Jumat, 07 Maret 2014

PEJUANG GARIS STATUS QUO DI PANJER KEMBUMEN

PEJUANG GARIS STATUS QUO DI PANJER KEMBUMEN

Pahlawan adalah sebuah gelar mulia bagi para pejuang bangsa. Hal ini kadang tidak diimbangi oleh penghargaan yang setimpal. Bahkan terkadang dilupakan oleh Pemerintah dan para generasi selanjutnya yang tinggal menikmati hasil pengorbanan Raga, Jiwa dan Nyawa mereka. Fakta tersebut dialami oleh tujuh pejuang NKRI di Kebumen pada masa akhir perang kemerdekaan yakni pada peristiwa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948). Peristiwa Patriotisme mereka tergolong tragis. Betapa tidak! Mereka tidak hanya gugur karena penghianatan dan kejahatan perang Belanda, tetapi mereka juga dilupakan oleh Pemerintah dan generasi selanjutnya.

Fakta Pelanggaran Belanda
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda secara terang – terangan telah melanggar persetujuan Linggarjati, dengan melancarkan ekspansinya hingga ke Gombong. TNI mengadakan perlawanan dengan tetap mematuhi perintah Gencatan Senjata. Pihak RI kemudian mengambil Kali Kemit sebagi garis pertahanan dalam menghadapi Agresi Militer Belanda I.
Pada tanggal 27 Agustus 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) dibentuk. Kemudian diadakan perundingan antara RI dengan Belanda di atas Kapal Renville yang menghasilkan Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948. Sebagai tindak lanjut dari perjanjian tersebut maka:
  1. Oleh KTN (Komisi Tiga Negara) setelah melakukan perundingan yang dipimpin Panglima Divisi III Kolonel Bambang Soegeng dengan dihadiri antara lain: Letkol Koen Kamdani Komandan Resimen XX selaku Komandan COP PDKS Kebumen, Mayor Rahmat, Mayor Panoedjoe, Kapten Soebiyandono, Kapten H. Soegondo, Letnan Soeyono, Residen Banyumas, Bupati Banjarnegara, Bupati Kebumen, Kepala Polisi Gombong, dan Kepala Polisi Kebumen, Kali Kemit ditetapkan sebagai Garis Demarkasi/Garis Status Quo. Artinya Kali Kemit Karanganyar Kebumen pada saat itu menjadi batas terluar wilayah NKRI, sedangkan sebelah Barat Kali Kemit adalah wilayah milik Belanda.
  1. Pasukan-Pasukan TNI yang berada di kantong-kantong (dimaksud daerah yang diduduki Belanda) harus ditarik keluar. Dengan demikian Kemit merupakan pintu keluar bagi pasukan TNI Siliwangi dari Jawa Barat yang akan hijrah ke Jawa Tengah.
Pasukan Siliwangi diangkut menggunakan kereta api oleh Belanda, lalu diturunkan di stasiun Gombong. Selanjutnya mereka berjalan kaki ke Karanganyar, dan diangkut menggunakan kereta api RI menuju Yogyakarta.
Untuk memperlancar pelaksanan hijrah, Local Joint Commite (LJC) dibentuk dengan mendirikan pos di Panjatan (Karanganyar), dijabat oleh Kapten Musa yang ditugaskan MBT. Selain itu, dibukalah Jembatan Renville di desa Panjer, Kebumen oleh Zeni atas order COP Kebumen dan komunikasi telepon oleh satuan PHB pimpinan Kopral R. Soehadi.
Di Pihak RI, Garis Demarkasi dijaga oleh tujuh anggota PK yang menggunakan rumah Bp. Prawiro Soemarto sebagai Pos PK RI.

 
 
 
 
Tentara Andjing Nica melakukan sweeping/pemeriksaan terhadap pedagang dari sekitar garis Status-Quo


 

 Kunjungan pengamat militer asing ke brigade-V di garis demarkasi kemit, terdiri dari Kol. Servais (Belgia), Kol. Morizon (Perancis) dan Mayor. Sands (Inggris) sedang meneropong wilayah Indonesia.
Agresi Militer Belanda II
Persetujuan Renville yang telah disepakati ternyata dilanggar pula oleh Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 wib Belanda telah memulai serangannya di atas ibukota Yogyakarta sembari menunggu bala tentara Belanda dan angkatan perangnya yang sedang dalam perjalanan dari Gombong menuju Yogyakarta.

Peristiwa Militer di Kebumen
Pada hari Minggu pagi – pagi benar pukul 05.30 Wib tanggal 19 Desember 1948 Komandan Kompi III Batalyon III Brigade X (Batalyon Sroehardoyo) yang berkedudukan di Nampudadi dan Kepala Staf Kompi III Serma Koedoes mendengar ledakan Granat dari arah Kemit. Suara yang sama terdengar pula oleh Kapten Soemrahadi pimpinan sementara Kompi III karena Komandan Kompi III Kapten Radjiman sedang ke Purworejo untuk menengok keluarganya yang sakit.
Ledakan granat itu tidak diragukan lagi setelah adanya laporan dari Kopral Soeroyo anggota regu Combat pimpinan Serma Soekidi yang bertugas di dalam kota Gombong, bahwa ledakan tersebut merupakan isyarat bahwa Belanda melaksanakan rencananya “door stoot naar Yogyakarta“. Hal itu menjadi lebih meyakinkan dengan adanya siaran RRI Yogyakarta secara berulang – ulang.
Batalyon Sroehardoyo dan pasukan – pasukan lain yang bertugas di pos – pos pertahanan garis demarkasi Kemit segera melakukan pergeseran pasukan untuk menempati posnya yang baru yang telah ditentukan sebelumnya. Batalyon Mobil Soehardoyo mendapat tugas dan tanggung jawab pertahanan wilayah kabupaten Purworejo dan Batalyon Mobil Soedarmo di wilayah Kabupaten Kebumen.
Batalyon Mobil II Mayor Soedarmo menempatkan Markas batalyon Kompi Markasnya (Rahwana) di Wadas Malang kecamatan Krakal, berikut dengan Kepala Staf Kapten Iskandar, Kompi I Werkudoro Kapten Soemantoro, Kompi I Gatotkoco Kapten Soegiono, Kompi III Antasena Letnan I Moeklis dan Kompi Bantuan Anoman Letnan I Tjiptono, pada dasarnya selalu berpindah – pindah. Namun sesekali secara bergantian pasukan beristirahat di rumah Glondong Rustam desa Karang Jambu, berdekatan dengan Komando Batalyon.
Batalyon Teritorial Kedu IV Purworejo dan Batalyon Teritorial Kedu V Kebumen telah menyusun dan menempatkan kompinya, hingga dengan cepat sambil berjalan KODM – KODM dapat dibentuk di tiap kecamatan dengan personil yang ada pada kecamatan tersebut.
Instansi pemerintahan sipil, dinas dan jawatan serta sekolah – sekolah, jauh sebelumnya telah mempersiapkan diri kemungkinan terjadinya Agresi II.

Gugurnya Tujuh Orang Polisi Keamanan (PK) RI
Ketujuh PK yang menjalankan tugas istimewa menjaga garis Demarkasi/Status Quo Kemit ini gugur pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 05.00 Wib saat Belanda memulai aksi militernya (Agresi Militer II) dengan terlebih dahulu menghabisi mereka yang pada saat itu menghuni rumah Bapak Prawiro Sumarto, timur pasar Kemit sebagai Pos PK pihak RI.

Gagalnya Trekbom Jembatan Renville Panjer dan Dikuasainya Pabrik Mexolie Panjer Kebumen
Satu – satunya akses jalan darat yang bisa dilalui angkatan perang Belanda menuju ke Yogyakarta pada masa Agresi Militer Belanda II/Doorstoot Naar Jogja pada tanggal 19 Desember 1948 adalah melalui Jembatan Renville Panjer sebab jembatan resmi Tembana berhasil dihancurkan oleh pejuang RI. Jembatan Renville sendiri adalah jembatan kereta api di sungai Luk Ula Kebumen di desa Panjer, yang dibuka oleh Zeni atas order COP Kebumen dan komunikasi telepon oleh satuan PHB pimpinan Kopral R. Soehadi, sebagai tindak lanjut Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948. Jembatan Kereta Api ini secara darurat digunakan sebagai akses penghubung dengan cara menumpuk balok – balok kayu di atas rel agar bisa dilalui kendaraan dalam rangka memperlancar pelaksanan hijrah, Local Joint Commite (LJC).

 

Pada pukul 06.00 Wib Belanda masuk dari arah barat ke kota Kebumen bagian selatan dengan kereta api, dan bagian utara dengan jeep, panser wagen, dan tank sebanyak kurang lebih 50 buah menggunakan lambang – lambang KTN, yang merupakan Stoot Troop. Pada saat Belanda masuk kota, di dalam kota telah kosong. TNI dibagi dua yakni sektor Utara dan Sektor Selatan.
Saat Belanda masuk dan mendarat di selatan kota, di sana terdapat Mayor Rahmat, Kapten Toegiran, Letnan I Soediro, dan Letnan II Iskandar. Namun setelah mengetahui kekuatan Belanda yang besar, ketiga perwira tersebut tidak terlihat lagi. Sedangkan Letnan II Iskandar tertangkap di Jembatan Renville saat melaksanakan Trekbom.
Sasaran pertama pasukan Belanda pada waktu masuk ke kota Kebumen pada tanggal 19 Desember 1948 adalah Pabrik Mexolie Panjer Kebumen. Cepatnya gerak pasukan Belanda untuk masuk ke pabrik ini menyebabkan gagalnya aksi bumihangus. Malah beberapa pejuang yang tengah beraksi tertangkap dan ditembak mati oleh Belanda.
Di areal Pabrik Mexolie Panjer, Soewarno (pimpinan pemuda karyawan pabrik Mexolie) dan dua anggota CA II Angkatan Laut serta dua karyawan pabrik yang sedang melakukan bumi hangus di pabrik tersebut tertangkap basah oleh Belanda yang begitu cepat menduduki Mexolie. Soewarno dibawa ke stasiun, sedangkan empat lainnya setelah diperiksa di lapangan tenis Panjer (di utara stasiun) kemudian ditembak mati di sana.  Soewarno dibawa dengan Panser Wagon ke Purworejo. Sepanjang perjalanan ia mengalami beberapa peristiwa:
  1. Di Kepedek Kutowinangun; Di desa Kepedek sebelah timur Kutowinangun terdapat puing bekas pabrik padi (kini dipakai untuk KUD). Lima anggota AOI bersenjata kareben polisi menghadang Konvoi Belanda yang membawa Soewarno dengan tembakan. Belanda membalas serangan, tiga AOI gugur dan dua lainnya menghindar ke timur. Tapi sebelum sampai di tepi kampung, mereka tertembak oleh senjata metraliur 12.7 Belanda dan gugur.
  2. Di Jembatan Butuh; 100 meter sebelum Jembatan kali Butuh, terlihat seorang berlari dari kolong jembatan ke selatan melalui tanggul sungai. Belanda menembaknya dengan mitraliur 12.7 mm dan tepat mengenai sasaran. Korban adalah seorang Kopral dari Kompi Soedarsono Bismo yang ditugaskan menarik trekbom untuk memutuskan jembatan. Pemasangan trekbom dipimpin oleh Letnan II Soeparman Djliteng, Komandan Seksi I. Soewarno diperintah NICA untuk memeriksa kolong jembatan tersebut, diikuti 10 serdadu Belanda. Di sana ada sebuah trekbom seberat 150 kg yang siap diledakkan dari jauh dengan seutas kawat. Namun karena tergesa-gesa kawat yang diikat ke detonator belum dibuka. Trekbom tersebut diangkut Belanda ke Purworejo.
  3.  Di Kota Purworejo; Sekitar pukul 17.30 Wib panser wagon yang menawan Soewarno masuk kota Purworejo dan langsung menuju jembatan kali Bogowonto di Cangkrep (Purworejo Timur).
  4. Di Gedung Timur Alun – Alun Purworejo; Pada pukul 20.00 Wib Soewarno dengan jeep dibawa masuk ke sebuah gedung di timur alun – alun Purworejo (kini Markas CPM) untuk diperiksa Polisi Militer Belanda. Tengah malam ia mendengar bahwa esok pagi ia akan ditembak mati. Pukul 01.30 Wib di belakang gedung tempat Soewarno ditahan, terdengar ledakan granat. Serdadu NICA menjadi panik. Dalam kesempatan demikian, Soewarno meloloskan diri melalui saluran got yang sampai di kali sebelah timur RSU Purworejo. Selanjutnya ia ke selatan sampai di Banyuurip dan ke barat sampai di Panjer dengan selamat pada pukul 18.00 Wib pada tanggal 20 Desember 1948.
 

Tertangkapnya Letnan II D.S. Iskandar oleh Belanda
Saat Belanda masuk dan mendarat di selatan kota, di sana terdapat Mayor Rahmat, Kapten Toegiran, Letnan I Soediro, dan Letnan II Iskandar. Namun setelah mengetahui kekuatan Belanda yang besar, ketiga perwira tersebut tidak terlihat lagi. Sedangkan Letnan II Iskandar tertangkap di Jembatan Renville saat akan melaksanakan Trekbom yang tujuannya agar Belanda tidak bisa menyeberang ke timur sungai Luk Ula. Kedatangan Belanda yang terlalu cepat membuat Letnan II DS. Iskandar gagal melakukan aksinya karena terkepung dan tertangkap.
Ia lalu dibawa dengan kendaraan jeep ke berbagai sudut kota Kebumen sehingga banyak anggota TNI dan masyarakat yang melihatnya.
Salah seorang yang melihatnya langsung adalah Letnan I Soeparman Clapar (kawan lama Letnan II D.S. Iskandar) yang semula bermaksud menumpang jeep nya yang melintas di jalan Stasiun (kini jalan Pemuda), sebelum mengetahui bahwa Letnan Iskandar duduk di samping serdadu Belanda. Setelah mengetahui keadaan, Letnan I Soeparman segera ke rumah untuk cepat – cepat memindahkan keluarganya ke Clapar. Letnan II Iskandar dibawa ke stasiun dan diangkut ke Purworejo. Setelah tiga hari di tangsi Kedung Kebo, diangkut ke Gombong dan terus ke Purwokerto pada tanggal 25 Desember 1948 di Brigade V. Sesudah 17 hari ditawan di Bigade V, dengan kecerdikannya Letnan II Iskandar meloloskan diri melalui RSU Puwokerto dan melapor ke induk pasukannya (berada di gunung Sumbing).
Konvoi Belanda menuju Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 melalui Kebumen, Purworejo menggunakan kereta dan kendaraan terdiri dari beberapa Jeep, Panser Wagon dan truk yang dipenuhi serdadu Belanda. Karena terputusnya telepon dan radio belum ada, pada pukul 12.30 Wib Letnan I Oemar datang dengan motor mewartakan kepada Kompi I Soedarsono Bismo yang bertugas di pertahanan Kutoarjo (jalan Kaliwatu) bahwa keberangkatan Belanda dari Gombong menggunakan simbol-simbol KTN. Konvoi paling depan adalah tiga Panser dan diikuti 13 truk.

Instansi Sipil dan Militer Kebumen Meninggalkan Kota
Dinas-dinas, jawatan-jawatan, dan lembaga-lembaga pemerintahan sipil setelah dilancarkannya Agresi Militer Belanda II tidak tinggal diam dan menyerah kepada Belanda. Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota melaksanakan pengabdian tugas pemerintahan di luar kota, di desa-desa dan di gunung-gunung. Baik di kabupaten Purworejo maupun di Kebumen melakukan hal yang sama.
  • Komandan Batalyon II Brigade X Mayor Soedarmo di Pacekelan Wadasmalang, di rumah Doelah Sepingi (wilayah kabupaten Wonosobo).
  • Kepala Pemerintahan Militer Kabupaten, Mayor Rachmat di  dukuh Brondong, Kemejing kecamatan Wadaslintang (wilayah kabupaten Wonosobo).
  • Bupati kebumen Sosroboesono di desa Kalipuru, rumah Lurah (wilayah kabupaten Wonosobo).
  •  Kompi Gatotkaca, Antareja, dan Antasena sesekali secara bergantian di rumah Glondong Rustam desa Karang Jambu (wilayah kabupaten Wonosobo).
  • Wedono Tirtomenggolo di rumah Tirtodikrama desa Karang Jambu (wilayah kabupaten Wonosobo).
  • Rumah Penjara di Tegal, Brondong, kelurahan Kamejing, kecamatan Wadaslintang (wilayah kabupaten Wonosobo).
  • Kantor Pos di rumah Kartodikaryo, Karang Jambu, Wetan Gili (wilayah kabupaten Wonosobo).
  • Kejaksaan di rumah Doelsalam, Karang Jambu, Kulon Gili (wilayah kabupaten Wonosobo).
  • Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di rumah Soewadji Madsirod, Kepala Dusun Wetan Gili ( wilayah kabupaten Kebumen).
  • Kantor Kabupaten di rumah Bapak Madaslah, Congkokan, Karang Jambu (wilayah kabupaten Kebumen).
  • Sekretaris Kabupaten R. Soetikno di rumah Bapak Sariyoem, Kepala Sekolah Rakyat III Wadasmalang (wilayah kabupaten Kebumen).
  • Wedono, Opsir Pekerjaan Istimewa (OPI), Camat, Kepala PMO masing-masing dalam wilayahnya.
Selanjutnya muncul golongan Co (cooperator) yakni golongan yang mau mengabdi dan bekejasama dengan Belanda, dan golongan Non Co yakni golongan yang tidak mau mengabdi dan bekerjasama dengan Belanda. Golongan yang menjadi Co disebut menyebrang. Alasan mereka adalah takut hidup sengsara dan sikap mental politik yang memang melekat di dalam dirinya sebagai  penjilat.

Kondisi Kini
Makam tujuh Pahlawan tersebut sebelumnya terletak di lokasi yang tidak layak (comberan), kemudian atas swadaya masyarakat Kemit, dipindahkan ke pemakaman yang layak di desa Grenggeng diprakarsai oleh Bp. Taufik dan Bp. Dwidjomartono. 



 Makam tujuh Pahlawan sekarang ini 

Selanjutnya ada dua versi mengenai keberadaan tujuh makam Pahlawan tersebut pasca renovasi yang kemudian dituliskan nama – namanya. Versi pertama menurut buku sejarah GELEGAR DI BAGELEN yang disusun oleh Ikatan Keluarga Resimen XX Kedu Selatan. Di dalam buku yang menggunakan sumber data berupa wawancara dengan beberapa narasumber pelaku sejarah antara lain; Kolonel (Purn.) H. Soedarsono Bismo/Komandan Kompi Irawan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 1991, Letkol R. I Soehadi DKK di Gombong pada tanggal 23 Juli 1991, Moh. Tasdik dan Dwijomartono (Pejuang) di Kemit pada tanggal 1 Juli 1994 serta manuskrip Dinas Sejarah Militer dan Moh. Tasdik, ketujuh makam tersebut merupakan makam dari tujuh orang CPM penjaga garis demarkasi yang dihabisi Belanda pada aksi agresinya tanggal 19 Desember 1948. Versi kedua adalah menurut warga, yang meyakini bahwa ketujuh makam tersebut merupakan makam: 1. KH. Abumastur (Kyai Tratas 65 th), 2. Abdullah (40 th) dimana kedua pejuang tersebut juga disebutkan di dalam buku Gelegar Di Bagelen sebagai korban penyiksaan yang kemudian ditembak mati Belanda di Kemit, 3. Wahid bin Madngasah (23 th; tokoh ini tidak disebutkan baik dalam Gelegar di Bagelen maupun di dalam manuskrip Moh. Tasdik), 4. Pahlawan tak dikenal, 5. Pahlawan tak dikenal, 6. Pahlawan tak dikenal, 7. Pahlawan tak dikenal.
Tujuh pejuang penjaga garis Demarkasi pada masa Agresi Militer Belanda II sama sekali tidak mendapat perhatian dari pemerintah Kebumen, bahkan sepertinya tidak diketahui keberadaan dan sejarahnya oleh para abdi Negara (Sipil) di Kebumen baik secara umum maupun yang diberi kepercayaan mengurusi bidang kesejarahan.
Hal ini tentunya sangat tragis dan memilukan apalagi ketika kita menyaksikan betapa penghargaan dan dukungan dari Pemkab Kebumen terhadap putra – putra daerah masa kini yang berprestasi di dunia hiburan nasional di elu – elukan, sementara ketujuh Pahlawan pemberani yang gugur sebagai korban kejahatan perang Belanda tersebut tidak dihargai dan tidak dikenali bahkan kini nyaris terhapus sejarahnya. Semoga Yang Maha Kuasa dan para leluhur NKRI memaafkan kesalahan kita semua yang telah melupakan dan berusaha menghilangkan sejarah.
Teringat Soekarno sebagai Presiden RI pertama yang selalu berpesan “JASMERAH” Jangan sekali – sekali Melupakan Sejarah, kiranya memang sudah seharusnya karena dalam sejarah itulah tersimpan berjuta memori pahit – getir serta mahalnya harga sebuah Kemerdekaan. Dalam sejarah dan peninggalannya lah generasi penerus akan belajar tentang harga diri dan jati diri bangsa yang harus dijaga sampai titik darah penghabisan.
Tindak lanjut segera dari pihak – pihak terkait terhadap sejarah ketujuh pahlawan penjaga demarkasi Kemit tersebut sangat diperlukan. Sejarah akan indah jika bertumpu pada rel keobjektifan yang semestinya karena melupakan dan merusak sejarah serta segala peninggalan yang berkaitan dengannya sama halnya menodai sebuah kemerdekaan.

Oleh : Ravie Ananda
Sabtu Legi 4 Mei 2013
Sumber :
http://kebumen2013.com/kisah-tragis-tujuh-patriot-kebumen-pembela-nkri-korban-kejahatan-perang-belanda-dan-perusakan-situs-mexolie-panjer-kebumen-mengatasnamakan-kepentingan-pembangunan/

3 komentar:

  1. Trimakasih...hasil penulisan saudara insyaallah bermanfaat dan jadi ladang amal.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Kebetulan saya lagi nyusun Tesis "Pengaruh Status Quo Garis Demarkasi terhadap Revolusi Fisik dan Revolusi Sosial Masyarakat di sekitar Gombong Kabupaten Kebumen" ...Maturnuwun

    BalasHapus