Pilot Legendaris AURI Leo Wattimena
Tahun 1950, Leo muda tidak melewatkan kesempatan menjadi penerbang yang dibuka markas besar AURI. November 1950, beserta 59 kadet lainnya Leo diberangkatkan ke Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA), California, untuk mengikuti pendidikan penerbang. Karena bakat yang besar ditopang kesempurnaan fisik dan intelijensia, menempatkan Leo tergolong lulusan terbaik. Dari 60 kadet, 45 orang lulus sebagai penerbang. Lebihnya, diantaranya, menjadi navigator.
Predikat terbaik yang mengembel-embeli kelulusannya saat wisuda, mengharuskan Leo beserta 19 rekannya melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di TALOA. Kembali ke Indonesia (1952), Leo bergabung dengan Skadron 3 Lanud Halim Perdanakusuma. Dalam kaitan sekolah instruktur penerbang, Leo, juga Rusmin Nurjadin, pernah mengecap pendidikan instruktur di Royal Air Force (RAF, 1955) dan lulus dengan predikat satu.
Setahun kemudian, kedua penerbang kawakan ini tercatat sebagai penerbang jet pertama Indonesia seiring dengan datangnya delapan pesawat de Havilland DH-115 Vampire. Bahkan Leo yang waktu itu masih berpangkat Letnan Udara I, langsung dipercaya memimpin armada Vampire Skadron Udara 11 Lanud Kemayoran, 1 Juni 1957. Total Indonesia pernah memiliki 16 pesawat jet latih tempur ini.
Sebagai penerbang tempur, suka atau tidak suka, Leo yang selalu mengenakan akar bahar di lengan kanannya adalah legenda. Bagi mereka yang hidup sezaman dengan Leo, tentu masih ingat bagaimana dengan beraninya Leo, diikuti wingman-nya Marsda (Pur) Sudjatio Adi, terbang menukik dengan MiG-17 seperti mau menghujam dasar sungai Musi, lalu pull up dan terbang menyambar di bawah jembatan Ampera, Palembang. Lalu, bagaimana pula dengan gilanya dan tentu tak kalah bahayanya, Leo menyelip diantara tower dan tiang bendera di Lanud Adisutjipto, Yogjakarta. Kalau terbang straight and level, pasti menabrak. Untuk itu, supaya lolos, ujung sayap yang satu ditariknya ke bawah. Satu lagi soal kebiasaan. Leo (hampir) selalu melakukan hal yang sama kalau take off dengan Mustang. Dia dorong throttle hingga mesin mencapai daya maksimum, langsung menanjak, lalu pada ketinggian yang masih rendah melakukan roll ke kanan. “Ini selalu dilakukannya,” jelas Andoko. Celakanya, Musidjan ikut-ikutan. Satu hari dia lepas landas dari Halim, dan melakukan hal yang sama seperti Leo. Tanpa diketahuinya, ternyata Marsekal (Pur) Rusmin Nurjadin yang rumahnya menghadap landasan, menyaksikan ulah bekas muridnya itu.
Rusmin segera memerintahkan Musidjan kembali dan menghadap. “Kamu jangan niru-niru orang “gila” (Leo-Red) itu. Kalau sekali lagi kamu lakukan, kamu saya jadikan ferry pilot,” bentak Rusmin. Rusmin beralasan, karena manuver yang dilakukan Leo ini tanpa perhitungan yang matang bisa berakibat fatal. Pesawat akan menghujam tanah saat melakukan putaran. “Seperti nahas yang menimpa Bagyo di Husein Sastranegara,” tutur Ashadi.
Segudang gelar lantas identik dengan Leo. Mulai dari “orang gila”, pemberani, good pilot, penerbang yang cerdik, orang yang sangat paham pesawat, sampai G-maniak. Soal terakhir, didengar sendiri oleh Marsma (Pur) Agustinus Andy Andoko dari penerbang tempur India.
Pernah suatu hari di tahun 1958, di Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) Kalijati, Leo datang untuk mengajar. “Leo bukan instruktur, tapi dia dan penerbang lainnya bisa dipanggil sewaktu-waktu sebagai instruktur freelance,” jelas Andoko. Aturannya, tiga kadet ditangani satu instruktur. Nah, kadet Aris satu diantara “makanan” Leo.
Giliran Aris, demikian kenang Kundimang, tiba untuk menerbangkan pesawat latih bermesin tunggal L-4J Piper Cub. Sudah santer tersebar, Leo galak dan kebanyakan kadet takut dengan instruktur Ambon ini. Melakukan beberapa putaran di training area, Aris mendarat. Tapi, “Ketinggian, mendaratnya terlalu tinggi,” aku Kundimang. Leo marah. Lantas Aris dihukum : disuruh naik ke atap hanggar!. Dengan hukuman itu, Leo berharap Aris memahami ketinggian yang harus diambilnya saat mendarat.
Tapi apa yang terjadi. Ternyata Aris punya penyakit tidak bisa melihat ke bawah. Aris terpaku di puncak hanggar tanpa bisa apa-apa. Turunpun dia sudah tak berani. “Akhirnya kita rescue,” cerita Kundimang yang langsung memancing tawa Ashadi Tjahyadi dan Andoko. Mungkin karena bukan bakat, almarhum kolonel purnawirawan Aris akhirnya wash out. Lalu dikirim ke India untuk sekolah navigator pesawat angkut.
Dengan karakter emosinya, sepertinya Leo tidak pas menjadi instruktur. Emosinya cepat berubah. “Awalnya sih baik, sopan, tapi 2-3 jam kemudian suaranya makin tinggi dan teriak-teriak,” jelas Andoko. “Goblok!” Begitu maki Leo kepada kadet. Termasuk dalam menjatuhkan hukuman kepada kadet yang kurang cakap dimatanya, Leo punya cara sendiri. Kalau instruktur lain “hobi” mencabut bulu kaki, Leo justru mengajak kadetnya terbang. Sekadar terbang sih oke, tapi jika diajak jungkir balik, itu masalahnya. “Semua kadet Leo pasti muntah kalau sudah begini. Soalnya mereka kan masih baru, jadi kalau diajak gitu, ya tidak kuat. Makanya murid Leo tidak ada yang jadi,” kata Kundimang senyum.
Leo juga terkesan tidak sabaran. Kesan ini muncul ketika Leo terbang P-51 Mustang dengan Letkol (Pur) Manetius Musidjan, dari Malang ke Amahai. Musidjan yang belum pernah ke Amahai, bertindak selaku wingman. Di perjalanan, dalam posisi sudah cruising, Leo terus memacu pesawatnya dengan climbing power. Sementara Musidjan tetap mengikuti prosedur, menggunakan cruising speed. Sialnya, rudder pesawat Musidjan sobek. Akibatnya, walau akhirnya berhasil menemukan Lanud Amahai, Musidjan tertinggal dan sempat kehilangan referensi.
Dalam bahasa Andoko, Leo itu identik dengan Mustang. Sampai-sampai berangkat kerja dari Bandung ke Jakarta, Leo menggunakan Mustang. Sebagai fighter, Leo kenyang asam garam perang udara. Pernah memimpin penyerangan perebutan keunggulan udara di Indonesia Timur melawan Permesta 14 Mei 1958 menggunakan lima P-51 Mustang serta empat B-25 Mitchell.
Lagi-lagi kenangan Musidjan saat Permesta. Hari itu, Ambon dibombadir B-26 Invader Permesta yang diterbangkan Allen Pope hingga membakar sebuah C-47 Dakota dan Mustang. Padahal Leo dan Musidjan ada di bawah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain menyembunyikan Mustang-nya menggunakan daun belarak. Begitu B-26 Permesta pergi, Leo langsung berteriak, “Mus, ayo kita kejar!” Tanpa sempat membersihkan daun-daun yang digunakan sebagai kamuflase, pesawat mereka kebut hingga dedaunan yang masih menempel berhamburan. Sayang, Pope sudah terbang jauh dan mereka berdua kehilangan sasaran.
Karena pengalamannya ini hingga dipercaya menjadi Wakil II Panglima Komando Mandala merangkap Panglima AU Mandala.
Ketika operasi perebutan Irian Barat tengah hangat-hangatnya, AURI mendapat tugas yang teramat berat. Untuk itu semua kekuatan disiagakan. Mulai dari pesawat pemburu hingga pembom strategis Tu-16 KS. Sasarannya, kapal-kapal perusak Belanda. Perintah ini turun, setelah AURI dituduh ALRI tidak memberikan payung udara hingga gugurnya Komodor Yosaphat Soedarso di laut Arafuru, 15 Januari 1962. Kapten (Pnb) Musidjan salah satu penerbang yang diperintahkan Leo mencari kapal perusak Belanda. Rencananya, begitu Musidjan menemukan kapal-kapal Belanda, Leo akan segera memerintahkan Tu-16 KS-1 Badger B yang telah disiapkan di Morotai.
Jenderal pertama yang menginjakkan kakinya di bumi Irian Barat ini, dikenal sangat tekun dan serius dalam mengemban tanggung jawab. “Kalau perlu dia tidak tidur sampai tiga hari,” kenang Kolonel (Pur) Suparno, bekas Kadispenau yang pernah melayani Leo. Sebagai penerbang ada yang mengatakan, dia sangat menyatu dengan udara. Kalau dia terbang, semua untuk dia. Leo terbang tidak lagi dengan raganya, tapi dengan jiwa.
Hidupnya dicurahkan sepenuhnya untuk terbang (baca: AURI). Semangatnya tak pernah pudar. Begitupun sebagai senior, Leo, tentu dengan gayanya, selalu mengajarkan dan menunjukkan cara terbang yang baik dan aman. Semua manuver-manuver yang dilakukannya, menurut Ashadi, calculated. Tidak sembarangan. Sebelum melakukan di ketinggian rendah, Leo telah menyempurnakannya di ketinggian, jauh di balik awan. Caranya, seperti pernah diceritakan Marsda (Pur) Ibnoe Soebroto dan (alm) Hadi Sapandi kepada Angkasa, Leo terbang tinggi di atas awan menggumpal dan mengasumsikan awan sebagai tanah. Teorinya, kalau pesawatnya sampai menyentuh awan apalagi menembus, artinya riwayat hidupnya tamat. Latihan ini dilakukannya berkali-kali, sampai dia betul-betul yakin aman dilakukan on the deck.
Dalam posisinya sebagai komandan, Leo selalu menunjukkan tanggungjawabnya. Tak peduli risiko mengintai. Itu ditunjukkannya ketika penerbang MiG-21 Fishbed Skadron Udara 12, Sumarsono, jatuh di Kemayoran. Esoknya, Leo dan Rusmin segera turun tangan untuk mengetahui apa yang menyebabkan Sumarsono gugur. Diterbangkannya sendiri pesawat Rusia itu. Tapi baru sekali take off-landing, Leo sudah turun. “Ini pesawat jelek,” komentarnya yakin. “Dia sangat kenal pesawat,” tutur Marsda (Pur) Sobirin Misbach.
Termasuk juga, ketika Letda (Pnb) Daniel Maukar menghantamkan kanon 23 mm dari MiG-17-nya ke Istana Merdeka Jakarta, Istana Bogor dan Cilincing, 9 Maret 1960. Sebagai komandan skadron, Leo bertindak cepat. Sorenya, dia bergegas mendatangi rumah KSAU Laksamana Udara Suryadarma untuk menyatakan malu atas kejadian tersebut dan siap mengambil tanggungjawab.
“Saya saksikan kejadian itu di rumah,” aku Erlangga Suryadarma, putra Suryadarma. Diteruskan Erlangga, sementara di luar rumah beberapa perwira menunggu untuk laporan, Leo masuk. Suryadarma bilang, “Le, saya sudah ambil tanggungjawab, itu kode etik perwira, kamu mesti ngerti. Saya minta kamu konsolidasi dan jangan sampai terjadi lagi. Itu tanggungjawab kamu, jangan sampai terjadi, make sure, karena bikin malu AURI,” kata Suryadarma datar. “Untuk kamu ketahui,” lanjut Suryadarma, “saya sudah mundur.” Seperti disambar petir, Leo kaget begitu tahu Suryadarma meletakkan jabatan ulah ketidakdisiplinan anak buahnya.
Jadi, jelas Erlangga, begitu dapat laporan tragedi Maukar, Suryadarma segera ke istana melihat kerusakan yang ditimbulkan. Sesudah itu menghadap Presiden Soekarno, mohon maaf, dan langsung melepaskan tanda kepangkatan yang menempel di pundaknya. Dengan kata lain, menyatakan bertanggungjawab dengan mundur dari jabatannya sebagai KSAU.
Sambil mengintip dialog antara ayahnya dengan Leo, Erlangga menyaksikan sendiri, Leo Wattimena yang dikenalnya galak dan pernah memarahinya ketika coba-coba mendekati Leo di atas Mustang-nya, meneteskan air mata, menangis.
Betapapun, tetap ada sisi halus dalam diri manusia. Itulah Leo Wattimena. 15 Agustus 1971, Leo mengajukan permohonan pengunduran diri dari dinas militer dan mengakhiri karirnya di AURI sebagai marsekal berbintang dua. Pernah menjabat Panglima Komando Operasi AURI (1963), Panglima Komando Pertahanan Udara (1966), anggota MPRS (1966), dan Deputi Operasi Menteri/Panglima AU. Sebenarnya, sebelum benar-benar mengakhiri pengabdiannya ke negara, Leo masih sempat dipercaya sebagai duta besar RI di Italia (1969). Tapi sekali lagi, emosinya yang meledak-ledak membuatnya harus mengemban tugas lebih cepat dari semestinya. Apa lagi yang diperbuatnya? “Leo memukul tukang jahit pakaiannya,” tandas Musidjan ketawa.
Usai pengabdiannya di AURI, cerita tentang Leo seperti kehilangan gantungan. Mata rantai seperti putus. Andoko juga tidak begitu yakin, apa pekerjaan Leo. Namun menurut Ashadi, Leo sempat bekerja di sebuah perusahaan kabel. Barulah setelah Ashadi yang waktu itu KSAU bertemu Leo secara tidak sengaja di daerah Blok A, Kebayoran Baru, Leo dimintanya menjadi staf ahli KSAU.
Namun kesehatannya sudah menurun. Penyakit asma yang dideritanya mulai merongrong fisiknya. Kondisi Leo sudah berbeda dengan Leo yang dikenal gagah. Andoko mengaku pernah bertemu Leo di Mabes AURI Pancoran. “Kelihatan sedikit kurus,” aku Andoko. “Saya terharu sekali. Dia teman yang baik, orang yang sangat care dengan teman. Saya rangkul dia, saya tanya, apa kabarnya,” jelas Andoko. “Gimana kabarnya, Le,” tanya Andoko yang dijawab Leo dalam bahasa Belanda dengan pelan, “Kalau jalan, rasanya semua goyang.” Seperti digambarkan Andoko, badan Leo sedikit kurus dan sebuah tongkat menempel di tangan kirinya untuk menopang tubuhnya (dan mungkin perasaannya yang limbung).
Terus menurunnya kesehatan Leo diperparah gangguan asma, akhirnya menghentikan perjalanan penuh petualangan seorang penerbang andal itu. Persis 18 April 1976, Marsda (Pur) Leonardus Willem Johanes Wattimena, akrab dipanggil Le dan cukup dikenal dengan Leo Wattimena, menurut Gunthur, menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumahnya di kawasan Pasar Minggu. Sebelum di kebumikan di TMP Kalibata belakangan makamnya bersebelahan dengan Dewanto jenazahnya disemayamkan di Mabes TNI AU Pancoran. Sebelum menghembuskan napas terakhir, seperti didengar Andoko dari kerabatnya, Leo berpesan agar dikebumikan dengan mengenakan pakaian penerbang AURI berwarna jingga. Karena, itulah kebanggaan Leo.
Predikat terbaik yang mengembel-embeli kelulusannya saat wisuda, mengharuskan Leo beserta 19 rekannya melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di TALOA. Kembali ke Indonesia (1952), Leo bergabung dengan Skadron 3 Lanud Halim Perdanakusuma. Dalam kaitan sekolah instruktur penerbang, Leo, juga Rusmin Nurjadin, pernah mengecap pendidikan instruktur di Royal Air Force (RAF, 1955) dan lulus dengan predikat satu.
Setahun kemudian, kedua penerbang kawakan ini tercatat sebagai penerbang jet pertama Indonesia seiring dengan datangnya delapan pesawat de Havilland DH-115 Vampire. Bahkan Leo yang waktu itu masih berpangkat Letnan Udara I, langsung dipercaya memimpin armada Vampire Skadron Udara 11 Lanud Kemayoran, 1 Juni 1957. Total Indonesia pernah memiliki 16 pesawat jet latih tempur ini.
Sebagai penerbang tempur, suka atau tidak suka, Leo yang selalu mengenakan akar bahar di lengan kanannya adalah legenda. Bagi mereka yang hidup sezaman dengan Leo, tentu masih ingat bagaimana dengan beraninya Leo, diikuti wingman-nya Marsda (Pur) Sudjatio Adi, terbang menukik dengan MiG-17 seperti mau menghujam dasar sungai Musi, lalu pull up dan terbang menyambar di bawah jembatan Ampera, Palembang. Lalu, bagaimana pula dengan gilanya dan tentu tak kalah bahayanya, Leo menyelip diantara tower dan tiang bendera di Lanud Adisutjipto, Yogjakarta. Kalau terbang straight and level, pasti menabrak. Untuk itu, supaya lolos, ujung sayap yang satu ditariknya ke bawah. Satu lagi soal kebiasaan. Leo (hampir) selalu melakukan hal yang sama kalau take off dengan Mustang. Dia dorong throttle hingga mesin mencapai daya maksimum, langsung menanjak, lalu pada ketinggian yang masih rendah melakukan roll ke kanan. “Ini selalu dilakukannya,” jelas Andoko. Celakanya, Musidjan ikut-ikutan. Satu hari dia lepas landas dari Halim, dan melakukan hal yang sama seperti Leo. Tanpa diketahuinya, ternyata Marsekal (Pur) Rusmin Nurjadin yang rumahnya menghadap landasan, menyaksikan ulah bekas muridnya itu.
Rusmin segera memerintahkan Musidjan kembali dan menghadap. “Kamu jangan niru-niru orang “gila” (Leo-Red) itu. Kalau sekali lagi kamu lakukan, kamu saya jadikan ferry pilot,” bentak Rusmin. Rusmin beralasan, karena manuver yang dilakukan Leo ini tanpa perhitungan yang matang bisa berakibat fatal. Pesawat akan menghujam tanah saat melakukan putaran. “Seperti nahas yang menimpa Bagyo di Husein Sastranegara,” tutur Ashadi.
Segudang gelar lantas identik dengan Leo. Mulai dari “orang gila”, pemberani, good pilot, penerbang yang cerdik, orang yang sangat paham pesawat, sampai G-maniak. Soal terakhir, didengar sendiri oleh Marsma (Pur) Agustinus Andy Andoko dari penerbang tempur India.
Pernah suatu hari di tahun 1958, di Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) Kalijati, Leo datang untuk mengajar. “Leo bukan instruktur, tapi dia dan penerbang lainnya bisa dipanggil sewaktu-waktu sebagai instruktur freelance,” jelas Andoko. Aturannya, tiga kadet ditangani satu instruktur. Nah, kadet Aris satu diantara “makanan” Leo.
Giliran Aris, demikian kenang Kundimang, tiba untuk menerbangkan pesawat latih bermesin tunggal L-4J Piper Cub. Sudah santer tersebar, Leo galak dan kebanyakan kadet takut dengan instruktur Ambon ini. Melakukan beberapa putaran di training area, Aris mendarat. Tapi, “Ketinggian, mendaratnya terlalu tinggi,” aku Kundimang. Leo marah. Lantas Aris dihukum : disuruh naik ke atap hanggar!. Dengan hukuman itu, Leo berharap Aris memahami ketinggian yang harus diambilnya saat mendarat.
Tapi apa yang terjadi. Ternyata Aris punya penyakit tidak bisa melihat ke bawah. Aris terpaku di puncak hanggar tanpa bisa apa-apa. Turunpun dia sudah tak berani. “Akhirnya kita rescue,” cerita Kundimang yang langsung memancing tawa Ashadi Tjahyadi dan Andoko. Mungkin karena bukan bakat, almarhum kolonel purnawirawan Aris akhirnya wash out. Lalu dikirim ke India untuk sekolah navigator pesawat angkut.
Dengan karakter emosinya, sepertinya Leo tidak pas menjadi instruktur. Emosinya cepat berubah. “Awalnya sih baik, sopan, tapi 2-3 jam kemudian suaranya makin tinggi dan teriak-teriak,” jelas Andoko. “Goblok!” Begitu maki Leo kepada kadet. Termasuk dalam menjatuhkan hukuman kepada kadet yang kurang cakap dimatanya, Leo punya cara sendiri. Kalau instruktur lain “hobi” mencabut bulu kaki, Leo justru mengajak kadetnya terbang. Sekadar terbang sih oke, tapi jika diajak jungkir balik, itu masalahnya. “Semua kadet Leo pasti muntah kalau sudah begini. Soalnya mereka kan masih baru, jadi kalau diajak gitu, ya tidak kuat. Makanya murid Leo tidak ada yang jadi,” kata Kundimang senyum.
Leo juga terkesan tidak sabaran. Kesan ini muncul ketika Leo terbang P-51 Mustang dengan Letkol (Pur) Manetius Musidjan, dari Malang ke Amahai. Musidjan yang belum pernah ke Amahai, bertindak selaku wingman. Di perjalanan, dalam posisi sudah cruising, Leo terus memacu pesawatnya dengan climbing power. Sementara Musidjan tetap mengikuti prosedur, menggunakan cruising speed. Sialnya, rudder pesawat Musidjan sobek. Akibatnya, walau akhirnya berhasil menemukan Lanud Amahai, Musidjan tertinggal dan sempat kehilangan referensi.
Dalam bahasa Andoko, Leo itu identik dengan Mustang. Sampai-sampai berangkat kerja dari Bandung ke Jakarta, Leo menggunakan Mustang. Sebagai fighter, Leo kenyang asam garam perang udara. Pernah memimpin penyerangan perebutan keunggulan udara di Indonesia Timur melawan Permesta 14 Mei 1958 menggunakan lima P-51 Mustang serta empat B-25 Mitchell.
Lagi-lagi kenangan Musidjan saat Permesta. Hari itu, Ambon dibombadir B-26 Invader Permesta yang diterbangkan Allen Pope hingga membakar sebuah C-47 Dakota dan Mustang. Padahal Leo dan Musidjan ada di bawah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain menyembunyikan Mustang-nya menggunakan daun belarak. Begitu B-26 Permesta pergi, Leo langsung berteriak, “Mus, ayo kita kejar!” Tanpa sempat membersihkan daun-daun yang digunakan sebagai kamuflase, pesawat mereka kebut hingga dedaunan yang masih menempel berhamburan. Sayang, Pope sudah terbang jauh dan mereka berdua kehilangan sasaran.
Karena pengalamannya ini hingga dipercaya menjadi Wakil II Panglima Komando Mandala merangkap Panglima AU Mandala.
Ketika operasi perebutan Irian Barat tengah hangat-hangatnya, AURI mendapat tugas yang teramat berat. Untuk itu semua kekuatan disiagakan. Mulai dari pesawat pemburu hingga pembom strategis Tu-16 KS. Sasarannya, kapal-kapal perusak Belanda. Perintah ini turun, setelah AURI dituduh ALRI tidak memberikan payung udara hingga gugurnya Komodor Yosaphat Soedarso di laut Arafuru, 15 Januari 1962. Kapten (Pnb) Musidjan salah satu penerbang yang diperintahkan Leo mencari kapal perusak Belanda. Rencananya, begitu Musidjan menemukan kapal-kapal Belanda, Leo akan segera memerintahkan Tu-16 KS-1 Badger B yang telah disiapkan di Morotai.
Jenderal pertama yang menginjakkan kakinya di bumi Irian Barat ini, dikenal sangat tekun dan serius dalam mengemban tanggung jawab. “Kalau perlu dia tidak tidur sampai tiga hari,” kenang Kolonel (Pur) Suparno, bekas Kadispenau yang pernah melayani Leo. Sebagai penerbang ada yang mengatakan, dia sangat menyatu dengan udara. Kalau dia terbang, semua untuk dia. Leo terbang tidak lagi dengan raganya, tapi dengan jiwa.
Hidupnya dicurahkan sepenuhnya untuk terbang (baca: AURI). Semangatnya tak pernah pudar. Begitupun sebagai senior, Leo, tentu dengan gayanya, selalu mengajarkan dan menunjukkan cara terbang yang baik dan aman. Semua manuver-manuver yang dilakukannya, menurut Ashadi, calculated. Tidak sembarangan. Sebelum melakukan di ketinggian rendah, Leo telah menyempurnakannya di ketinggian, jauh di balik awan. Caranya, seperti pernah diceritakan Marsda (Pur) Ibnoe Soebroto dan (alm) Hadi Sapandi kepada Angkasa, Leo terbang tinggi di atas awan menggumpal dan mengasumsikan awan sebagai tanah. Teorinya, kalau pesawatnya sampai menyentuh awan apalagi menembus, artinya riwayat hidupnya tamat. Latihan ini dilakukannya berkali-kali, sampai dia betul-betul yakin aman dilakukan on the deck.
Dalam posisinya sebagai komandan, Leo selalu menunjukkan tanggungjawabnya. Tak peduli risiko mengintai. Itu ditunjukkannya ketika penerbang MiG-21 Fishbed Skadron Udara 12, Sumarsono, jatuh di Kemayoran. Esoknya, Leo dan Rusmin segera turun tangan untuk mengetahui apa yang menyebabkan Sumarsono gugur. Diterbangkannya sendiri pesawat Rusia itu. Tapi baru sekali take off-landing, Leo sudah turun. “Ini pesawat jelek,” komentarnya yakin. “Dia sangat kenal pesawat,” tutur Marsda (Pur) Sobirin Misbach.
Termasuk juga, ketika Letda (Pnb) Daniel Maukar menghantamkan kanon 23 mm dari MiG-17-nya ke Istana Merdeka Jakarta, Istana Bogor dan Cilincing, 9 Maret 1960. Sebagai komandan skadron, Leo bertindak cepat. Sorenya, dia bergegas mendatangi rumah KSAU Laksamana Udara Suryadarma untuk menyatakan malu atas kejadian tersebut dan siap mengambil tanggungjawab.
“Saya saksikan kejadian itu di rumah,” aku Erlangga Suryadarma, putra Suryadarma. Diteruskan Erlangga, sementara di luar rumah beberapa perwira menunggu untuk laporan, Leo masuk. Suryadarma bilang, “Le, saya sudah ambil tanggungjawab, itu kode etik perwira, kamu mesti ngerti. Saya minta kamu konsolidasi dan jangan sampai terjadi lagi. Itu tanggungjawab kamu, jangan sampai terjadi, make sure, karena bikin malu AURI,” kata Suryadarma datar. “Untuk kamu ketahui,” lanjut Suryadarma, “saya sudah mundur.” Seperti disambar petir, Leo kaget begitu tahu Suryadarma meletakkan jabatan ulah ketidakdisiplinan anak buahnya.
Jadi, jelas Erlangga, begitu dapat laporan tragedi Maukar, Suryadarma segera ke istana melihat kerusakan yang ditimbulkan. Sesudah itu menghadap Presiden Soekarno, mohon maaf, dan langsung melepaskan tanda kepangkatan yang menempel di pundaknya. Dengan kata lain, menyatakan bertanggungjawab dengan mundur dari jabatannya sebagai KSAU.
Sambil mengintip dialog antara ayahnya dengan Leo, Erlangga menyaksikan sendiri, Leo Wattimena yang dikenalnya galak dan pernah memarahinya ketika coba-coba mendekati Leo di atas Mustang-nya, meneteskan air mata, menangis.
Betapapun, tetap ada sisi halus dalam diri manusia. Itulah Leo Wattimena. 15 Agustus 1971, Leo mengajukan permohonan pengunduran diri dari dinas militer dan mengakhiri karirnya di AURI sebagai marsekal berbintang dua. Pernah menjabat Panglima Komando Operasi AURI (1963), Panglima Komando Pertahanan Udara (1966), anggota MPRS (1966), dan Deputi Operasi Menteri/Panglima AU. Sebenarnya, sebelum benar-benar mengakhiri pengabdiannya ke negara, Leo masih sempat dipercaya sebagai duta besar RI di Italia (1969). Tapi sekali lagi, emosinya yang meledak-ledak membuatnya harus mengemban tugas lebih cepat dari semestinya. Apa lagi yang diperbuatnya? “Leo memukul tukang jahit pakaiannya,” tandas Musidjan ketawa.
Usai pengabdiannya di AURI, cerita tentang Leo seperti kehilangan gantungan. Mata rantai seperti putus. Andoko juga tidak begitu yakin, apa pekerjaan Leo. Namun menurut Ashadi, Leo sempat bekerja di sebuah perusahaan kabel. Barulah setelah Ashadi yang waktu itu KSAU bertemu Leo secara tidak sengaja di daerah Blok A, Kebayoran Baru, Leo dimintanya menjadi staf ahli KSAU.
Namun kesehatannya sudah menurun. Penyakit asma yang dideritanya mulai merongrong fisiknya. Kondisi Leo sudah berbeda dengan Leo yang dikenal gagah. Andoko mengaku pernah bertemu Leo di Mabes AURI Pancoran. “Kelihatan sedikit kurus,” aku Andoko. “Saya terharu sekali. Dia teman yang baik, orang yang sangat care dengan teman. Saya rangkul dia, saya tanya, apa kabarnya,” jelas Andoko. “Gimana kabarnya, Le,” tanya Andoko yang dijawab Leo dalam bahasa Belanda dengan pelan, “Kalau jalan, rasanya semua goyang.” Seperti digambarkan Andoko, badan Leo sedikit kurus dan sebuah tongkat menempel di tangan kirinya untuk menopang tubuhnya (dan mungkin perasaannya yang limbung).
Terus menurunnya kesehatan Leo diperparah gangguan asma, akhirnya menghentikan perjalanan penuh petualangan seorang penerbang andal itu. Persis 18 April 1976, Marsda (Pur) Leonardus Willem Johanes Wattimena, akrab dipanggil Le dan cukup dikenal dengan Leo Wattimena, menurut Gunthur, menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumahnya di kawasan Pasar Minggu. Sebelum di kebumikan di TMP Kalibata belakangan makamnya bersebelahan dengan Dewanto jenazahnya disemayamkan di Mabes TNI AU Pancoran. Sebelum menghembuskan napas terakhir, seperti didengar Andoko dari kerabatnya, Leo berpesan agar dikebumikan dengan mengenakan pakaian penerbang AURI berwarna jingga. Karena, itulah kebanggaan Leo.