Jumat, 29 Maret 2019

Sejarah Resimen Pelopor


Sejarah Resimen Pelopor Brigade Mobil


Latar belakang

Pada masa tahun 1950-an Brigade Mobil (Brimob) merupakan tulang punggung utama Polri bersama dengan kesatuan Perintis sebagai kesatuan pelapisnya. Pada masa itu, pendidikan Brimob di berbagai Sekolah Polisi Negara (SPN) mempunyai materi dasar-dasar kemiliteran dan infanteri. Pendidikan dasar berupa teknik bertempur level peleton, menembak ahli dan gerakan tempur mulai regu sampai dengan batalyon diajarkan. Pendidikan menjadi tamtama Brigade Mobil memerlukan waktu 13 bulan, bandingkan dengan pendidikan tamtama TNI AD waktu itu yang hanya memerlukan waktu 4 bulan. Konsekuensinya jumlah kompi Brimob yang ada pada waktu itu juga tidak cukup untuk mengatasi konflik bersenjata di daerah.

Salah satunya adalah Pada peristiwa pemberontakan di daerah-daerah pada dekade 50-an,kompi-kompi Brigade Mobil banyak dikerahkan untuk meredamnya. Namun demikian, lawan yang mereka hadapi adalah para mantan pejuang dengan kemampuan tinggi dalam melakukan perang gerilya. Kebanyakan kompi Brimob yang dikerahkan untuk memadamkan pemberontakan adalah para prajurit yunior yang belum mengalami pertempuran gerilya. 

Pemberontakan Batalyon 426 yang berkedudukan di Magelang dan Kudus karena pengaruh unsur DI/TII pada tahun 1951 adalah gerakan pemberontakan yang cukup serius. Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten Sofyan dan Kapten Alif. Batalyon ini merupakan TNI reguler yang mempunyai pengalaman dalam perang gerilya melawan Belanda. Gerakan pasukan ini sampai dengan wilayah Klaten dan Karanganyar. Pasukan pemberontak berkedudukan di Pedan, Klaten.  Pasukan Mobile Brigade (Brimob) juga terlibat dalam penghadangan pemberontak, namun karena mereka kalah pengalaman dalam pertempuran hutan, banyak anggota Brimob dari Surakarta yang menjadi korban. 

Pada waktu itu senjata perorangan yang dipergunakan pasukan Brimob cukup memadai untuk menjadi pasukan infanteri karena mereka menggunakan senapan Lee Enfield. Senjata laras panjang buatan Inggris yang biasa dipergunakan pasukan infanteri. Senapan dengan sistem bolt action ini menjadi andalan Brimob untuk menghadang musuh. Pasukan pemberontak sebagian besar juga menggunakan senjata yang sama, namun demikian sekali lagi pasukan Brimob pada masa itu belum dibekali dengan pengetahuan perang anti gerilya, sehingga mereka tidak mampu menghadang pemberontak.

Pasukan pemberontak berani melakukan serbuan (raid) ke kota untuk melakukan pengacauan. Beberapa pemberontak DI/TII di wilayah Tegal-Brebes pimpinan Amir Fatah seringkali berani menyerang markasi polisi atau asrama polisi di kota. Pada umumnya mereka menyerang markas polisi yang dijaga satuan-satuan Perintis. Satuan-satuan Perintis tersebut hanya mampu bertahan di dalam markas dengan tujuan utama mempertahankan markasnya. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengejar musuh dan melakukan serangan balasan, atau bahkan menangkap mereka sesuai dengan tugas sebagai polisi di masa itu. Hal ini yang mendorong para petinggi Polri dan pemerintah di masa itu untuk membentuk unit pasukan khusus di dalam Polri yang mempunyai kemampuan melakukan siasat perang anti gerilya. 

Hal ini yang melatarbelakangi pembentukan pasukan Ranger Brigade Mobil. Masalahnya adalah bagaimana mendidik prajurit Brimob menjadi seorang Ranger dengan keahlian pertempuran hutan, pergerakan tempur yang cepat dan kemampuan melakukan pertempuran jarak dekat. Selanjutnya pihak DKN (Dinas Kepolisian Negara)/Mabes Polri yang melakukan inventarisasi kebutuhan untuk membentuk pasukan khusus untuk menangani pemberontakan bersenjata di dalam negeri.  

Salah satu pendiri Brimob, Moehamad Jasin, menyatakan dalam buku Memoar Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia (2010:184-185), bahwa semula hanya 20 Brimob (yang kala itu masih bernama Mobrig) saja yang mendapat latihan di Filipina sejak 1953.

Terbongkarnya konspirasi CIA untuk menggulingkan pemerintah Indonesia membuat panik pemerintah Amerika Serikat. Amerika Serikat dan CIA kemudian membuat manuver untuk ”mengambil hati” Bung Karno. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah AS adalah memberikan bantuan militer bagi Indonesia dengan mendidik para perwira militer Indonesia di AS. Brigade Mobil juga mendapatkan ”berkah” dari aksi permintaan maaf oleh pemerintah Amerika Serikat ini.

Berkah dari kebijakan ini klop dengan rencana Mobile Brigade (Mobrig) untuk membentuk pasukan Ranger dengan kemampuan light infantery. Mereka baru saja membentuk Sekolah Pendidikan Mobile Brigade (SPMB) di Watukosek, Porong, Jawa Timur pada 10 Juni 1955. Seluruh instruktur SPMB dikirim ke Filipina untuk mempelajari pembentukan pasukan ranger.

Menurut catatan majalah Commando Volume IX Edisi Nomor 5 (2013:26), personel yang dikirim itu datang bergelombang (1955;1959;1960). Mereka digembleng pasukan Special Force dan Marinir Amerika Serikat. Sumber lain menyebutkan bahwa pada tahun 1950-an ada beberapa perwira Polri dari Mobile Brigade (Brimob) yang mendapatkan kursus infanteri lanjut di Fort Lavenworth dan Fort Bragg di Amerika Serikat. (Pour, 2007, h 78). Diantara mereka adalah Inspektur Anton Soedjarwo. Kebetulan para perwira yang mendapatkan pendidikan di AS itu adalah mantan Tentara Pelajar (TP). 

Bapak Anton Soedjarwo saat menjadi Tentara Pelajar

Pada bulan Januari 1959, pemerintah AS memberikan bantuan pelatihan militer dan senjata kepada Brigade Mobil dari Kepolisian Republik Indonesia. Ada 8 perwira polisi yang dididik di Okinawa (pangkalan marinir AS) sebagai kontingen pertama. Selanjutnya pada bulan September 1959 kompi pertama Brimob Ranger telah dibentuk. Pada pertengahan 1960 kontingen kedua perwira polisi Indonesia kembali dididik menjadi Ranger.

Pasukan Ranger dari Brigade Mobil ini dibentuk untuk mengatasi pemberontakan bersenjata dalam negeri. Pemerintah AS menugaskan US Army First Special Group Airborne dengan komandan Kapten Wilson untuk melatih. Meskipun instruktur pelatihan Ranger ini sebagian besar dari marinir AS di Okinawa namun pola latihan mereka merupakan gabungan dari Ranger AD AS dan pasukan Recon USMC (United States Marine Corps).

Hasilnya, Kompi 5994 Ranger Mobile Brigade
(“Maknanya, tahun 59 dengan jumlah kesatuan 94) dengan kekuatan 94 personil. Jumlah ini terus bertambah hingga pada 1960 nama kompi ini diubah menjadi Resimen Pelopor. Pada awal terbentuknya Ranger Mobrig ini seragam yang dipergunakan adalah baju loreng dengan motif M1942 Frogskin atau kita kenal sebaqgai loreng “Macan Tutul”.

Jaket M65 dengan motif M1942 atau Loreng Macan Tutul Ranger Mobrig

 Penggunaan loreng M1942 atau biasa disebut Loreng Macan Tutul oleh Ranger Mobrig

Senjata modern bikinan AS kala itu menjadi senjata operasional resimen ini. Awalnya mereka mendapatkan senapan serbu US Carabine.

Selain mendapatkan pelatihan, pada pertengahan 1960, Ranger Brigade Mobil (saat itu namanya belum menjadi Pelopor) mendapatkan bantuan senjata senapan serbu AR 15 yang merupakan versi awal atau versi non-militer dari M 16 A1. Pasukan Ranger Mobrig ini adalah salah satu pengguna pertama senjata ini, bahkan pada saat itu pasukan reguler batalyon Infanteri AS yang ditugaskan di Vietnam sebagai observer masih menggunakan senjata M 1 Garrand.

Hasil latihan di Filipina itu sempat diuji coba di pegunungan Cirebon, Jawa Barat, terkait operasi penumpasan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
“Saya mengirim satu regu Mobil Brigade yang dipimpin Andi Abdurachman yang telah mendapat latihan Ranger di Filipina […] dalam gerakan ini, pasukan Mobil Brigade berhasil membunuh pemimpin gerombolan,” aku Moehamad Jasin dalam Memoar Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia (2010:184-185).

Ketika Kompi A Ranger Mobrig di bawah pimpinan Inspektur Dua (Ipda) Hartino. Ipda Hartino adalah salah satu di antara dua perwira yang lolos seleksi Ranger angkatan I tahun 1959. Kompi A ini menempuh “test mission” menghadang pemberontak DI/TII di Tasikmalaya Jawa Barat tahun 1959, Ipda Hartino selalu. memimpin langsung satu regu untuk menghadang lawan. Ketika terjadi pertemuan dengan musuh, posisi beliau selalu berada di depan dan terus berlari mencari posisi sambil melepas tembakan. Ini membuat anak buah yang berada di belakangnya kewalahan mengejar sang komandan. Para anggota Kompi A selalu teringat bahwa dalam setiap kontak senjata, US Carabine milik Ipda Hartino-lah yang selalu menjadi senapan pertama pasukan Brimob Ranger yang melepaskan peluru.

Keunikan lain dari sang komandan adalah bahwa regu yang ia pimpin selalu bertemu dengan pemberontak, baik dalam misi di Jawa Barat tahun 1959 maupun ketika di Sumatra tahun 1960. Banyak anak buahnya mengira Ipda Hartino memiliki jimat yang menyebabkan beliau mampu menjejak gerombolan pemberontak. Karena hal ini, setiap regu yang komandonya di ambil alih oleh Ipda Hartino selalu menyiapkan amunisi tambahan sebagai persiapan menghadapi kontak tembak yang biasanya berlangsung lama. Pasukan pemberontak yang bertemu dengan pasukan Ranger pimpinan Ipda Hartino selalu dikejar dan jarang dilepaskan.
Ipda Hartino juga memiliki kebijakan lapangan yang terkenal dikalangan anak buahnya, yaitu tidak diperkenankan membawa tawanan dalam pertempuran, artinya setiap musuh harus ditembak. Itulah sebabnya ia menjadi sosok yang kontroversial.


Peristiwa ini diangkat dari pertempuran antara dua peleton pasukan dari kompi A Brimob Rangers pimpinan Aiptu Suwandi (Danton II) dan Aiptu Soepeno (Danton III) dengan satu Batalion pembrontak PRRI/Permesta. Seperti kita ketahui, tahun 1958 muncul pemberontakan PRRI/Permesta dengan pusat di Pekanbaru dan Padang yang dimotori beberapa perwira menengah Angkatan Darat di Sumatera. Inti dari pemberontakan ini adalah ketidakpuasan dengan kebijakan pemerintah pusat di Jakarta.

Anggota Resimen Pelopor dari Kompi A (5994)


Pemberontakan dalam skala besar sudah berhasil ditumpas dengan Operasi Tegas dan Operasi 17 Agustus. Pada akhir 1958, semua kota besar di Sumatera, baik Pekanbaru dan Padang sudah kembali ke pangkuan RI, selain itu banyak dari pasukan pemberontak yang menyerah. Namun demikian, sampai tahun 1961 banyak sisa pasukan PRRI. Salah satunya batalion dipimpin Letkol Nawawi yang bergerilya di hutan pedalaman Sumatera. Batalion ini dipersenjatai senjata bantuan Amerika Serikat pada awal 1958. Para prajurit infanteri Sumatera ini semuanya memegang senjata M1 Garand, M1 US Carbine, Thompson submachinegun, serta mortir 60 mm dan 80 mm. Menurut nara sumber dari Kompi A Brimob Rangers, Carbine mereka dari versi jungle popor lipat, yang berarti adalah M1A1 versi paratrooper.

Dua peleton Kompi A Brimob Rangers didaratkan di kawasan Pantai Ipuh pada Mei 1960 dengan kapal pendarat milik Polairud dengan kode lambung 801. Seperti standar pendaratan operasi ampibi, diawali tembakan senapan mesin 12,7mm dari kapal pendarat untuk memastikan tidak ada pembrontak yang menguasai pantai. Setelah penembakan baru satu kompi Brimob Rangers mendarat. Kompi A Brimob Rangers ini dikirim ke Sumatera untuk membantu Brimob Bengkulu yang beberapa minggu sebelumnya dibantai oleh Batalion Nawawi. Satu Batalion Brimob Bengkulu ini mengalami jumlah korban sangat besar karena serangan mendadak (raid) dari pembrontak PRRI. Markas Brimob Bengkulu ini sudah mengibarkan bendera putih tanda menyerah dan didalam markas hanya tinggal tesisa beberapa anggota yang selamat dari serangan dadakan tersebut.

Pasca pendaratan, dua kompi Brimob Rangers melakukan konsolidasi di pantai dan langsung mengejar gerombolan pemberontak yang berlokasi di Kecamatan Ipuh. Mereka kemudian bergabung dengan satu Batalion TNI AD dari Bangka Belitung dibawah komando Letkol Dani Effendi, Brimob Rangers difungsikan sebagai peleton pengintai dengan jarak lima kilometer di depan Batalyon Infanteri.

Masuk perbatasan Sumatera Selatan, peleton 1 bertemu dengan kompi terakhir Batalion Ahmad Lubis, dan terjadi kontak senjata pertama. Anehnya, posisi peleton 1 justru mengejar satu kompi pemberontak. Pada saat hari menjelang malam, ada teriakan dari pasukan pemberontak "istirahat makan.......!!!". Sangat aneh, pada saat kontak senjata seru, musuh menyerukan untuk istirahat dulu. Permintaan ini dituruti oleh Danton 1 Brimob Rangers karena kedua pasukan dihalangi sungai sehingga percuma juga untuk menyerang. Selain itu pasukan butuh istirahat setelah hampir beberapa hari bergerak sambil terus melakukan kontak senjata.

Pada akhirnya, peleton 1 sampai di daerah Penarik, Muko-Muko (saat ini menjadi daerah transmigran).Pada jam 17.00, Agen Polisi Ristoyo mendengar kokok ayam jantan di tengah hutan. Hal ini aneh karena biasanya yang terdengar adalah ayam hutan. Setelah melapor kepada Danton, dua prajurit Rangers dari peleton 1 merayap menuju arah suara tersebut, ternyata kompi staf batalyon dan beberapa kompi lain dari pemberontak sedang beristirahat. Musuh yang beristirahat diperkirakan berjumlah 300 orang, sedang menunggu giliran menyeberang sungai.
Peleton 1 segera mengambil posisi menyerang. Pada saat itu (1960) Brimob Rangers yang menggunakan Carbine, submachine gun Carl Gustav dan Bren MK3. Persenjataan dan posisi pasukan dipersiapkan oleh Danton sebaik mungkin. Kemudian Danton memberikan komando, tembak....!!! Desing peluru dari senapan anggota peleton 1 berhamburan. Pada tembakan magasen pertama, mereka masih membidik dengan baik sesuai teori. Namun pada magasen kedua dan selanjutnya penembakan reaksi lebih banyak dilakukan, karena pertempuran terjadi pada jarak dekat, selain itu hari sudah malam sehingga posisi musuh hanya bisa diketahui dari bunyi tembakan balasan mereka.
Pada awal posisi pertempuran, jarak antara pasukan musuh dengan peleton 1 Brimob Rangers sekitar 300 m, namun yang terjadi kemudian adalah pertempuran jarak dekat. Jarak antara Brimob Rangers dan musuh menjadi sekitar 5-6 m. Pertempuran yang terjadi tanpa garis pertahanan. Balasan dari musuh dengan berbagai senjata ringan sangat hebat, namun tampaknya mental bertempur mereka sudah jatuh karena banyak pewira yang tewas. Tentara PRRI dengan perlengkapan lengkap yaitu Bazooka berhasil melepaskan beberapa tembakan dan memakan korban Agen Polisi Suharto yang terkena pecahan peluru Bazooka di punggungnya. Korban lain adalah Brigadir Fattah yang terkena tembakan pada kakinya. Akhirnya setelah 1,5 jam, pertempuran usai dan musuh mundur. Peleton 1 tidak mengejar karena kelelahan. Setelah mengatur giliran jaga, anggota peleton 1 tidur di lokasi yang sebelumnya menjadi medan petempuran.
Beberapa menit setelah kontak selesai, dua orang anggota pasukan PRRI melakukan perembesan masuk ke daerah pertahanan peleton III dengan membawa senjata Garand. Bigadir Ketut Wahadi, Danru 1 Peleton III yang mengetahui hal itu, spontan membidikkan senjata Jungle-nya dan dua tembakan dilepaskan tepat mengenai kepala kedua tentara PRRI. Anggota regu 1 lain mengambil posisi tiarap dan menunggu penyusup lain, ternyata tidak ada tentara PRRI yang menyusul, hanya dua prajurit malang itu.
Pagi harinya, anggota peleton 1 menghitung jumlah korban dan senjata yang ditinggalkan. Ada sekitar 60 mayat pasukan musuh dan ada sekitar 10 perwira tewas. Senjata yang diringgalkan adalah puluhan M1 Garand, mortir dan Bazooka. Para anggota peleton 1 Brimob Rangers lega, karena musuh hanya sebentar menggunakan senjata tersebut. Jika senjata digunakan secara optimal ceritanya bisa lain. Agen Polisi Kartimin terkaget-kaget karena tempat yang ditidurinya semalam dekat dengan mayat pemberontak. Dalam pertempuran ini tidak ada satupun prajurit Brimob Rangers yang tewas, hanya dua korban luka Selanjutnya korban luka dibawa ke Palembang untuk perawatan.

 Lorteng Macan Tutul yang digunakan oleh Resimen Pelopor dan menggunakan sepatu palladium
Penggunaan loreng M1942 atau loreng “Macan Tutul’ masih terlihat pada tanggal 14 November 1961 pada saat penyerahan dwaja “Nugraha Sakanti Yana Utama”  dan nama Mobil Brigade (Mobrig) berubah menjadi Brigade Mobil (Brimob) sehingga pada tanggal 14 November ini ditetapkan sebagai hari jadi Brigade Mobil (Brimob). 

 Loreng Macan Tutul yang digunakan pada tanggal 14 November 1961 saat perubahan nama Mobil Brigade (Mobrig) menjadi Brigade Mobil atau Brimob

Pada tahun 1961 menjelang Operasi Mandala disebutkan bahwa satuan-satuan TNI-Polri mulai meninggalkan motif loreng 'macan tutul' dan menggantinya sesuai kekhasan masing-masing satuan. Di tahun 1961 ini secara resmi Menpor menggunakan seragam loreng Pelopor yang secara terbuka diperlihatkan dalam latihan Rimba Laut di Pelabuhan Ratu Sukabumi. 

 Menpor menggunakan seragam loreng Pelopor yang secara terbuka diperlihatkan dalam latihan Rimba Laut di Pelabuhan Ratu Sukabumi.

 Penyematan Kualifikasi Rimba Laut (Kualifikasi Bala). Perhatikan penggunakan topi khas Okinawa.

Sosok anggota Resimen Pelopor yang menjadi pawang K9 yang digunakan sebagai penjejak

Pakaian dinas lapangan khas Korps Brimob kedua yang kemudian dikenal sebagai loreng Pelopor adalah asli milik pasukan Resimen Pelopor saat akan ditugaskan pada Operasi Mandala dalam kampanye Trikora.
Kemudian, untuk mengembangkan pasukan dengan kemampuan Ranger itu, dibukalah pelatihan di Lido, Bogor, dan Watukosek. Setelah 1961, tentu saja banyak anggota Brimob dengan kemampuan Ranger yang punya pengalaman tempur melawan DI/TII dan PRRI/Permesta. Para Ranger itu semula hanya berada di Kompi 5994, tapi jumlahnya berkembang cepat sehingga mencapai satu batalyon, sehingga dikelompokkan dalam Batalyon 1232.

Dua peleton dari Kompi 5994, menurut Memet Tanumidjaja dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian (1971:111), terlibat dalam operasi 17 Agustus memberantas PRRI di Sumatra Tengah bagian selatan. Pasukan itu berkembang terus. Pada 1961, nama Ranger diubah menjadi Pelopor.

Kelapa Dua, yang menjadi asrama Brimob Ranger Batalyon 1232, pada 18 Februari 1962, menjadi saksi terbentuknya Resimen Team Pertempuran (RTP) I Brimob yang dipimpin Komisaris Polisi II Soetrasno. Menurut catatan Ahmad Junus Mokoginta dalam Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersendjata Bangsa Indonesia (1964:163), pasukan itu terbentuk berdasar Surat Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian tanggal 16 Desember 1961 nomor 4/Sk/Mk/1961.

Pasukan ini terbentuk setelah dicanangkannya Tri Komando Rakyat (Trikora) Pembebasan Papua. Menurut buku 20 Tahun Perkembangan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (1967:210), RTP dikirim ke Maluku sebagai batu lompatan ke Papua yang dikuasai Belanda. RTP ini disusupkan ke Papua Barat melalui Pulau Gorom, dekat dengan Fak Fak. Sekompi Brimob dari RTP di bawah komando Inspektur Polisi II Hudaja Sunarja kemudian berhasil mendarat di Papua Barat.

Pemberangkatan Pasukan Resimen Pelopor Brimob dalam rangka infiltrasi melalui laut menuju Fak-Fak pada 13 Mei 1962. 

Bermula dari kegagalan penyusupan pertama menjadikan pembelajaran berharga bagi pasukan Resimen Pelopor. Komandan Detasemen Pelopor AKP Anton Soedjarwo memerintahkan anggotanya untuk memperbaiki strategi pendaratan. Komandan detasemen kemudian menentukan tanggal 13 Mei 1962 sebagai hari penyusupan kedua. Untuk misi ini dipilih 20 anggota yang bertugas menyusp ke Fak-Fak. Mereka terdiri dari 13 anggota Pelopor Brimob, 4 anggota perhubungan (komunikasi) dari kompi 5120 Brimob, 1 anggota kesehatan, dan 2 sukarelawan penunjuk jalan. Perintah yang diberikan pada pasukan ini adalah mendarat di pantai Fak-Fak kemudian mencari lokasi untuk pemasangan pemancar radio. Setelah itu mereka diperintahkan untuk segera melapor ke posko Pelopor di pulau Gorom dan komando Pelopor di Kataloka. Pasukan ini berhasil mendarat di Fak-Fak pada tanggal 15 Mei 1962.
Penampakan baju loreng Resimen Pelopor di Papua seperti yang digunakan oleh Abrip Darwis Hasan dari RTP I Brimob Batalyon 1232 Kompi II yang bermarkas di Kelapa Dua yang menjadi anggota UNTEA (PBB) saat penyerahan Papua Barat dari Belanda ke pihak Republik Indonesia sekitar tahun 1962 – 1963. 

Loyalitas Resimen Pelopor kepada Sukarno tak perlu ditanyakan. Pada 1962, anggota Resimen Pelopor Brigadir Polisi Daryat berhasil menyelamatkan Presiden Sukarno dalam sebuah penembakan langsung.

“Awal 1964, Anton Sudjarwo meningkat tanggung jawabnya, ketika Batalyon Pelopor 1232 diperluas menjadi Resimen Pelopor penuh (Resimen Pelopor, disingkat sebagai Menpor). Markas resimen tetap di Kelapa Dua,” tulis Ken Conboy dalam Elite: The Special Forces of Indonesia, 1950-2008 (2008:137).
Kala Kepolisian bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) itu, pangkat Anton pun naik menjadi kolonel. Buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1984:858) menyebut Anton mengisi jabatan dari 1964 hingga 1972.
Di tahun 1964 sertelah selama hampir 15 tahun Letkol Qahhar Mudzakkar melawan pemerintah. Sama seperti Kartosuwiryo di Jawa Barat, Qahhar ingin menegakkan syariat Islam. Pada Konferensi Palopo 7 Agustus 1953, Qahhar menegaskan jika gerakannya adalah bagian dari Negara Islam Indonesia (NII).

Pemerintah langsung merespon dengan mengirim pasukan dari TT VII Wirabuana, kemudian Kompi A dan B dari Resimen Pelopor yang merupakan pasukan khusus. Pasukan dipimpin oleh Inspektur Satu Sumarni, perwira lulusan pendidikan Ranger tahun 1964. Pasukan itu berada di bawah BKO Kodam XIV/Hassanudin di bawah Pangdam Brigjen M Yusuf.

Di Palopo, pasukan Pelopor disebar ke beberapa wilayah. Peleton 1 ditempatkan di Massamba dengan Danton Aiptu Suripno, peleton 2 tetap di Palopo dengan Danton Aiptu Joko Sugiyono, sedangkan peleton 3 di Batus Tanduk dipimpin Aiptu Abdul Fatah.
"Setiap peleton Pelopor mendampingi satu kompi batalion TNI AD dari Kodam Siliwangi," demikian ditulis Anton Agus Setyawan dan Andi Muh Darlis dalam buku 'Resimen Pelopor Pasukan Elite yang Terlupakan.'

Kali ini, Resimen Pelopor benar-benar berhadapan dengan lawan tangguh karena hampir semua anggota Tentara Islam Indonesia (TII) di Sulawesi Selatan adalah bekas pasukan TNI AD. Bersama Qahhar, ada anggota TII yang ikut perang masa revolusi fisik tahun 1945 dan 1949.
Meski begitu, Resimen Pelopor yang sudah cukup pengalaman bisa meredam serangan para pemberontak. Mereka menerapkan taktik tempur bergerak di waktu malam, tidak mendirikan bivak dan bisa berpindah 4 sampai 5 kali. Strategi itu membuat pasukan TII kewalahan, jejak mereka diketahui dan pos-pos kecil berhasil dilumpuhkan.

Pada 1964 di Kendari, pasukan Pelopor kecolongan. Kala itu rombongan truk yang membawa logistik telah ditunggu oleh TII di kawasan perbukitan di Selatan Kendari. TII memasang trek bom dengan bahan utama TNT berdetonator. Setelah bom meledak, rentetan peluru muntah dari arah perbukitan seperti hujan deras. Komandan Resimen Pelopor terluka.

Kemudian, di Massamba peleton 3 kompi A Resimen Pelopor baku tembak dengan TII. Satu pasukan TII melempar granat, pecahan granat itu mengenai Agen Polisi Johan. Johan mengalami luka bakar parah di wajahnya.

Pasukan Qahhar bisa bertahan hingga puluhan tahun karena mereka menyamar dengan bertani, berdagang dan berinteraksi dengan rakyat. Dengan begitu pasokan logistik para kombatan selalu terpenuhi.

Selanjutnya dilakukan operasi antigerilya pemusnahan logistik, namun yang terjadi pertempuran terbuka di Sungai Lamase. Pasukan Qahhar berhasil menghindar, tetapi gudang logistik mereka akhirnya dikuasai oleh pasukan Resimen Pelopor dan Yon 330 Siliwangi.
Secara perlahan pemberontakan mulai surut, terlebih ketika orang kepercayaan Qahhar, Letkol Kadir Junus menyerahkan diri pada Januari 1965. Kadir membocorkan informasi jika Qahhar bersembunyi di Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara.

Satu tim dari Yon Kujang 330/Siliwangi mengepung persembunyian Qahhar, pada 3 Februari 1965. Sempat terjadi kontak senjata dengan para pengawal Qahhar.

Salah satu penyergap Kopral Sadeli melihat seorang pria keluar dari gubuk lalu melompat dengan membawa granat. Sadeli melepaskan tembakan, dan mengenai dada pria tersebut. Letkol Qahhar Mudzakkar tewas.

Peristiwa itu sekaligus mengakhiri pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dibawah pimpinan Letkol Qahhar Mudzakkar.

Jadi Resimen ini terlibat operasi penumpasan dan pembersihan berbagai pemberontakan, dari DI/TII Kartosuwiryo, DI/TII Daud Beureuh, PRRI, sampai operasi penumpasan DI/TII Kahar Muzakar.

Satu-satunya noda merah Resimen Pelopor adalah saat melakukan Penyusupan ke Malaysia dalam Operasi Dwikora. Mereka berhadapan dengan SAS (Special Air Service) Inggris, Pasukan Gurkha, dan Tentara Diraja Malaysia yang jumlahnya terlalu besar sehingga banyak anggota Resimen yang gugur. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1964. Pasukan diberangkatkan oleh Panglima ABRI Jenderal Ahmad Yani  dari Pulau Berakit, sekarang namanya jadi Batam. Beliau berpesan, jika bertemu tentara dengan bekas cacar air memanjang di lengan, itu tandanya ia orang Indonesia. Saat itu ada 129 orang berlayar ke Natuna. Berlayar dari Tanjung Pinang, November 1964. Dua perahu berhasil masuk daratan Malaysia.  Di bawah komando Iptu Nicholas A Titaley, pasukan Kompi D / Yon 32 Pelopor, menyusup ke Malaysia. Mereka bergerak malam hari menggunakan tiga perahu dari jalur Kepulauan Riau, menyeberangi Laut China Selatan. Akan tetapi pasukan ini tercerai berai karena ombak dan menghindari patroli kapal perang Malaysia. Selang beberapa jam, perahu tertambat di pantai wilayah Kota Tinggi, Malaysia. Mereka bersembunyi di hutan menghindari patroli pasukan gabungan Special Air Services (SAS), Gurkha, dan Tentara Diraja Malaysia. Seminggu makanan habis, kami survival. Jalan ke hutan, melewati pegunungan, tapi penunjuk jalan beretnis China, namanya Tambun, malah tidak tahu apa-apa. Akhirnya mereka terpaksa merebut logistik di sebuah toko sembako. Aksi ini tercium pasukan gabungan yang berpatroli dan menyergap tim Agen Polisi I Soerito. Kontak senjata tak terhindarkan dan menewaskan sebagian besar tim. Cuma Agen Polisi I Soerito dan Agen Polisi I Dudung yang berhasil meloloskan diri hingga ke Sungai Johor.  Sebanyak 33 anggota Resimen Pelopor Brimob tercatat meninggal Berhari-hari bersembunyi tanpa logistik memaksa keduanya keluar dari hutan pada 16 Mei 1964, tapi kemudian tertangkap. Kondisi keduanya kurus kering hingga harus dirawat selama 19 hari di rumah sakit Kota Johor. Setelah itu, keduanya menjalani interogasi. Salah seorang interogatornya adalah Kapten Nasir, yang mengaku bekas pemberontak PRRI yang lari ke Malaysia. Dia rupanya mengenal Kombes Anton Soedjarwo dan Resimen Pelopor (cikal bakal Brimob) karena pernah sama-sama mengikuti pelatihan Ranger oleh Amerika.

Singkat cerita, setelah menjalani semuanya, Soerito dan anggota pasukan yang ditahan di Port Sehan dipulangkan ke Indonesia. Tapi tak bisa langsung bergabung ke markasnya di Kelapa Dua, Depok. Selama berhari-hari lelaki dua anak itu menjalani wawancara soal Gerakan 30 September 1965 di Cikini.
Sampai mingguan di-screening, ditanya soal Nasakom, G30S/PKI. Kami kan di penjara Malaysia, jadi ya tidak tahu apa-apa soal itu, papar Soerito. Setelah mereka dinyatakan bersih, Kombes Anton Soedjarwo menyambutnya.    
Amji Attak adalah Komandan Pleton berpangkat Letnan Dua. Dia dari Sekolah Agen tahun 1958, saat itu sudah masuk Mobrig (Mobil Brigade).  Kelompok Amji Attak masuk ke Malaysia pada Maret 1965. Dengan 7 perahu, mereka bergerak maju, hingga dihantam dengan berondongan peluru oleh kapal perang Inggris. Dari pasukan Amji Attak ini berhasil lolos dari maut, seorang anggota Mobrig, Rubino. Dalam peristiwa Dwikora itu, Soemarjo ingaty ada 5 perahu dan 1 helikopter hancur, 18 orang prajuti tewas di laut. Mereka dari  Marinir TNI AL, Kopasgat TNI AU dan Menpon Resimen Pelopor Brimob.Setelah dibubarkannya pasukan Cakrabirawa anggota Resimen Pelopor dari Batalyon 1232 yang dulunya bergabung dengan Pasukan Cakrabirawa dimasukkan dalam kesatuan baru dengan nama mengambil no belakang Batalyon 1232 yaitu 32 maka jadilah Batalyon 32 Para di sekitar tahun 1966.

 Upacara Peresmian Batalyon 32 Para POLRI nampak menggunakan seragam motif M1942 atau loreng Macan Tutul dengan motif lebih gelap dan lebih lebar

Penyematan tanda Komandan Batalyon 32 Para Brimob

Komandan Upacara menggunakan seragam motif Tiger Stripe diyakini lorteng ini masuk ke Indonesia atas inisiatif Herman Sareng Sudiro yang saat itu menjabat sebagai Komandan Kogabdik Para, dimana saat itu Batalyon 32 Para mengikuti pelatihan para.

 Personil Batalyon 32 Para di Sukasari dengan seragam loreng yang khas untuk Batalyon 32 Para ini.


 
Motif camouflage seragam Batalyon 32 Para


Saat tahun 1966 nampak anggota Brimobda Irian Barat yang bernama Agen Polisi I  Soeprijono yang merupakan anggota Resimen XII Recon Kompi B menggunakan baju untuk tugas khusus pertempuran di hutan yang motif lorengnya mirip dengan motif loreng Macan Tutul milik KKO TNI AL. Ini memarik dipelajari sejarahnya. Brimobda Irian Barat menggunakan loreng Macan Tutul ini karena pasca 1965, kedekatan Resimen ini dengan Sukarno berimbas buruk. Soeharto sebagai penguasa Orde Baru yang baru melantik Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso sebagai Panglima Kepolisian (sekarang Polri) memberikan perintah untuk mengkhususkan polisi pada penegakan hukum. Restrukurisasi kepolisian-pun dilakukan, Resimen Pelopor dibubarkan. Hoegeng mengirim seluruh anggotanya ke Papua untuk membentuk Polda Irian Jaya dan embrio Brimob Daerah Papua. Makanya Brimobda Irian Barat saat itu menggunakan loreng Macan Tutultapi mungkin karena untuk mendapatkan loreng Macan Tutul yang turunan M1942 sudah sulit untuk mendapatkan yang baru maka digunakan loreng Macan Tutul yang seperti punyanya KKO TNI AL.



 Seragam Resimen Pelopor yang mirip dengan motif KKO TNI AL 

Sejak 1969, kolonel  Anton Sudjarwo memimpin pasukan tersebut sembari menjadi Kepala Kepolisian wilayah Tanjung Priok.

Di tahun 1969 – 1970 penggunaan loreng motif garis mengalir khas Menpor mulai meredup karena Menpor dilikuidasi untuk restukturisasi internal Kepolisian. Pasca likudidasi, Menpor diperlakukan sebagai Brigade Mobil di bawah komando Mabes Polri. Seragam loreng khas Menpor juga diganti PDL warna hijau rimba khas Brimob.

Kemudian pada tahun 1974 – 1976 Menpor bertransformasi menjadi Gegana di tahun 1974. Meskipun begitu gaung keperkasaan resimen Pelopor ini masih terasa saat perebutan Timor-Timur. Mantan Resimen Pelopor dikumpulkan dengan TNI dan membentuk Densus Alap-Alap dalam Komando Tugas Operasi Gabungan (Kogasga) Seroja.
Ketidak konsistenan pemerintah Orde Baru untuk tidak lagi melibatkan Kepolisian dalam operasi tempur mulai nampak dengan perintah Presiden Soeharto terhadap Panglima ABRI dan Dephankam untuk segera mengerahkan segala kekuatanya untuk menyelesaikan persoalan Timor-Timur. Dephankam sendiri kemudian menugaskan kepada Kapolri untuk memberikan orang-orang terbaiknya. Menanggapi tugas ini Kapolri kemudian menugaskan kepada Komandan Korps Brimob Kolonel (Pol) Anton Soedjarwo untuk menyiapkan pasukannya untuk operasi infiltrasi ke Timor-Timur. Kemudian dilakukanlah regrouping para mantan anggota resimen pelopor yang berada di Kelapa Dua dan Polda Metro. Dari hasil regrouping ini Kol (pol) Anton Soedjarwo membentuk Detasemen Khusus Alap-Alap yang terdiri dari satu kompi Brimob eks Pelopor di Kelapa Dua dan beberapa anggota Pelopor yang diambil dari berbagai kesatuan di Polda Metro.

 Defile dari anggota Brimob yang menggunakan doreng cirikhas menpor eks resimen Pelopor menjelang dilaksanakanya Operasi Seroja.

Pemakaian motif loreng khas Menpor semakin hilang dengan adanya kontroversi tragedi Minggu Palma oleh Batalyon Teratai tahun 1976 di Timor Timur. Gegana waktu itu menggunakan baju PDL warna hijau rimba khas Brimob. 


 Baju hijau yang digunakan oleh Brigade Mobil atau Brimob

 Anggota Brimob menggunakan baju hijau saat operasi di Timor Timur

Sampai sebelum tahun 1983 di lingkungan ABRI terdapat 10 macam motif doreng dimana POLRI memiliki satu macam motif doreng yamng resmi.

 Pasukan dari Kompi 5138 yang akan melaksanakan tugas misi khusus operasi senyap

Pada tanggal 5 Oktober 1986 Menhankam/Pangab yang dijabat Jenderal TNI LB Moerdani menghentikan pemakaian 10 seragam loreng dari berbagai kesatuan. Alasannya, menghemat biaya dan meningkatkan disiplin.

Sebagai ganti 10 seragam loreng kesatuan itu, hanya dipakai 1 motif saja, yakni, loreng DPM (Disruptive Pattern Material) Inggris.

 Anggota Gegana Brigade Mobil atau Brimob menggunakan seragam loreng bermotif
DPM (Disruptive Pattern Material) sekitar tahun 1990an saat bertugas di Aceh

Pada tahun 1996 Satu per satu personel Brimob mulai menjahit kembali PDL dengan mengambil motif Loreng Menpor, untuk kemudian oleh personel Brimob, diberikan nama generik sebagai "Loreng Pelopor".

5 Oktober 1998 Secara resmi penggunaan seragam motif Loreng Pelopor digunakan kembali secara terbuka oleh Korps Brimob Polri dari Batalyon B Resimen I Korps Brimob Polri, pimpinan AKB Gatot Mangkurat saat upacara peringatan hari ABRI yang digelar di Lanud TNI AU Halim Perdanakusumah.

 Jajaran Resimen I Kedunghalang pewrnah mendapatkan pembagian jaket bermotif ini pada tahun 1998 dan ini merupakan motif loreng Menpor yang pemakaiannya sangat terbatas

November 2013 Mabes Polri mengeluarkan 'Naskah Pengaturan Penggunaan Pakaian Dinas Lapangan di Lingkungan Korps Brimob' yang merekomendasikan memakai kembali seragam loreng dengan 3 alasan yakni:

1. Berdasarkan pertimbangan historis merupakan bagian dari sejarah perjuangan Korps Brimob yang perlu dipertahankan.

2. Adanya kebutuhan penugasan khususnya medan operasi yang sangat spesifik menghadapi gangguan kamtibmas berkadar tinggi.

3. Kepatutan penggunaan seragam bermotif loreng, sebagaimana digunakan oleh beberapa lembaga penegak hukum dan Kepolisian secara internasional.

"Hingga kejatuhan Soeharto, Brimob masih mewartakan diri sebagai polisi paramiliter yang memiliki kekhasan dan warna militeristik yang kental," tulis Muradi dalam makalahnya, Reformasi Brimob Polri Antara Tradisi Militer-dan Kultur Polisi Sipil.

September 2014 sedangkan merujuk dari situs brimobpoldakaltim.com, PDL loreng digunakan sesuai dengan surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor: Kep/748/IX/2014 tentang Penggunaan Pakaian Dinas Lapangan (PDL) Loreng bagi personel Korps Brimob Polri.

14 November 2014 Kapolri Jenderal Pol Sutarman meresmikan pemakaian seragam loreng untuk Brimob saat memperingati HUT ke-69 Brimob, di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (14/11/2014) ini.
"Berdasarkan keputusan Kapolri, penggunaan pakaian dinas lapangan PDL bermotif loreng secara resmi digunakan kembali yang selama ini tak dilaksanakan," ujar Sutarman saat menyampaikan amanat Inspektur Upacara di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (14/11/2014).


 Seragam Resimen Pelopor Brimob saat ini



Sumber :
Anonim, Sejarah PDL Loreng Brimob: Seragam Tentara AS hingga Merebut dari Belanda, https://news.detik.com/berita/d-2748506/sejarah-pdl-loreng-brimob-seragam-tentara-as-hingga-merebut-dari-belanda
Anton A. Setyawan, PERISTIWA PENARIK, MUKO - MUKO, PERTENGAHAN TAHUN 1960, https://garudamiliter.blogspot.com/2012/03/brimob-ranger-war-1.html   
Aryo Bhawono, Brimob: Loyalis Sukarno, Dilatih AS, Dibubarkan Orba, https://news.detik.com/berita/d-3667813/brimob-loyalis-sukarno-dilatih-as-dibubarkan-orba   
Aryo Bhawono, Pulang Operasi Ganyang Malaysia, Prajurit Brimob Dicurigai Terlibat PKI, https://news.detik.com/berita/d-3670743/pulang-operasi-ganyang-malaysia-prajurit-brimob-dicurigai-terlibat-pki
Petrik Matanasi, Mako Brimob Kelapa Dua, Markas Ranger yang Aman bagi Sukarno, https://tirto.id/mako-brimob-kelapa-dua-markas-ranger-yang-aman-bagi-sukarno-cKbM