Melihat Kekuatan Hiu Kencana TNI AL
Sebagai negara yang cukup masyur dengan kisah kejayaaan kapal selam di
masa lampau, jelas TNI AL punya pengalaman lumayan komplit dalam
mengoperasikan torpedo. Di tahun 60-an, tatkala 12 unit Whiskey Class
memperkuat TNI AL, sudah hadir jenis torpedo SAET (Samonavodiashaiasia
Akustisticheskaia Elektricheskaia Torpeda)-50, sebuah torpedo jenis
homing akustik yang ditenagai dengan teknologi elektrik. Kecanggihan
SAET-50 yakni saat diluncurkan dapat langsung mencari sasaran sendiri
(fire and forget) berdasarkan suara baling-baling atau material magnetik
yang dipancarkan oleh badan kapal target. Pada masa berkecamuknya
Perang Dingin, SAET-50 terbilang torpedo yang cukup mengkhawatirkan bagi
armada NATO.
KRI 401 Cakra dari type U 209 1200
KRI 402 Nanggala dari type U 209 1200
Proses pengisian torpedo SUT ke kapal selam U 209 1200 milik TNI AL
Dari segi update teknologi, boleh jadi torpedo ini sudah agak ketinggalan saat ini. Tapi harus diakui bahwa torpedo SUT (Surface and Underwater Target) 533 mm yang pernah diproduksi PT Dirgantara Indonesia (d/h PT IPTN) adalah pencapaian penting dalam ranah perkembangan alutsista di dalam negeri. Pasalnya kali itulah, Indonesia mampu memproduksi torpedo secara lisensi dari AEG (Allgemeine Elektrizitäts-Gesellschaft), Telefunken, Jerman. Ini tak lain buah dari kebijakan strategis untuk menangani aspek peperangan bawah laut. Merujuk informasi dari Edisi Koleksi Angkasa – Alutsista Dalam Negeri 2009, disebutkan PT DI mulai memproduksi torpedo ini lewat Divisi Sistem Senjata di Pulau Madura sejak 1986. Sementara sumber dari Navweaps.com, menyebut PT DI sudah mulai memproduksi torpedo jenis SST (Special Surface Target) sejak tahun 1978.
AEG (Allgemeine Elektrizitäts-Gesellschaft) SUT 533 mm
Dari segi bobot, torpedo 533 mm memang gambot, dengan panjang enam meter lebih, berat torpedo SUT ini mencapai 1,4 ton lebih, di dalamnya sudah termasuk bobot hulu ledak 225 kg yang dapat mengkaramkan frigat. PT DI membuat dua varian SUT ttorpedo, latihan dan perang. Khusus varian latihan baterai torpedo dapat diisi ulang. Satu kali isi ulang dapat digunakan 10 hingga 15 kali latihan. Umur baterai torpedo dapat diperpanjang, Hal ini membuat usia pakai SUT Torpedo menjadi lebih lama. Panjang torpedo yang mulai dirancang pada 1967 ini dengan kasket 6.620 mm, sedangkan tanpa kasket 6.150 mm. Berat torpedo varian perang 1413,6 kg, varian latihan 1224 kg. Jarak jangkau SUT torpedo sekitar 38 km dengan kemampuan menyelam hingga lebih dari 100 m. Dalam menuju sasarannya torpedo SUT digerakkan dengan motor listrik yang mampu memberikan daya dorong hingga 35 knots dengan tingkat kebisingan rendah dan dipandu menggunakan sistem pemandu sonar pasif dan aktif. Kecepatan 35 knots bisa dimungkinkan saat menghajar sasaran sejauh 12 km, sedangkan untuk sasaran 28 km kecepatan torpedo merosot jadi 23 knots. Sebagai sumber pasokan tenaga adalah baterai silver zinc.
Meski tak diketahui berapa pasti jumlah torpedo SUT yang diproduksi PT DI, tapi dipercaya sudah seratusan lebih yang berhasil dibuat. Besarnya jumlah yang dibuat, tak semata-mata guna memenuhi kebutuhan dua unit kapal selama Type 209 TNI AL, torpedo SUT yang masuk golongan ‘kelas berat’ ini juga disasar untuk kebutuhan KCT (Kapal Cepat Torpedo) FPB-57 TNI AL, tiap FPB-57 dapat membawa dua torpedo, tanpa isi ulang. Bahkan, nantinya kapal selam Changbogo Class TNI AL juga dapat menggunakan jenis torpedo ini.
Spesifikasi dari U209 1400 Chang Bo Go Class
KRI 403 Nagapasa Type U 209 1400
Laksamana Ade Supandi mengatakan kapal selam kelas 209/1400 ini merupakan pesanan pertama dari sebanyak tiga unit kapal yang dipesan di PT PAL.
“Kapal pesanan kedua masih dikerjakan di Korea Selatan, baru pada pesanan ketiga dikerjakan di galangan PT PAL,” katanya.
Kasal menyebut pengerjaan dengan sistem alih ilmu dan teknologi semacam ini merupakan kontribusi positif bagi kemajuan industri pertahanan PT PAL, yang pada gilirannya dapat membangun kemandirian produksi dalam negeri di bidang teknologi pengembangan alutsista TNI.
Laksamana Ade Supandi mejelaskan Nagapasa yang dijadikan nama pada kapal pesanan pertama diambil berdasarkan nama senjata berupa panah milik tokoh pewayangan Indrajit, putera mahkota negara Alengka.
“Senjata ini saat dilepaskan memiliki keistimewaan yaitu dapat mengeluarkan ular yang tidak terbilang jumlahnya dan menyerang musuh dengan ganas. Hal ini mengandung makna bahwa dengan hadirnya KRI Nagapasa- 403 di jajaran TNI Angkatan Laut dapat memberikan daya tangkal di kawasan regional. Selain itu menambah eksistensi TNI Angkatan Laut dalam melaksanakan tugas dan berperan aktif memperkuat pertahanan negara,” ujarnya, dilansir Antara.
KRI Nagapasa tergolong super canggih, dilengkapi dengan “torpedo black shark” sepanjang 6,3 meter dengan diameter 533 milimeter, yang memiliki jarak luncur ideal 50 kilometer berkecepatan 50 knot.
KRI 401 Cakra dari type U 209 1200 dan KRI 403 Nagapasa Type U 209 1400
saat HUT TNI ke 72 di perairan Banten
KRI 404 Ardadedali Type U 209 1400
Kapal selam KRI 405 Nagarangsang type U209 1400 yang sedang dikerjakan di PT PAL Surabaya
Laksamana Madya Widodo selaku Sekjen Kementerian Pertahanan (Kemhan) dalam laporan di MetroTV (13/8), menyebut bahwa Indonesia akan mengakuisisi torpedo Black Shark. “Ada kemungkinan kita akan memiliki Black Shark pada akhir tahun ini,” ujar Laksamana Widodo. Meski begitu, belum ada penjelasan lebih lanjut tentang proses pengadaan dan nilai ToT (Transfer of Technology) yang akan diterima Indonesia.
Black Shark adalah tipe torpedo heavy weight buatan Whitehead Sistemi Subacquei (WASS), Finmeccanica Company, Italia. Tak hanya garang dari nama yang disematkan, tapi Black Shark atau yang akrab diberi label IF21, juga wujud dari torpedo tercanggih di kelas kaliber 533 mm. Sejak aktif digunakan pada tahun 2004, Black Shark di dapuk sebagai sosok senjata monster bawah laut yang mampu menjangkau target long range dan multi purpose.
Lalu apa yang menjadikan Black Shark terasa special? Pertama adalah kemampuannya yang dual purpose, Black Shark asasinya untuk mengahajar kapal selam dan kapal permukaan, torpedo ini juga mampu manjalankan misi antiship torpedo. Dari segi operasional, Black Shark ideal untuk digunakan di perairan dalam dan perairan dangkal. Agar sukses menghantar maut ke sasaran yang dituju, Black Shark punya kemampuan full stealth, dalam artian tingkat emisi suara yang dipancarkan nyaris tidak terdeteksi. Sebagai alutsista berstandar NATO, Black Shark mengusung STANAG 4405, dengan interface yang punya kompabilitas dengan semuan CMS (Combat Management Systems) modern.
Torpedo dengan bobot 1,5 ton ini punya kemampuan long range dengan jarak luncur ideal hingga 50 km dengan kecepatan maksimum 50 knots. Namun, sesuai kebutuhan operasi dan jenis sasaran yang ingin dihantam, Black Shark dapat di setting meluncur hingga kecepatan 52 knots untuk jarak luncur 22 km. Sementara bila dibutuhkan, jarak luncur bisa di setting sampai 90 km, namun kecepatan melorot jadi 12 knots. Black Shark dibekali dua bilah propeller yang masing-masing bergerak secara berlawanan, pola gerakan propeller ini menghasilkan tingkat kesenyapan yang tinggi, selain laju kecepatan tinggi pada torpedo.
Untuk urusan hulu ledak Black Shark dibekali powerful explosive charge, meski pihak pabrikan merahasiakan berat hulu ledaknya. Pada prinsipnya, hulu ledak dapat diaktifkan oleh pengaruh dari gelombang akustik dan efek tabrakan. Amunisi yang diusung bersifat sensitif dengan standar STANAG 4439 dan MURAT-2.
Low Maintenance
Sumber pasokan tenaga Black Shark berasal dari desain baru advanced lithium polymer rechargeable battery. Sistem propulsi listrik, didasarkan pada baterai oksida perak dan aluminium. Baterai ini punya kepadatan energi yang tinggi dan konduktivitas elektrolit tinggi menawarkan keamanan maksimum dan penyimpanan energi hingga 12 tahun. Dengan sistem pasokan energi yang berlaku, maka wajar bila Black Shark dapat menghemat biaya maintenance.