Sejarah Resimen Pelopor Brigade Mobil
Latar belakang
Pada masa tahun 1950-an Brigade Mobil (Brimob) merupakan tulang
punggung utama Polri bersama dengan kesatuan Perintis sebagai kesatuan
pelapisnya. Pada masa itu, pendidikan Brimob di berbagai Sekolah Polisi Negara
(SPN) mempunyai materi dasar-dasar kemiliteran dan infanteri. Pendidikan dasar
berupa teknik bertempur level peleton, menembak ahli dan gerakan tempur mulai
regu sampai dengan batalyon diajarkan. Pendidikan menjadi tamtama Brigade Mobil
memerlukan waktu 13 bulan, bandingkan dengan pendidikan tamtama TNI AD waktu
itu yang hanya memerlukan waktu 4 bulan. Konsekuensinya jumlah kompi Brimob
yang ada pada waktu itu juga tidak cukup untuk mengatasi konflik bersenjata di
daerah.
Salah satunya adalah Pada
peristiwa pemberontakan di daerah-daerah pada dekade 50-an,kompi-kompi Brigade
Mobil banyak dikerahkan untuk meredamnya. Namun demikian, lawan yang mereka
hadapi adalah para mantan pejuang dengan kemampuan tinggi dalam melakukan
perang gerilya. Kebanyakan kompi Brimob yang dikerahkan untuk memadamkan
pemberontakan adalah para prajurit yunior yang belum mengalami pertempuran
gerilya.
Pemberontakan Batalyon
426 yang berkedudukan di Magelang dan Kudus karena pengaruh unsur DI/TII pada
tahun 1951 adalah gerakan pemberontakan yang cukup serius. Pemberontakan ini
dipimpin oleh Kapten Sofyan dan Kapten Alif. Batalyon ini merupakan TNI reguler
yang mempunyai pengalaman dalam perang gerilya melawan Belanda. Gerakan pasukan
ini sampai dengan wilayah Klaten dan Karanganyar. Pasukan pemberontak
berkedudukan di Pedan, Klaten. Pasukan Mobile Brigade (Brimob) juga
terlibat dalam penghadangan pemberontak, namun karena mereka kalah pengalaman
dalam pertempuran hutan, banyak anggota Brimob dari Surakarta yang menjadi
korban.
Pada waktu itu senjata
perorangan yang dipergunakan pasukan Brimob cukup memadai untuk menjadi pasukan
infanteri karena mereka menggunakan senapan Lee
Enfield. Senjata laras panjang buatan Inggris yang biasa
dipergunakan pasukan infanteri. Senapan dengan sistem bolt action ini menjadi
andalan Brimob untuk menghadang musuh. Pasukan pemberontak sebagian besar juga
menggunakan senjata yang sama, namun demikian sekali lagi pasukan Brimob pada
masa itu belum dibekali dengan pengetahuan perang anti gerilya, sehingga mereka
tidak mampu menghadang pemberontak.
Pasukan pemberontak
berani melakukan serbuan (raid)
ke kota untuk melakukan pengacauan. Beberapa pemberontak DI/TII di wilayah
Tegal-Brebes pimpinan Amir Fatah seringkali berani menyerang markasi polisi
atau asrama polisi di kota. Pada umumnya mereka menyerang markas polisi yang
dijaga satuan-satuan Perintis. Satuan-satuan Perintis tersebut hanya mampu
bertahan di dalam markas dengan tujuan utama mempertahankan markasnya. Mereka
tidak mempunyai kemampuan untuk mengejar musuh dan melakukan serangan balasan,
atau bahkan menangkap mereka sesuai dengan tugas sebagai polisi di masa itu.
Hal ini yang mendorong para petinggi Polri dan pemerintah di masa itu untuk
membentuk unit pasukan khusus di dalam Polri yang mempunyai kemampuan melakukan
siasat perang anti gerilya.
Hal ini yang melatarbelakangi pembentukan pasukan Ranger Brigade
Mobil. Masalahnya adalah bagaimana mendidik prajurit Brimob menjadi seorang
Ranger dengan keahlian pertempuran hutan, pergerakan tempur yang cepat dan
kemampuan melakukan pertempuran jarak dekat. Selanjutnya pihak DKN (Dinas
Kepolisian Negara)/Mabes Polri yang melakukan inventarisasi kebutuhan untuk
membentuk pasukan khusus untuk menangani pemberontakan bersenjata di dalam
negeri.
Salah satu pendiri
Brimob, Moehamad Jasin, menyatakan dalam buku Memoar Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian
Indonesia (2010:184-185), bahwa semula hanya 20 Brimob (yang kala
itu masih bernama Mobrig) saja yang mendapat latihan di Filipina sejak 1953.
Terbongkarnya konspirasi CIA untuk menggulingkan
pemerintah Indonesia membuat panik pemerintah Amerika Serikat. Amerika Serikat
dan CIA kemudian membuat manuver untuk ”mengambil hati” Bung Karno. Langkah
pertama yang dilakukan pemerintah AS adalah memberikan bantuan militer bagi
Indonesia dengan mendidik para perwira militer Indonesia di AS. Brigade
Mobil juga mendapatkan ”berkah” dari aksi permintaan maaf oleh pemerintah
Amerika Serikat ini.
Berkah dari kebijakan ini klop dengan rencana Mobile Brigade (Mobrig)
untuk membentuk pasukan Ranger dengan kemampuan light
infantery. Mereka baru saja membentuk Sekolah Pendidikan Mobile
Brigade (SPMB) di Watukosek, Porong, Jawa Timur pada 10 Juni 1955. Seluruh
instruktur SPMB dikirim ke Filipina untuk mempelajari pembentukan pasukan
ranger.
Menurut catatan majalah Commando Volume IX Edisi
Nomor 5 (2013:26), personel yang dikirim itu datang bergelombang
(1955;1959;1960). Mereka digembleng pasukan Special Force dan Marinir Amerika
Serikat. Sumber lain menyebutkan bahwa pada tahun 1950-an ada beberapa perwira
Polri dari Mobile Brigade (Brimob) yang mendapatkan kursus infanteri lanjut di
Fort Lavenworth dan Fort Bragg di Amerika Serikat. (Pour, 2007, h 78). Diantara
mereka adalah Inspektur Anton Soedjarwo. Kebetulan para perwira yang
mendapatkan pendidikan di AS itu adalah mantan Tentara Pelajar (TP).
Pada bulan Januari 1959, pemerintah AS memberikan bantuan pelatihan militer dan senjata kepada Brigade Mobil dari Kepolisian Republik Indonesia. Ada 8 perwira polisi yang dididik di Okinawa (pangkalan marinir AS) sebagai kontingen pertama. Selanjutnya pada bulan September 1959 kompi pertama Brimob Ranger telah dibentuk. Pada pertengahan 1960 kontingen kedua perwira polisi Indonesia kembali dididik menjadi Ranger.
Bapak Anton Soedjarwo saat menjadi Tentara Pelajar
Pada bulan Januari 1959, pemerintah AS memberikan bantuan pelatihan militer dan senjata kepada Brigade Mobil dari Kepolisian Republik Indonesia. Ada 8 perwira polisi yang dididik di Okinawa (pangkalan marinir AS) sebagai kontingen pertama. Selanjutnya pada bulan September 1959 kompi pertama Brimob Ranger telah dibentuk. Pada pertengahan 1960 kontingen kedua perwira polisi Indonesia kembali dididik menjadi Ranger.
Pasukan Ranger dari
Brigade Mobil ini dibentuk untuk mengatasi pemberontakan bersenjata dalam
negeri. Pemerintah AS menugaskan US Army First Special Group Airborne
dengan komandan Kapten Wilson untuk melatih. Meskipun instruktur pelatihan Ranger ini
sebagian besar dari marinir AS di Okinawa namun pola latihan mereka merupakan
gabungan dari Ranger AD AS dan pasukan Recon USMC (United States Marine Corps).
Hasilnya, Kompi 5994 Ranger Mobile Brigade
(“Maknanya, tahun 59 dengan jumlah kesatuan 94) dengan kekuatan 94 personil. Jumlah ini terus bertambah hingga pada 1960 nama kompi ini diubah menjadi Resimen Pelopor. Pada awal terbentuknya Ranger Mobrig ini seragam yang dipergunakan adalah baju loreng dengan motif M1942 Frogskin atau kita kenal sebaqgai loreng “Macan Tutul”.
(“Maknanya, tahun 59 dengan jumlah kesatuan 94) dengan kekuatan 94 personil. Jumlah ini terus bertambah hingga pada 1960 nama kompi ini diubah menjadi Resimen Pelopor. Pada awal terbentuknya Ranger Mobrig ini seragam yang dipergunakan adalah baju loreng dengan motif M1942 Frogskin atau kita kenal sebaqgai loreng “Macan Tutul”.
Jaket M65 dengan motif M1942 atau Loreng Macan Tutul Ranger Mobrig
Penggunaan loreng M1942 atau biasa disebut Loreng Macan Tutul oleh Ranger Mobrig
Senjata modern
bikinan AS kala itu menjadi senjata operasional resimen ini. Awalnya mereka
mendapatkan senapan serbu US Carabine.
Selain
mendapatkan pelatihan, pada pertengahan 1960, Ranger Brigade Mobil (saat itu
namanya belum menjadi Pelopor) mendapatkan bantuan senjata senapan serbu AR 15
yang merupakan versi awal atau versi non-militer dari M 16 A1. Pasukan Ranger
Mobrig ini adalah salah satu pengguna pertama senjata ini, bahkan pada saat itu
pasukan reguler batalyon Infanteri AS yang ditugaskan di Vietnam sebagai observer
masih menggunakan senjata M 1 Garrand.
Hasil latihan di Filipina
itu sempat diuji coba di pegunungan Cirebon, Jawa Barat, terkait operasi
penumpasan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
“Saya mengirim satu regu Mobil Brigade yang dipimpin Andi Abdurachman yang telah mendapat latihan Ranger di Filipina […] dalam gerakan ini, pasukan Mobil Brigade berhasil membunuh pemimpin gerombolan,” aku Moehamad Jasin dalam Memoar Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia (2010:184-185).
“Saya mengirim satu regu Mobil Brigade yang dipimpin Andi Abdurachman yang telah mendapat latihan Ranger di Filipina […] dalam gerakan ini, pasukan Mobil Brigade berhasil membunuh pemimpin gerombolan,” aku Moehamad Jasin dalam Memoar Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia (2010:184-185).
Ketika Kompi A Ranger
Mobrig di bawah pimpinan Inspektur Dua (Ipda) Hartino. Ipda Hartino adalah
salah satu di antara dua perwira yang lolos seleksi Ranger angkatan I tahun
1959. Kompi A ini menempuh “test mission” menghadang pemberontak DI/TII di
Tasikmalaya Jawa Barat tahun 1959, Ipda Hartino selalu. memimpin langsung satu
regu untuk menghadang lawan. Ketika terjadi pertemuan dengan musuh, posisi
beliau selalu berada di depan dan terus berlari mencari posisi sambil melepas
tembakan. Ini membuat anak buah yang berada di belakangnya kewalahan mengejar
sang komandan. Para anggota Kompi A selalu teringat bahwa dalam setiap kontak
senjata, US Carabine milik Ipda Hartino-lah yang selalu menjadi senapan pertama
pasukan Brimob Ranger yang melepaskan peluru.
Keunikan lain dari sang
komandan adalah bahwa regu yang ia pimpin selalu bertemu dengan pemberontak,
baik dalam misi di Jawa Barat tahun 1959 maupun ketika di Sumatra tahun 1960.
Banyak anak buahnya mengira Ipda Hartino memiliki jimat yang menyebabkan beliau
mampu menjejak gerombolan pemberontak. Karena hal ini, setiap regu yang komandonya
di ambil alih oleh Ipda Hartino selalu menyiapkan amunisi tambahan sebagai
persiapan menghadapi kontak tembak yang biasanya berlangsung lama. Pasukan
pemberontak yang bertemu dengan pasukan Ranger pimpinan Ipda Hartino selalu
dikejar dan jarang dilepaskan.
Ipda Hartino juga memiliki kebijakan lapangan yang terkenal dikalangan anak buahnya, yaitu tidak diperkenankan membawa tawanan dalam pertempuran, artinya setiap musuh harus ditembak. Itulah sebabnya ia menjadi sosok yang kontroversial.
Ipda Hartino juga memiliki kebijakan lapangan yang terkenal dikalangan anak buahnya, yaitu tidak diperkenankan membawa tawanan dalam pertempuran, artinya setiap musuh harus ditembak. Itulah sebabnya ia menjadi sosok yang kontroversial.
Peristiwa
ini diangkat dari pertempuran antara dua peleton pasukan dari kompi A Brimob
Rangers pimpinan Aiptu Suwandi (Danton II) dan Aiptu Soepeno (Danton III)
dengan satu Batalion pembrontak PRRI/Permesta. Seperti kita ketahui, tahun 1958
muncul pemberontakan PRRI/Permesta dengan pusat di Pekanbaru dan Padang yang
dimotori beberapa perwira menengah Angkatan Darat di Sumatera. Inti dari
pemberontakan ini adalah ketidakpuasan dengan kebijakan pemerintah pusat di
Jakarta.
Anggota Resimen Pelopor dari Kompi A (5994)
Pemberontakan
dalam skala besar sudah berhasil ditumpas dengan Operasi Tegas dan Operasi 17
Agustus. Pada akhir 1958, semua kota besar di Sumatera, baik Pekanbaru dan
Padang sudah kembali ke pangkuan RI, selain itu banyak dari pasukan pemberontak
yang menyerah. Namun demikian, sampai tahun 1961 banyak sisa pasukan PRRI.
Salah satunya batalion dipimpin Letkol Nawawi yang bergerilya di hutan
pedalaman Sumatera. Batalion ini dipersenjatai senjata bantuan Amerika Serikat
pada awal 1958. Para prajurit infanteri Sumatera ini semuanya memegang senjata
M1 Garand, M1 US Carbine, Thompson submachinegun, serta
mortir 60 mm dan 80 mm. Menurut nara sumber dari Kompi A Brimob Rangers, Carbine
mereka dari versi jungle popor lipat, yang berarti adalah M1A1 versi paratrooper.
Dua peleton
Kompi A Brimob Rangers didaratkan di kawasan Pantai Ipuh pada Mei 1960 dengan
kapal pendarat milik Polairud dengan kode lambung 801. Seperti standar
pendaratan operasi ampibi, diawali tembakan senapan mesin 12,7mm dari kapal
pendarat untuk memastikan tidak ada pembrontak yang menguasai pantai. Setelah
penembakan baru satu kompi Brimob Rangers mendarat. Kompi A Brimob Rangers ini
dikirim ke Sumatera untuk membantu Brimob Bengkulu yang beberapa minggu
sebelumnya dibantai oleh Batalion Nawawi. Satu Batalion Brimob Bengkulu ini
mengalami jumlah korban sangat besar karena serangan mendadak (raid)
dari pembrontak PRRI. Markas Brimob Bengkulu ini sudah mengibarkan bendera
putih tanda menyerah dan didalam markas hanya tinggal tesisa beberapa anggota
yang selamat dari serangan dadakan tersebut.
Pasca
pendaratan, dua kompi Brimob Rangers melakukan konsolidasi di pantai dan
langsung mengejar gerombolan pemberontak yang berlokasi di Kecamatan Ipuh.
Mereka kemudian bergabung dengan satu Batalion TNI AD dari Bangka Belitung
dibawah komando Letkol Dani Effendi, Brimob Rangers difungsikan sebagai peleton
pengintai dengan jarak lima kilometer di depan Batalyon Infanteri.
Masuk
perbatasan Sumatera Selatan, peleton 1 bertemu dengan kompi terakhir Batalion
Ahmad Lubis, dan terjadi kontak senjata pertama. Anehnya, posisi peleton 1
justru mengejar satu kompi pemberontak. Pada saat hari menjelang malam, ada
teriakan dari pasukan pemberontak "istirahat makan.......!!!". Sangat
aneh, pada saat kontak senjata seru, musuh menyerukan untuk istirahat dulu.
Permintaan ini dituruti oleh Danton 1 Brimob Rangers karena kedua pasukan
dihalangi sungai sehingga percuma juga untuk menyerang. Selain itu pasukan
butuh istirahat setelah hampir beberapa hari bergerak sambil terus melakukan
kontak senjata.
Pada
akhirnya, peleton 1 sampai di daerah Penarik, Muko-Muko (saat ini menjadi
daerah transmigran).Pada jam 17.00, Agen Polisi Ristoyo mendengar kokok ayam
jantan di tengah hutan. Hal ini aneh karena biasanya yang terdengar adalah ayam
hutan. Setelah melapor kepada Danton, dua prajurit Rangers dari peleton 1
merayap menuju arah suara tersebut, ternyata kompi staf batalyon dan beberapa
kompi lain dari pemberontak sedang beristirahat. Musuh yang beristirahat
diperkirakan berjumlah 300 orang, sedang menunggu giliran menyeberang sungai.
Peleton 1
segera mengambil posisi menyerang. Pada saat itu (1960) Brimob Rangers yang
menggunakan Carbine, submachine gun Carl Gustav dan Bren MK3. Persenjataan dan
posisi pasukan dipersiapkan oleh Danton sebaik mungkin. Kemudian Danton
memberikan komando, tembak....!!! Desing peluru dari senapan anggota peleton 1
berhamburan. Pada tembakan magasen pertama, mereka masih membidik dengan baik
sesuai teori. Namun pada magasen kedua dan selanjutnya penembakan reaksi lebih
banyak dilakukan, karena pertempuran terjadi pada jarak dekat, selain itu hari
sudah malam sehingga posisi musuh hanya bisa diketahui dari bunyi tembakan
balasan mereka.
Pada awal
posisi pertempuran, jarak antara pasukan musuh dengan peleton 1 Brimob Rangers
sekitar 300 m, namun yang terjadi kemudian adalah pertempuran jarak dekat.
Jarak antara Brimob Rangers dan musuh menjadi sekitar 5-6 m. Pertempuran yang
terjadi tanpa garis pertahanan. Balasan dari musuh dengan berbagai senjata
ringan sangat hebat, namun tampaknya mental bertempur mereka sudah jatuh karena
banyak pewira yang tewas. Tentara PRRI dengan perlengkapan lengkap yaitu
Bazooka berhasil melepaskan beberapa tembakan dan memakan korban Agen Polisi
Suharto yang terkena pecahan peluru Bazooka di punggungnya. Korban lain adalah
Brigadir Fattah yang terkena tembakan pada kakinya. Akhirnya setelah 1,5 jam,
pertempuran usai dan musuh mundur. Peleton 1 tidak mengejar karena kelelahan.
Setelah mengatur giliran jaga, anggota peleton 1 tidur di lokasi yang
sebelumnya menjadi medan petempuran.
Beberapa
menit setelah kontak selesai, dua orang anggota pasukan PRRI melakukan
perembesan masuk ke daerah pertahanan peleton III dengan membawa senjata Garand.
Bigadir Ketut Wahadi, Danru 1 Peleton III yang mengetahui hal itu, spontan
membidikkan senjata Jungle-nya dan dua tembakan dilepaskan tepat
mengenai kepala kedua tentara PRRI. Anggota regu 1 lain mengambil posisi tiarap
dan menunggu penyusup lain, ternyata tidak ada tentara PRRI yang menyusul,
hanya dua prajurit malang itu.
Pagi
harinya, anggota peleton 1 menghitung jumlah korban dan senjata yang
ditinggalkan. Ada sekitar 60 mayat pasukan musuh dan ada sekitar 10 perwira
tewas. Senjata yang diringgalkan adalah puluhan M1 Garand, mortir dan
Bazooka. Para anggota peleton 1 Brimob Rangers lega, karena musuh hanya
sebentar menggunakan senjata tersebut. Jika senjata digunakan secara optimal
ceritanya bisa lain. Agen Polisi Kartimin terkaget-kaget karena tempat yang
ditidurinya semalam dekat dengan mayat pemberontak. Dalam pertempuran ini tidak
ada satupun prajurit Brimob Rangers yang tewas, hanya dua korban luka
Selanjutnya korban luka dibawa ke Palembang untuk perawatan.
Penggunaan loreng M1942
atau loreng “Macan Tutul’ masih terlihat pada tanggal 14 November 1961 pada
saat penyerahan dwaja “Nugraha Sakanti Yana Utama” dan nama Mobil Brigade (Mobrig) berubah
menjadi Brigade Mobil (Brimob) sehingga pada tanggal 14 November ini ditetapkan
sebagai hari jadi Brigade Mobil (Brimob).
Lorteng Macan Tutul yang digunakan oleh Resimen Pelopor dan menggunakan sepatu palladium
Loreng Macan Tutul yang digunakan pada tanggal 14 November 1961 saat perubahan nama Mobil Brigade (Mobrig) menjadi Brigade Mobil atau Brimob
Pada tahun 1961 menjelang
Operasi Mandala disebutkan bahwa satuan-satuan TNI-Polri mulai
meninggalkan motif loreng 'macan tutul' dan menggantinya sesuai kekhasan
masing-masing satuan. Di tahun 1961 ini secara resmi Menpor menggunakan seragam
loreng Pelopor yang secara terbuka diperlihatkan dalam latihan Rimba Laut di
Pelabuhan Ratu Sukabumi.
Pakaian dinas lapangan khas Korps Brimob kedua yang kemudian dikenal sebagai loreng Pelopor adalah asli milik pasukan Resimen Pelopor saat akan ditugaskan pada Operasi Mandala dalam kampanye Trikora.
Kemudian, untuk mengembangkan pasukan dengan kemampuan Ranger itu, dibukalah pelatihan di Lido, Bogor, dan Watukosek. Setelah 1961, tentu saja banyak anggota Brimob dengan kemampuan Ranger yang punya pengalaman tempur melawan DI/TII dan PRRI/Permesta. Para Ranger itu semula hanya berada di Kompi 5994, tapi jumlahnya berkembang cepat sehingga mencapai satu batalyon, sehingga dikelompokkan dalam Batalyon 1232.
Menpor menggunakan seragam
loreng Pelopor yang secara terbuka diperlihatkan dalam latihan Rimba Laut di
Pelabuhan Ratu Sukabumi.
Penyematan Kualifikasi Rimba Laut (Kualifikasi Bala). Perhatikan penggunakan topi khas Okinawa.
Sosok anggota Resimen Pelopor yang menjadi pawang K9 yang digunakan sebagai penjejak
Pakaian dinas lapangan khas Korps Brimob kedua yang kemudian dikenal sebagai loreng Pelopor adalah asli milik pasukan Resimen Pelopor saat akan ditugaskan pada Operasi Mandala dalam kampanye Trikora.
Kemudian, untuk mengembangkan pasukan dengan kemampuan Ranger itu, dibukalah pelatihan di Lido, Bogor, dan Watukosek. Setelah 1961, tentu saja banyak anggota Brimob dengan kemampuan Ranger yang punya pengalaman tempur melawan DI/TII dan PRRI/Permesta. Para Ranger itu semula hanya berada di Kompi 5994, tapi jumlahnya berkembang cepat sehingga mencapai satu batalyon, sehingga dikelompokkan dalam Batalyon 1232.
Dua peleton dari Kompi
5994, menurut Memet Tanumidjaja dalam Sedjarah
Perkembangan Angkatan Kepolisian (1971:111), terlibat dalam operasi
17 Agustus memberantas PRRI di Sumatra Tengah bagian selatan. Pasukan itu
berkembang terus. Pada 1961, nama Ranger diubah menjadi Pelopor.
Kelapa Dua, yang menjadi
asrama Brimob Ranger Batalyon 1232, pada 18 Februari 1962, menjadi saksi terbentuknya
Resimen Team Pertempuran (RTP) I Brimob yang dipimpin Komisaris Polisi II
Soetrasno. Menurut catatan Ahmad Junus Mokoginta dalam Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersendjata
Bangsa Indonesia (1964:163), pasukan itu terbentuk berdasar Surat
Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian tanggal 16 Desember 1961
nomor 4/Sk/Mk/1961.
Pasukan ini terbentuk
setelah dicanangkannya Tri Komando Rakyat (Trikora) Pembebasan Papua. Menurut
buku 20 Tahun Perkembangan
Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (1967:210), RTP dikirim ke
Maluku sebagai batu lompatan ke Papua yang dikuasai Belanda. RTP ini disusupkan
ke Papua Barat melalui Pulau Gorom, dekat dengan Fak Fak. Sekompi Brimob dari RTP di bawah komando
Inspektur Polisi II Hudaja Sunarja kemudian berhasil mendarat di Papua Barat.
Pemberangkatan Pasukan Resimen Pelopor Brimob dalam rangka infiltrasi
melalui laut menuju Fak-Fak pada 13 Mei 1962.
Bermula dari kegagalan penyusupan pertama menjadikan pembelajaran
berharga bagi pasukan Resimen Pelopor. Komandan Detasemen Pelopor AKP
Anton Soedjarwo memerintahkan anggotanya untuk memperbaiki strategi
pendaratan. Komandan detasemen kemudian menentukan tanggal 13 Mei 1962
sebagai hari penyusupan kedua.
Untuk misi ini dipilih 20 anggota yang bertugas menyusp ke Fak-Fak.
Mereka terdiri dari 13 anggota Pelopor Brimob, 4 anggota perhubungan
(komunikasi) dari kompi 5120 Brimob, 1 anggota kesehatan, dan 2
sukarelawan penunjuk jalan. Perintah yang diberikan pada pasukan ini
adalah mendarat di pantai Fak-Fak kemudian mencari lokasi untuk
pemasangan pemancar radio. Setelah itu mereka diperintahkan untuk segera
melapor ke posko Pelopor di pulau Gorom dan komando Pelopor di
Kataloka.
Pasukan ini berhasil mendarat di Fak-Fak pada tanggal 15 Mei 1962.
Penampakan baju loreng Resimen
Pelopor di Papua seperti yang digunakan oleh Abrip Darwis Hasan dari RTP I
Brimob Batalyon 1232 Kompi II yang bermarkas di Kelapa Dua yang menjadi anggota
UNTEA (PBB) saat penyerahan Papua Barat dari Belanda ke pihak Republik
Indonesia sekitar tahun 1962 – 1963.
Loyalitas Resimen Pelopor kepada Sukarno tak perlu ditanyakan. Pada
1962, anggota Resimen Pelopor Brigadir Polisi Daryat berhasil menyelamatkan
Presiden Sukarno dalam sebuah penembakan langsung.
“Awal 1964, Anton
Sudjarwo meningkat tanggung jawabnya, ketika Batalyon Pelopor 1232 diperluas
menjadi Resimen Pelopor penuh (Resimen Pelopor, disingkat sebagai Menpor).
Markas resimen tetap di Kelapa Dua,” tulis Ken Conboy dalam Elite: The Special Forces of Indonesia,
1950-2008 (2008:137).
Kala Kepolisian bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) itu, pangkat Anton pun naik menjadi kolonel. Buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1984:858) menyebut Anton mengisi jabatan dari 1964 hingga 1972.
Kala Kepolisian bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) itu, pangkat Anton pun naik menjadi kolonel. Buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1984:858) menyebut Anton mengisi jabatan dari 1964 hingga 1972.
Di tahun 1964 sertelah selama
hampir 15 tahun Letkol Qahhar Mudzakkar melawan pemerintah. Sama seperti
Kartosuwiryo di Jawa Barat, Qahhar ingin menegakkan syariat Islam. Pada
Konferensi Palopo 7 Agustus 1953, Qahhar menegaskan jika gerakannya adalah
bagian dari Negara Islam Indonesia (NII).
Pemerintah langsung
merespon dengan mengirim pasukan dari TT VII Wirabuana, kemudian Kompi A dan B
dari Resimen Pelopor yang merupakan pasukan khusus. Pasukan dipimpin oleh
Inspektur Satu Sumarni, perwira lulusan pendidikan Ranger tahun 1964. Pasukan
itu berada di bawah BKO Kodam XIV/Hassanudin di bawah Pangdam Brigjen M Yusuf.
Di Palopo, pasukan
Pelopor disebar ke beberapa wilayah. Peleton 1 ditempatkan di Massamba dengan
Danton Aiptu Suripno, peleton 2 tetap di Palopo dengan Danton Aiptu Joko
Sugiyono, sedangkan peleton 3 di Batus Tanduk dipimpin Aiptu Abdul Fatah.
"Setiap peleton Pelopor mendampingi satu kompi batalion TNI AD dari Kodam Siliwangi," demikian ditulis Anton Agus Setyawan dan Andi Muh Darlis dalam buku 'Resimen Pelopor Pasukan Elite yang Terlupakan.'
"Setiap peleton Pelopor mendampingi satu kompi batalion TNI AD dari Kodam Siliwangi," demikian ditulis Anton Agus Setyawan dan Andi Muh Darlis dalam buku 'Resimen Pelopor Pasukan Elite yang Terlupakan.'
Kali ini, Resimen Pelopor
benar-benar berhadapan dengan lawan tangguh karena hampir semua anggota Tentara
Islam Indonesia (TII) di Sulawesi Selatan adalah bekas pasukan TNI AD. Bersama
Qahhar, ada anggota TII yang ikut perang masa revolusi fisik tahun 1945 dan
1949.
Meski begitu, Resimen Pelopor yang sudah cukup pengalaman bisa meredam serangan para pemberontak. Mereka menerapkan taktik tempur bergerak di waktu malam, tidak mendirikan bivak dan bisa berpindah 4 sampai 5 kali. Strategi itu membuat pasukan TII kewalahan, jejak mereka diketahui dan pos-pos kecil berhasil dilumpuhkan.
Meski begitu, Resimen Pelopor yang sudah cukup pengalaman bisa meredam serangan para pemberontak. Mereka menerapkan taktik tempur bergerak di waktu malam, tidak mendirikan bivak dan bisa berpindah 4 sampai 5 kali. Strategi itu membuat pasukan TII kewalahan, jejak mereka diketahui dan pos-pos kecil berhasil dilumpuhkan.
Pada 1964 di Kendari,
pasukan Pelopor kecolongan. Kala itu rombongan truk yang membawa logistik telah
ditunggu oleh TII di kawasan perbukitan di Selatan Kendari. TII memasang trek
bom dengan bahan utama TNT berdetonator. Setelah bom meledak, rentetan peluru
muntah dari arah perbukitan seperti hujan deras. Komandan Resimen Pelopor
terluka.
Kemudian, di Massamba
peleton 3 kompi A Resimen Pelopor baku tembak dengan TII. Satu pasukan TII
melempar granat, pecahan granat itu mengenai Agen Polisi Johan. Johan mengalami luka bakar parah di wajahnya.
Pasukan Qahhar bisa
bertahan hingga puluhan tahun karena mereka menyamar dengan bertani, berdagang
dan berinteraksi dengan rakyat. Dengan begitu pasokan logistik para kombatan
selalu terpenuhi.
Selanjutnya dilakukan
operasi antigerilya pemusnahan logistik, namun yang terjadi pertempuran terbuka
di Sungai Lamase. Pasukan Qahhar berhasil menghindar, tetapi gudang logistik
mereka akhirnya dikuasai oleh pasukan Resimen Pelopor dan Yon 330 Siliwangi.
Secara perlahan pemberontakan mulai surut, terlebih ketika orang kepercayaan Qahhar, Letkol Kadir Junus menyerahkan diri pada Januari 1965. Kadir membocorkan informasi jika Qahhar bersembunyi di Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara.
Secara perlahan pemberontakan mulai surut, terlebih ketika orang kepercayaan Qahhar, Letkol Kadir Junus menyerahkan diri pada Januari 1965. Kadir membocorkan informasi jika Qahhar bersembunyi di Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara.
Satu tim dari Yon Kujang
330/Siliwangi mengepung persembunyian Qahhar, pada 3 Februari 1965. Sempat
terjadi kontak senjata dengan para pengawal Qahhar.
Salah satu penyergap
Kopral Sadeli melihat seorang pria keluar dari gubuk lalu melompat dengan
membawa granat. Sadeli melepaskan tembakan, dan mengenai dada pria tersebut.
Letkol Qahhar Mudzakkar tewas.
Peristiwa itu sekaligus
mengakhiri pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dibawah pimpinan Letkol
Qahhar Mudzakkar.
Jadi Resimen ini
terlibat operasi penumpasan dan pembersihan berbagai pemberontakan, dari DI/TII
Kartosuwiryo, DI/TII Daud Beureuh, PRRI, sampai operasi penumpasan DI/TII Kahar
Muzakar.
Satu-satunya noda merah
Resimen Pelopor adalah saat melakukan Penyusupan ke Malaysia dalam Operasi
Dwikora. Mereka berhadapan dengan SAS (Special Air Service) Inggris, Pasukan
Gurkha, dan Tentara Diraja Malaysia yang jumlahnya terlalu besar sehingga
banyak anggota Resimen yang gugur. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1964. Pasukan
diberangkatkan oleh Panglima ABRI Jenderal Ahmad Yani dari Pulau Berakit,
sekarang namanya jadi Batam. Beliau berpesan, jika bertemu tentara dengan bekas
cacar air memanjang di lengan, itu tandanya ia orang Indonesia. Saat itu ada
129 orang berlayar ke Natuna. Berlayar dari Tanjung Pinang, November 1964. Dua
perahu berhasil masuk daratan Malaysia. Di bawah
komando Iptu Nicholas A Titaley, pasukan Kompi D / Yon 32 Pelopor, menyusup ke
Malaysia. Mereka bergerak malam hari menggunakan tiga perahu dari jalur
Kepulauan Riau, menyeberangi Laut China Selatan. Akan tetapi pasukan ini
tercerai berai karena ombak dan menghindari patroli kapal perang Malaysia. Selang
beberapa jam, perahu tertambat di pantai wilayah Kota Tinggi, Malaysia. Mereka
bersembunyi di hutan menghindari patroli pasukan gabungan Special Air Services
(SAS), Gurkha, dan Tentara Diraja Malaysia. Seminggu makanan habis, kami survival. Jalan ke hutan,
melewati pegunungan, tapi penunjuk jalan beretnis China, namanya Tambun, malah
tidak tahu apa-apa. Akhirnya mereka terpaksa merebut logistik di sebuah toko
sembako. Aksi ini tercium pasukan gabungan yang berpatroli dan menyergap tim Agen
Polisi I Soerito. Kontak senjata tak terhindarkan dan menewaskan sebagian besar
tim. Cuma Agen Polisi I Soerito dan Agen Polisi I Dudung yang berhasil
meloloskan diri hingga ke Sungai Johor. Sebanyak
33 anggota Resimen Pelopor Brimob tercatat meninggal Berhari-hari bersembunyi
tanpa logistik memaksa keduanya keluar dari hutan pada 16 Mei 1964, tapi
kemudian tertangkap. Kondisi keduanya kurus kering hingga harus dirawat selama
19 hari di rumah sakit Kota Johor. Setelah itu, keduanya menjalani interogasi.
Salah seorang interogatornya adalah Kapten Nasir, yang mengaku bekas
pemberontak PRRI yang lari ke Malaysia. Dia rupanya mengenal Kombes Anton
Soedjarwo dan Resimen Pelopor (cikal bakal Brimob) karena pernah sama-sama
mengikuti pelatihan Ranger oleh Amerika.
Singkat cerita, setelah
menjalani semuanya, Soerito dan anggota pasukan yang ditahan di Port
Sehan dipulangkan
ke Indonesia. Tapi tak bisa langsung bergabung ke markasnya di Kelapa Dua,
Depok. Selama berhari-hari lelaki dua anak itu menjalani wawancara soal Gerakan
30 September 1965 di Cikini.
Sampai mingguan di-screening, ditanya soal
Nasakom, G30S/PKI. Kami kan di penjara Malaysia, jadi ya tidak tahu apa-apa
soal itu, papar Soerito. Setelah mereka dinyatakan bersih, Kombes Anton
Soedjarwo menyambutnya.
Amji Attak adalah Komandan Pleton berpangkat Letnan
Dua. Dia dari Sekolah Agen tahun 1958, saat itu sudah masuk Mobrig (Mobil
Brigade). Kelompok
Amji Attak masuk ke Malaysia pada Maret 1965. Dengan 7 perahu, mereka bergerak
maju, hingga dihantam dengan berondongan peluru oleh kapal perang Inggris. Dari
pasukan Amji Attak ini berhasil lolos dari maut, seorang anggota Mobrig,
Rubino. Dalam peristiwa Dwikora itu, Soemarjo ingaty ada 5 perahu dan 1
helikopter hancur, 18 orang prajuti tewas di laut. Mereka dari Marinir
TNI AL, Kopasgat TNI AU dan Menpon Resimen Pelopor Brimob.Setelah dibubarkannya pasukan Cakrabirawa anggota Resimen Pelopor dari Batalyon 1232 yang dulunya bergabung dengan Pasukan Cakrabirawa dimasukkan dalam kesatuan baru dengan nama mengambil no belakang Batalyon 1232 yaitu 32 maka jadilah Batalyon 32 Para di sekitar tahun 1966.
Upacara Peresmian Batalyon 32 Para POLRI nampak menggunakan seragam motif M1942 atau loreng Macan Tutul dengan motif lebih gelap dan lebih lebar
Penyematan tanda Komandan Batalyon 32 Para Brimob
Komandan Upacara menggunakan seragam motif Tiger Stripe diyakini lorteng ini masuk ke Indonesia atas inisiatif Herman Sareng Sudiro yang saat itu menjabat sebagai Komandan Kogabdik Para, dimana saat itu Batalyon 32 Para mengikuti pelatihan para.
Personil Batalyon 32 Para di Sukasari dengan seragam loreng yang khas untuk Batalyon 32 Para ini.
Motif camouflage seragam Batalyon 32 Para
Personil Batalyon 32 Para di Sukasari dengan seragam loreng yang khas untuk Batalyon 32 Para ini.
Motif camouflage seragam Batalyon 32 Para
Saat tahun 1966 nampak
anggota Brimobda Irian Barat yang bernama Agen Polisi I Soeprijono yang merupakan anggota Resimen XII
Recon Kompi B menggunakan baju untuk tugas khusus pertempuran di hutan yang
motif lorengnya mirip dengan motif loreng Macan Tutul milik KKO TNI AL. Ini
memarik dipelajari sejarahnya. Brimobda Irian Barat menggunakan loreng Macan
Tutul ini karena pasca 1965, kedekatan Resimen ini dengan Sukarno
berimbas buruk. Soeharto sebagai penguasa Orde Baru yang baru melantik Kapolri
Jenderal Hoegeng Iman Santoso sebagai Panglima Kepolisian (sekarang Polri)
memberikan perintah untuk mengkhususkan polisi pada penegakan hukum.
Restrukurisasi kepolisian-pun dilakukan, Resimen Pelopor dibubarkan. Hoegeng
mengirim seluruh anggotanya ke Papua untuk membentuk Polda Irian Jaya dan
embrio Brimob Daerah Papua. Makanya Brimobda Irian Barat saat itu menggunakan
loreng Macan Tutultapi mungkin karena untuk mendapatkan loreng Macan Tutul yang
turunan M1942 sudah sulit untuk mendapatkan yang baru maka digunakan loreng
Macan Tutul yang seperti punyanya KKO TNI AL.
Sejak 1969, kolonel Anton Sudjarwo memimpin pasukan tersebut
sembari menjadi Kepala Kepolisian wilayah Tanjung Priok.
Di tahun 1969 – 1970 penggunaan
loreng motif garis mengalir khas Menpor mulai meredup karena Menpor dilikuidasi
untuk restukturisasi internal Kepolisian. Pasca likudidasi, Menpor diperlakukan
sebagai Brigade Mobil di bawah komando Mabes Polri. Seragam loreng khas Menpor
juga diganti PDL warna hijau rimba khas Brimob.
Kemudian pada tahun 1974 – 1976 Menpor bertransformasi menjadi Gegana
di tahun 1974. Meskipun begitu gaung keperkasaan resimen Pelopor ini masih
terasa saat perebutan Timor-Timur. Mantan Resimen Pelopor dikumpulkan dengan
TNI dan membentuk Densus Alap-Alap dalam Komando Tugas Operasi Gabungan
(Kogasga) Seroja.
Ketidak konsistenan pemerintah Orde Baru untuk tidak lagi melibatkan Kepolisian dalam operasi tempur mulai nampak dengan perintah Presiden Soeharto terhadap Panglima ABRI dan Dephankam untuk segera mengerahkan segala kekuatanya untuk menyelesaikan persoalan Timor-Timur. Dephankam sendiri kemudian menugaskan kepada Kapolri untuk memberikan orang-orang terbaiknya. Menanggapi tugas ini Kapolri kemudian menugaskan kepada Komandan Korps Brimob Kolonel (Pol) Anton Soedjarwo untuk menyiapkan pasukannya untuk operasi infiltrasi ke Timor-Timur. Kemudian dilakukanlah regrouping para mantan anggota resimen pelopor yang berada di Kelapa Dua dan Polda Metro. Dari hasil regrouping ini Kol (pol) Anton Soedjarwo membentuk Detasemen Khusus Alap-Alap yang terdiri dari satu kompi Brimob eks Pelopor di Kelapa Dua dan beberapa anggota Pelopor yang diambil dari berbagai kesatuan di Polda Metro.
Pemakaian motif loreng khas Menpor semakin hilang dengan adanya kontroversi tragedi Minggu Palma oleh Batalyon Teratai tahun 1976 di Timor Timur. Gegana waktu itu menggunakan baju PDL warna hijau rimba khas Brimob.
Sampai sebelum tahun 1983 di lingkungan ABRI terdapat 10 macam motif
doreng dimana POLRI memiliki satu macam motif doreng yamng resmi.
Ketidak konsistenan pemerintah Orde Baru untuk tidak lagi melibatkan Kepolisian dalam operasi tempur mulai nampak dengan perintah Presiden Soeharto terhadap Panglima ABRI dan Dephankam untuk segera mengerahkan segala kekuatanya untuk menyelesaikan persoalan Timor-Timur. Dephankam sendiri kemudian menugaskan kepada Kapolri untuk memberikan orang-orang terbaiknya. Menanggapi tugas ini Kapolri kemudian menugaskan kepada Komandan Korps Brimob Kolonel (Pol) Anton Soedjarwo untuk menyiapkan pasukannya untuk operasi infiltrasi ke Timor-Timur. Kemudian dilakukanlah regrouping para mantan anggota resimen pelopor yang berada di Kelapa Dua dan Polda Metro. Dari hasil regrouping ini Kol (pol) Anton Soedjarwo membentuk Detasemen Khusus Alap-Alap yang terdiri dari satu kompi Brimob eks Pelopor di Kelapa Dua dan beberapa anggota Pelopor yang diambil dari berbagai kesatuan di Polda Metro.
Defile dari anggota Brimob yang menggunakan doreng cirikhas menpor
eks resimen Pelopor menjelang dilaksanakanya Operasi Seroja.
Pemakaian motif loreng khas Menpor semakin hilang dengan adanya kontroversi tragedi Minggu Palma oleh Batalyon Teratai tahun 1976 di Timor Timur. Gegana waktu itu menggunakan baju PDL warna hijau rimba khas Brimob.
Baju hijau yang digunakan oleh Brigade Mobil atau Brimob
Anggota Brimob menggunakan baju hijau saat operasi di Timor Timur
Pasukan dari Kompi 5138 yang akan melaksanakan tugas misi khusus operasi senyap
Pada tanggal 5 Oktober
1986 Menhankam/Pangab yang dijabat Jenderal TNI LB Moerdani menghentikan
pemakaian 10 seragam loreng dari berbagai kesatuan. Alasannya, menghemat biaya
dan meningkatkan disiplin.
Sebagai ganti 10 seragam loreng kesatuan itu, hanya dipakai 1 motif
saja, yakni, loreng DPM (Disruptive Pattern Material) Inggris.
Anggota Gegana Brigade Mobil atau Brimob menggunakan seragam loreng bermotif
DPM (Disruptive Pattern Material) sekitar tahun 1990an saat bertugas di Aceh
DPM (Disruptive Pattern Material) sekitar tahun 1990an saat bertugas di Aceh
Pada tahun 1996 Satu per satu personel Brimob mulai menjahit kembali
PDL dengan mengambil motif Loreng Menpor, untuk kemudian oleh personel Brimob,
diberikan nama generik sebagai "Loreng Pelopor".
5 Oktober 1998 Secara resmi penggunaan seragam motif Loreng Pelopor
digunakan kembali secara terbuka oleh Korps Brimob Polri dari Batalyon B
Resimen I Korps Brimob Polri, pimpinan AKB Gatot Mangkurat saat upacara
peringatan hari ABRI yang digelar di Lanud TNI AU Halim Perdanakusumah.
Jajaran Resimen I Kedunghalang pewrnah mendapatkan pembagian jaket bermotif ini pada tahun 1998 dan ini merupakan motif loreng Menpor yang pemakaiannya sangat terbatas
November 2013 Mabes Polri mengeluarkan 'Naskah Pengaturan Penggunaan
Pakaian Dinas Lapangan di Lingkungan Korps Brimob' yang merekomendasikan
memakai kembali seragam loreng dengan 3 alasan yakni:
1. Berdasarkan pertimbangan historis merupakan bagian dari sejarah
perjuangan Korps Brimob yang perlu dipertahankan.
2. Adanya kebutuhan penugasan khususnya medan operasi yang sangat
spesifik menghadapi gangguan kamtibmas berkadar tinggi.
3. Kepatutan penggunaan seragam bermotif loreng, sebagaimana digunakan
oleh beberapa lembaga penegak hukum dan Kepolisian secara internasional.
"Hingga kejatuhan Soeharto, Brimob masih mewartakan diri sebagai
polisi paramiliter yang memiliki kekhasan dan warna militeristik yang
kental," tulis Muradi dalam makalahnya, Reformasi Brimob Polri Antara
Tradisi Militer-dan Kultur Polisi Sipil.
September 2014 sedangkan merujuk dari situs brimobpoldakaltim.com, PDL
loreng digunakan sesuai dengan surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia nomor: Kep/748/IX/2014 tentang Penggunaan Pakaian Dinas
Lapangan (PDL) Loreng bagi personel Korps Brimob Polri.
14 November 2014 Kapolri Jenderal Pol Sutarman meresmikan pemakaian
seragam loreng untuk Brimob saat memperingati HUT ke-69 Brimob, di Mako Brimob
Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (14/11/2014) ini.
"Berdasarkan keputusan Kapolri, penggunaan pakaian dinas lapangan PDL bermotif loreng secara resmi digunakan kembali yang selama ini tak dilaksanakan," ujar Sutarman saat menyampaikan amanat Inspektur Upacara di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (14/11/2014).
"Berdasarkan keputusan Kapolri, penggunaan pakaian dinas lapangan PDL bermotif loreng secara resmi digunakan kembali yang selama ini tak dilaksanakan," ujar Sutarman saat menyampaikan amanat Inspektur Upacara di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (14/11/2014).
Seragam Resimen Pelopor Brimob saat ini
Sumber :
Anonim,
Sejarah PDL Loreng Brimob: Seragam Tentara AS hingga Merebut dari Belanda, https://news.detik.com/berita/d-2748506/sejarah-pdl-loreng-brimob-seragam-tentara-as-hingga-merebut-dari-belanda
Anton A. Setyawan, PERISTIWA PENARIK, MUKO - MUKO, PERTENGAHAN
TAHUN 1960, https://garudamiliter.blogspot.com/2012/03/brimob-ranger-war-1.html
Aryo Bhawono, Brimob: Loyalis Sukarno, Dilatih AS, Dibubarkan Orba, https://news.detik.com/berita/d-3667813/brimob-loyalis-sukarno-dilatih-as-dibubarkan-orba
Aryo Bhawono, Pulang Operasi Ganyang Malaysia, Prajurit Brimob Dicurigai Terlibat PKI, https://news.detik.com/berita/d-3670743/pulang-operasi-ganyang-malaysia-prajurit-brimob-dicurigai-terlibat-pki
Aryo Bhawono, Brimob: Loyalis Sukarno, Dilatih AS, Dibubarkan Orba, https://news.detik.com/berita/d-3667813/brimob-loyalis-sukarno-dilatih-as-dibubarkan-orba
Aryo Bhawono, Pulang Operasi Ganyang Malaysia, Prajurit Brimob Dicurigai Terlibat PKI, https://news.detik.com/berita/d-3670743/pulang-operasi-ganyang-malaysia-prajurit-brimob-dicurigai-terlibat-pki
Didi Syafirdi, Pasukan Pelopor Polri lawan pemberontakan Qahhar
Mudzakkar, https://www.merdeka.com/peristiwa/pasukan-pelopor-polri-lawan-pemberontakan-qahhar-mudzakkar.html
Petrik Matanasi, Mako Brimob Kelapa Dua, Markas Ranger yang Aman bagi
Sukarno, https://tirto.id/mako-brimob-kelapa-dua-markas-ranger-yang-aman-bagi-sukarno-cKbM