Mayjen Benny Moerdani dengan pesawat kecil sudah mendarat di lapangan terbang Comoro untuk memberikan dukungan semangat pada anak buahnya, di belakang Mayjen Benny Moerdani, nampak Kolonel Dading
Kalbuadi (membawa senapan AK 47).
Pada hari kedua Operasi Seroja ketika belum seluruh Dilli dikuasai oleh TNI, Assisten Hankam Mayjen Benny
Moerdani dengan pesawat kecil sudah mendarat di lapangan terbang Comoro
untuk memberikan dukungan semangat pada anak buahnya. Nampak di foto Mayjen Benny Moerdani bersama Kolonel Dading
Kalbuadi dan Kol. Rodofl Kasenda sedang menginspeksi pasukan gabungan yang sedang bertarung di Dilli.
Sehari setelah Batugede jatuh ke tangan TNI, Mayjen Benny Moerdani (memakai seragam safari), mengadakan inspeksi didampingi oleh Kolonel Dading
Kalbuadi (menggunakan kaos putih dan topi cowboy).
Kolonel Dading
Kalbuadi (menggunakan kaos putih dan topi cowboy).
Dading baru ditarik dari palagan Timor Leste, setelah salah satu tim
yang dia pimpin berhasil melumpuhkan Presiden Timor Leste “Merdeka”
Nicolao Lobato. Dading selanjutnya diangkat sebagai Pangdam Udayana di
Bali (1978-1983).