Jumat, 21 Maret 2014

MAGELANG DI MASA PENDUDUKAN JEPANG 1942 - 1945

Magelang di Masa Pendudukan Jepang 1942 - 1945

Disusun ulang oleh : Agung Surono

Menurut letaknya, Magelang terletak antara 110˚- 01’- 51” Bujur Timur dan 110˚- 26’- 56” Bujur Timur dan 7˚- 19’- 13” Lintang Selatan dan 7˚- 42’- 14” Lintang Selatan, dengan batas-batas yaitu sebelah Utara Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang, sebelah Timur Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang, sebelah Selatan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Sleman (DIY), sebelah Barat Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo.
Secara administratif berdasarkan letaknya termasuk daerah yang berada di tengah-tengah pulau Jawa. Seperti daerah yang lain, Magelang merupakan suatu Kabupaten dan Kotamadya yang berada pada Karisedenan Kedu dan menjadi Kota pusat dari Karisidenan ini. Yang meliputi 5 Kabupaten dan 1 Kotamadya, yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kebumen dan Kotamadya Magelang sebagai pusat administrasi dan pemerintahan Karisidenan Kedu.
Berdasrkan hal tersebut, magelang merupakan kota yang cukup strategis karena menjadi jalur utama penghubung kota-kota besar di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setelah pendaratan pasukan Jepang di Kragan (Rembang). Rembang berhasil dikuasai oleh Jepang tanggal 1 Maret 1942. Gerak maju serangan pasukan Jepang kemudian dilanjutkan ke daerah lain. Gerak maju invasi Jepang itu terus berlanjut dan berhasil menguasai Purwodadi pada tanggal 3 Maret 1942. Dari Purwodadi kekuatan pasukan Jepang dibagi menjadi dua. Pasukan pertama yang dipimpinoleh Yamamoto dan Matsumoto bergerak melalui jalur Samberlawang terus menuju Surakarta. Pasukan yang kedua dipimpin oleh Kaneuyi yangmelewati jalur Godong terus ke Boyolali. Kedua pasukan Jepang ini nantinya akan bergabung kembali di daerah Klaten. Dalam waktu yang singkat daerah-daerah tersebut mampu ditaklukkan dan dikuasi oleh pasukan Jepang. Gerakan invasi pasukan Jepang kemudian terus dilakukan hingga mampu menguasai Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan dua daerah istimewa di Jawa Tengah. Setelah berhasil menguasai Yogyakarta, pasukan Jepang dibagi menjadi dua pasukan. Pasukan yang pertama dipimpin Matsumoto maju melewati daerah Magelang kemudian Temanggung terus hingga daerah Banyumas. Pasukan yang kedua dipimpin oleh Yamamoto dan Kaneuyi yang ditugaskan menguasai daerah selatan Jawa Tengah. Magelang berhasil dikuasai Jepang tanggal 6 Maret setelah Surakarta dan Yogyakarta dapat dikuasai sebelumnya oleh Jepang pada tanggal 5 Maret 1942. Ketertarikan Jepang terhadap Magelang dipicu karena potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Magelang yang sangat melimpah. Ada beberapa hal yang menjadikan perlu untuk dikuasai. Pertama, Magelang merupakan pusat produksi hasil pertanian (pangan) berupa padi, sayuran dan buah-buahan serta tanaman komoditi (tembakau). Kedua, sebagai pusat administrasi pemerintahan Kota Madya Magelang dan Kabupaten Magelang. Ketiga, Magelang terletak di jalur transportasi utama daerah-daerah yang memiliki perekonomian yang cukup baik dalam bidang pertanian. Dengan menguasai Magelang maka mereka tidak perlu merasa khawatir berkaitan dengan pemenuhan keperluan pasukan mereka dalam berperang baik itu dalam masalah konsumsi pasukannya maupun untuk bahan baku persenjataan. Magelang juga merupakan pusat pemerintahan daripada Karesidenan Kedu yang meliputi daerah Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Magelang sendiri. Menguasai Magelang berarti Jepang dapat dengan mudah mengontrol dan menggunakan potensi-potensi daerah-daerah yang termasuk ke dalam lingkup Karesidenan Kedu dengan mudah, misal politik beras, dan perekrutan para pemuda guna dijadikan pasukan perang guna membantu perang Asia Timur Raya yang sedang dilakukannya. Dengan datangnya Jepang di Magelang terjadi berbagai perubahan di dalam masyarakatnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 27 (Undang-Undang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah) seluruh pulau Jawa dan Madura, kecuali kedua Koci Surakarta dan Yogyakarta, dibagi menjadi atas syu, syi, ken, gun, son, dan, ku. Daerah syi sama dengan daerah stasdgemeente daerah ken sama dengan Kabupaten, daerah gun sama dengan daerah kawedanan, daerah son sama dengan order distrik atau kecamatan, dan ku sama dengan desa atau kelurahan. Selaku kepala daerah syu, syi, ken, gun, dan ku masing-masing diangkat seorang syuco, syico, kenco, gunco, dan kuco. Dengan pembagian diatas, maka propinsi-propinsi seperti halnya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur di hapuskan.
Pada masa pendudukan Jepang daerah Magelang sudah termasuk Kabupaten atau ken yang mempunyai otonomi penuh dengan R.A.A Sosrodiprodjo sebagai Bupati atau kenco Magelang. Kabupaten Magelang adalah merupakan bagian dari Kerisidenan Kedu (syu kedu) dengan Residen (syutyokan) Raden Panji Soeroso, yang membawahi Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo, Kabupaten kebumen, Kabupaten Magelang, dan Kotapraja (syi) Magelang.
Pada masa pendudukan Jepang Jawa ditetapkan sebagai pemasok beras untuk pulau-pulau diluar Jawa serta untuk keperluan medan pertempuran di Pasifik Selatan. Beras yang didatangkan dari Jawa menjadi semakin penting karena semasa perang angkutan jarak jauh dan perkapalan sangat sulit serta keamanan di laut memburuk. Beras dari Jawa terkenal enak. Jepang berniat memprioritaskan Pulau Jawa guna memenuhi kebutuhan akan beras. Dalam rangka pelaksanaannya Jawa sebagai bagian dari lingkungan bersama Asia Timur Raya mengemban dua tugas. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan sendiri untuk tetap bertahan. Kedua, mengusahakan produksi bahan makanan untuk kepentingan perang. Jaman penjajahan Jepang di mana rakyat diwajibkan melaksanakan “wajib setor beras” ini juga biasa disebut ”Zaman Kuintalan”, karena berasal dari kata Quintaal, yang berarti 100 Kg (satuan berat yang diperkenalkan oleh Jepang). Para petani juga menyebut jaman ini sebagai jaman penyetoran padi. Masyarakat diwajibkan untuk menyetorkan sejumlah padi sebanyak yang telah ditentukan pemerintah pendudukan dalam rangka mencukupi kebutuhan untuk perang. Jepang menerapkan politik ekonomi yang desentralisasi. Dalam pelaksanaannya Jepang memberikan tanggungjawab mengumpulkan semua kebutuhan ekonomi pada pemerintah daerah. Setelah semua selesai baru kemudian dilaporkan kepada pimpinan pusat pemerintahan pendudukan. Selama pendudukan Jepang ini, untuk memperlancar kebijakan ekonomi Jepang secara terus menerus mengumandangkan propaganda mengenai pelipatgandaan hasil pangan melalui radio, surat kabar, penerbitan, ataupun pemutaran film. Untuk memenuhi target kebutuhan akan beras bagi pasukannya yang sedang berperang Jepang memerintahkan untuk membuka lahan baru yaitu dengan cara menebangi hutan atau mengganti lahan perkebunan yang tidak bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan perang untuk kemudian ditanami beras guna keperluan perang. Jepang juga memperkenalkan cara penanaman padi yang baru (larikan) yang tujuannya adalah untuk peningkatan hasil produksi beras. Disamping rakyat dituntut untuk menyetor beras dan menaikkan produksinya, mereka masih dibebani pekerjaan tambahan yang bersifat wajib, seperti menanam dan memelihara jarak (Poesponegoro dan Notosusanto [ed], 1993:49).
Untuk mengontrol dan upaya menaikkan hasil produksi beras di desadesa, Jepang membentuk Kumiai(koperasi). Fungsi dari koperasi ini adalah untuk menampung beras yang berasal dari masyarakat terutama karena adanya wajib setor beras, juga sebagai sarana penyebar informasi berkaitan dengan kebijakan perekonomian Jepang.Beras yang akan diberikan pada Jepang dikumpulkan melalui perangkat desa (Kepala Desa) atau melalui badan desa bentukan Jepang (Sidoing). Sidoingini nantinya yang akan mengumpulkan beras dengan cara mendatangi rumah penduduk yang memiliki sawah untuk menarik beras. Penarikan beras dilakukan seminggu sekali atau dua minggu sekali (Wawancara dengan Bapak. Simhadi, 17 April 2007).
Beras yang telah berhasil dikumpulkan oleh Sidoing disimpan di rumah Kepala Desa atau di koperasi (Kumiai) yang kedudukannya biasanya menjadi satu dengan kelurahan. Setelah itu para petugas Jepang akan mengmbilnya untuk kemudian disimpan di tangsi-tangsi penyimpanan beras mereka. Salah satu tangsi penyimpanan beras Jepang yang ada di Magelang antara lain berada di Komplek SECABA (Sekolah Calon Bintara) di jalan Ahmad Yani Magelang (Wawancara dengan Bapak Sabar18 April 2007). Tetapi secara umum tangsi penyimpanan beras Jepang memang ditempatkan di daerah komplek militer dan sangat dirahasiakan. Itu bertujuan untuk keamanan dan jaminan keraha-
siaan.
Beras yang mereka simpan itu nantinya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pasukan Jepang yang sedang berperang. Beras itu nantinya akan dikirimkan dengan menggunakan kereta api atau truk. Sewaktu akan dilakukan pengiriman beras, pemerintahan Jepang di Magelang akan membunyikan sirine (oleh pemerintah Jepang digunakan sebagai pemberitahuan adanya musuh yang datang dan rakyat disuruh sembunyi). Bagi rakyat Magelang yang sedang ada di pinggir jalan diwajibkan untuk membalikkan badan pada saat truk atau kereta api itu akan lewat agar rakyat tidak mengetahui apa yang diangkut di dalamnya. Apabila ada yang menoleh atau melihat maka dia akan dihukum, biasanya berupa pukulan atau tendangan (Wawancara dengan Bapak. Rachmat, 17 April 2007).
Kebijakan keuangan Jepang yang berusaha mempertahankan nilai gulden atau rupiah Hindia Belanda guna mempertahankan harga barang-barang agar dapat dipertahankan seperti sebelum perang dan untuk mengawasi arus lalu lintas permodalan dan kredit tidak efektif. Terjadilah inflasi yang sangat parah terhadap Indonesia. Pada masa ini nilai tukar uang menjadi semakin kecil karena uang dibuat semakin banyak sehingga membuat nilai tukarnya menurun. Pada masa Jepang proses pembuatan uang dipusatkan di Yogyakarta. Bahkan, karena sangat kecilnya nilai tukar uang pada masa itu akibat adanya inflasi, gaji yang diterima orang Indonesia yang bekerja di pemerintah Jepang per bulannya nilainya sama dengan harga sebuah nangka. Selain kebijakan itu Jepang juga memberlakukan kebijakan wajib bayar pajak yang diambil dari berbagai sumber misal pajak tanah, pajak produksi, atau juga pajak penghasilan. Selain itu, para petani di Magelang juga diwajibkan untuk melaksanakan kebijakan “tanam-wajib” lainnya yaitu menanam rami dan jarak (Wawancara dengan Bapak. Simhadi, 17 April 2007).
Apabila dibandingkan antara tingkat perekonomian pada masa Jepang dengan masa Belanda, Bapak Simhadi, Bapak Rachmat maupun Bapak Sabar sama-sama mengatakan bahwa pada masa Belanda lebih baik daripada masa Jepang, meskipun sama-sama dalam kondisi terjajah. Pada masa Belanda apa-apa ada (barang keperluan sehari-hari selalu ada), sedang pada masa Jepang kebalikannya (tidak ada atau sulit dicari). Pada dasarnya pada masa Jepang apa-apa yang ada dianggap milik Jepang atau setidaknya boleh digunakan oleh Jepang. Jepang juga memberi perhatian terhadap masalah sosial ekonomi kemasyarakatan. Pemerintahan pendudukan Jepang melakukan beberapa perubahan, terutama berkaitan dengan masalah sosial ekonomi kemasyarakatan itu. Di masa pendudukan Jepang, organisasi pedesaan secara langsung dihubungkan dengan dunia luar dalam pengertian politik, ekonomi dan spiritual (Kurasawa dalam Nagazumi, 1988: 83). Struktur otoritas di daerah pedesaan juga dirubah. Selama pendudukan Jepang, kepala desa dan para pembantunya diperlakukan sedikit lebih baik seperti wakil pemerintah pusat, dan menjalankan perintah dari atas untuk keuntungan pengusaha penjajahan (Kurasawa dalam Nagazumi, 1988: 84). Pada masa pendudukan Jepang ini struktur sosial di daerah pedesaan berubah. Para pejabat pamong praja (pangreh praja) beserta stafnya berada di puncak hierarkhi sosial. Mereka pada umumnya adalah berasal dari kota yang tidak berminat pada sektor pertanian di pedesaan.
Selama masa pendudukan itu seorang Kepala Desa dan perangkatnya diperlakukan sebagai alat pemerintah pusat, alat penguasa sehingga mereka menjalankan perintah dari atas untuk keuntungan Jepang (Soemarmo, 2001: 51).
Mereka diberi tugas untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah pendudukan Jepang di tingkat pedesaan. Tugas mereka antara lain mengumpulkan beras dari warga desa, merekrut romusha, merekrut para pemuda/pemudi untuk mendapat didikan militer guna keperluan perang Jepang.
Di antara penduduk dari golongan petani, kepala desa dan para pembantunya mempunyai prestisesosial yang sangat tinggi. Diluar kelompok pamong desa, stratifikasi sosial didasarkan atas kepemilikan tanah, yang menempati golongan pertama masyarakat ini adalah kuli kenceng, mereka yang memiliki sawah yang mudah dialiri. Kelas ini juga mencakup mereka yang memiliki tanah kering yang mudah ditanami tetapi status mereka berada di bawah para pemilik tanah. Tingkat sosial di bawahnya adalah kuli karangkopek, yang memiliki tanah hanya pekarangan. Berikutnya adalah kuli indung, yang sama sekali tidak memiliki tanah tapi punya rumah. Kelas terakhir adalah indung tlosor, yang tidak punya tanah maupun rumah dan menumpang pada keluarga lain dan bekerja untuk mereka (Soemardjan, 1981: 41).
Pada masa pendudukan Jepang ini nasib petani tak banyak berbeda. Mereka berada di tingkat paling bawah dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Sangat sulit bagi mereka untuk merubah posisi mereka karena kewajiban yang harus dipenuhi. Tak ubahnya pada masa pendudukan Belanda, pada masa pendudukan Jepang juga tak jauh berbeda. Terjadi peralihan kepemilikan tanah di dalam masyarakat dari para petani ke pemerintahan pendudukan Jepang di Magelang (Wawancara dengan Bapak Sabar 18 April 2007).
Perubahan stratifikasi sosial berlangsung di masyarakat dimana orang Jepang menduduki kelas tertinggi. Kelas berikutnya ditempati oleh orang-orang Eropa terutama sekutu dari Jepang. Kelas berikutnya adalah orang Indonesia. Kelas terbawah adalah orang-orang Belanda dan sekutunya (orang-orang Cina). Penduduk keturunan Cina di Muntilan dibenci oleh Jepang karena dianggap sebagai kaki tangan Belanda  pada masa itu.  Perubahan ini juga diikuti adanya perubahan sosial sehari-hari.
Pada masa pendudukan Jepang bagi masyarakat Tionghoa sangat terbatas sekali. Segala tindak tanduknya di awasi betul oleh Jepang. Termasuk dengan 2 perkumpulan sosial Hoo Hap Hwee dan Sam Ban Hien tersebut (mengurusi kegiatan sosial yaitu kematian, juga memiliki grup Barongsai dan Lion Samsi. Nah pada setiap perayaan tahun baru Imlek, kedua grup seni ini diadu keterampilannya). Karena itu kedua perkumpulan itu dilebur menjadi satu dengan nama Song Soe Kiok. Maka sejak saat itu perkumpulan ini hanya khusus menangani urusan kematian saja. Sedangkan lokasi atau tempat dari perkumpulan ini berada di kawasan VOETPAT KARET, tepatnya di depan seberang jalan dari rumah makan Es Murni di Jalan Sriwijaya Bogeman.
Kebiasaan yang dilakukan orang Jepang setiap harinya harus diikuti. Di Magelang sendiri juga demikian. Setiap hari ada kewajiban yang harus dilakukan, yaitu mengikuti kebiasaan orang Jepang. Kewajiban itu antara lain setiap pukul 7 pagi diharuskan menghadap ke arah Timur menghadap matahari (memberi hormat kepada Dewa Matahari), serta melaksanakan Upacara Tenno Heika menghadap arah Timur Laut (memberi hormat kepada Kaisar Jepang). Kedua kewajiban ini harus dilaksanakan oleh semua orang di mana saja mereka berada. Apabila ada yang melanggar maka akan dihukum. Selain itu, rakyat Magelang juga diwajibkan memberi hormat kepada setiap orang Jepang yang mereka temui di jalan (Wawancara dengan Bapak Rachmat, 17 April 2007).
Ada juga kewajiban untuk berolahraga (melakukan senam) bagi rakyat terutama bagi para pemuda yang sedang mendapat pendidikan militer. Kegiatan olahraga senam ini biasanya dilakukan secara bersama-sama di Stadion Tidar (sekarang bernama Stadion Abu Bakrin). Pada waktu Jepang menduduki Magelang hampir tidak ada pembangunan, kecuali membuat Stadion Tidar yang dikerjakan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat, pegawai, pejabat dan anak-anak sekolah
dan tentunya para romusha.
Kondisi ekonomi sangat parah sebab segala hasil produksi disedot untuk kepentingan perang. Kekayaan rakyat dikuras sampai ke “balung sumsumnya”. Kemelaratan berkecamuk dan kelaparan berjangkit hampir di seluruh Indonesia akibatnya timbullah golongan yang disebut “kere” atau “gembel” dalam jumlah yang sangat besar. Untuk membangun prasarana perang seperti kubukubu pertahanan, jalan raya, lapangan udara dan lain-lain, Jepang memerlukan banyak tenaga kasar. Selain itu, diperlukan juga tenaga kasar untuk bekerja di pabrik-pabrik dan pelabuhanpelabuhan. Tenaga-tenaga inilah yang disebut romusha. Pulau Jawa sebagai pulau yang padat penduduknya memungkinkan pengerahan tenaga tersebut secara besar-besaran. Pada mulanya tugas-tugas yang dilakukan itu bersifat sukarela, tetapi lama kelamaan karena kebutuhan yang terus meningkat di seluruh Asia Tenggara, pengerahan tenaga yang bersifat sukarela berubah menjadi paksaan. Beribu-ribu romushadikirim ke luar Jawa bahkan ke luar Indonesia, seperti Birma, Muangthai, Vietnam dan Malaya. Di Magelang tenaga romusha direkrut oleh Kepala Desa. Tenaga romusha yang direkrut biasanya orang yang masih muda, sehat dan kuat. Tenaga romusha yang direkrut ini berasal dari desa-desa yang ada di Magelang. Mereka direkrut untuk membangun prasarana perang Jepang, misalnya membangun gua-gua perlindungan dan persembunyian di daerah-daerah pegunungan (misal di daerah Windusari, Kabupaten Magelang), mambangun jalan bawah tanah sebagai alat pertahanan dari serangan musuh (misal di daerah Jambon, belakang Koramil), memperbaiki landasan udara yang ada di Bukit Tidar yang rusak karena politik bumi hangus Belanda., Merusak jalan raya sebagai cara memperlambat musuh (menghancurkan jalan raya atau minimal aspalnya harus mengelupas), setiap jarak 1 Km pada jalan raya harus dibangun rugrat (lubang jebakan sekaligus lubang persembunyian), membangun asrama bagi siswa sekolah yang ada di Magelang (Wawancara dengan Bapak Sabar 18 April 2007).
Di Magelang para romusha ini pada saat direkrut dijanjikan akan mendapat bayaran setiap harinya. Tetapi pada pelaksanaannya tidak demikian. Para romusha ini diperlakukan sangat buruk. Sejak dari pagi hingga petang hari mereka diharuskan bekerja kasar tanpa makanan yang cukup (bahkan tidak makan sama sekali) dan juga tanpa perawatan cukup. Bayaran uang yang dijanjikan oleh Jepang tidak pernah ada. Romushamendapat jatah makan tiap harinya, bukan berupa nasi (beras) melainkan berupa gronjol atau tiwul (terbuat dari ketela) yang juga dianggap sebagai bayaran mereka karena telah bekerja selama satu hari (Wawancara dengan Bapak Sabar 18
April 2007).
Kondisi itu membuat para romusha menderita kelemahan fisik, sehingga mereka tidak mampu bekerja lagi. Jika diantara mereka ada yang berani beristirahat sekalipun hanya sebentar maka hal itu akan mengundang makian atau pukulan dari pengawas mereka yang orang Jepang. Masa istirahat yang diperbolehkan adalah pada malam hari (tidur). Dalam keadaan fisik yang lemah membuat mereka tidak tahan (rentan) terhadap penyakit. Karena tidak sempat memasak air minum, sedangkan buang air di sembarang tempat maka mereka terjangkit wabah disentri. Mereka juga terjangkit wabah malaria karena tidak bisa menghindarkan diri dari serangan nyamuk (Poesponegoro dan Notosusanto [ed], 1993:39).
Selain itu juga merebaknya penyakit beri-beri dan kutu yang memperparah penderitaan rakyat Magelang. Banyak dari para romusha ini yang mati karena koreng(infeksi luka). Selain mati karena kekurangan makan dan penyakit akibat kerja kasar yang mereka lakukan banyak romusha yang mati karena sengaja dibunuh untuk menjaga kerahasiaan setelah membangun prasarana perang Jepang agar tidak diketahui musuh. Mayat para romusha tergeletak dimana-mana dan dibiarkan saja tidak ada yang mengurus. Pemandangan itu terlihat setiap hari dan sudah biasa. Romushayang berasal yang dikirim ke daerah lain misal ke Jawa Barat atau Jawa Timur atau juga ke luar Pulau Jawa seperti ke Sumatra atau Kalimantan banyak yang tidak kembali. Bapak Sabar yang merupakan mantan romusha merasa beruntung hanya dipekerjakan di wilayah Magelang dan bisa bertahan. Temannya yang bernama Kirman tidak bisa bertahan dan akhirnya meninggal pada saat membangun jebakan di sepanjang jalan karena mendapat siksaaan dari tentara Jepang dan kekurangan makan (Wawancara dengan Bapak Sabar 18 April 2007).
Penderitaan tidak hanya diterima oleh para pemuda, tetapi juga para wanita. Oleh orang-orang Jepang mereka dijadikan Jugunianfu (gundik), lebih diutamakan adalah yang masih perawan. Mereka dijadikan pemuas hasrat seksual pasukan Jepang. Orang-orang Jepang menjanjikan kepada para wanita tersebut untuk kemudian dijadikan isteri dan akan dibawa ke Jepang. Para Jugunian fuitu diambil dari desa atau kampung yang ada di Magelang. 
Dari sebuah dokumen yang berasal dari arsip pemerintahan Belanda yang dibuat berdasarkan sebuah testimoni dari seorang wanita Belanda di tahun 1946 . Wanita yang berumur 27 tahun ini menceritakan tentang kamp wanita pekerja sex paksa di Magelang, Jawa Tengah ketika itu. Wanita- wanita di kamp itu dinamakan dengan sinis oleh Jepang dengan sebutan euphemisme "Jugun Ianfu" atau "comfort woman".
Saat itu apabila ada orang Jepang yang tertarik kepada seorang wanita maka dia berhak untuk memilikinya. Barang siapa yang melawan atau mencegahnya maka orang itu akan dibunuh (Wawancara dengan Bapak Rachmat 17 April 2007).
Akibat ini semua maka pada tahun 1943 jumlah penduduk Magelang berkurang sangat signifikan dikarenakan terjangkitnya wabah cacar yang hampir terjadi di seluruh kecamatan dan khususnya generasi muda yang di kirim ke Ujung Kulon sebagai romusha oleh penjajahan Jepang. Kedua peristiwa ini tercatat dalam sejarah pertumbuhan penduduk.
Sejak jaman penjajahan Jepang Magelang terkenal sebagai kota Garnisun atau kota militer. Hal ini dapat di buktikan dengan banyaknya peninggalan bangunan-bangunan militer sebagai pemusatan pasukan Jepang.
Para pemuda Magelang selain direkrut untuk menjadi romusha juga direkrut untuk menjadi tentara atau dididik kemiliteran dengan tujuan mengamankan Magelang atau membantu Jepang dalam perang yang sedang dilakukan. Para pemuda ini mendapat latihan kemiliteran terutama baris-berbaris.
Para pemuda yang direkrut merupakan orang orang pilihan (berani dan kuat) terutama yang ditunjuk untuk menjadi pasukan yang membantu langsung Jepang dalam berperang. Ada beberapa pilihan yang ditawarkan para pemuda itu, antara lain: (1) Menjadi pasukan militer Jepang yang mambantu Jepang langsung dalam perang (HEIHO), untuk ditempatkan dalam organisasi militer Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut; (2) Menjadi pasukan PETA (berasal dari golongan masyarakat) yang bertugas mengamankan Magelang. Bahkan, menjelang tahun 1945 di Magelang dibentuk kompi yang beroperasi di daerah. Diadakan pendidikan atau penerimaan prajurit tentara PETA angkatan pertama di Magelang. Pada saat itu baru dapat terbentuk 2 batalyon atau Daidan. Dai Ici Daidan berkedudukan di Gombong dan Dai Ni Daidan berkedudukan di Magelang dengan nama lengkapnya Kedu Dai Ni Daidan atau Batalyon II Kedu (Wiyono,dkk, 1991: 30).
Dari kelurahan mereka dikirim ke kecamatan seterusnya dikirim dan dikumpulkan di kawedanan, kemudian mereka diberangkatkan dari pendopo Kabupaten Purworejo menuju tempat pendidikan di tangsi Tuguran, Magelang (Wiyono,dkk, 1991: 29).
Salah satu putra Indonesia yang memulai karier militernya di Magelang adalah Ahmad Yani beliau pada masa penjajahan Jepang, Yani mengikuti pendidikan militer Jepang di Magelang. Prestasinya begitu gemilang sampai-sampai Kapten Yanagawa, pelatih Jepang, menaruh perhatian khusus pada Yani. Ketika lulus, Yani pun menjadi siswa terbaik. Sebagai penghargaan, Yani diberikan sebilah pedang samurai. Kemudian beliau diangkat sebagai Komandan Dai Ici Syodan Dan San Cudan dari Dai Ni Daidan (Komandan Seksi 1 Kompi 3 Batalyon 2).
Jadi pelatihan militer ini bermanfaat bagi perjuangan hidup rakyat Magelang di masa depan.
Dapat dikatakan bahwa terdapat tiga prinsip pokok pada kebijaksanaan di bidang pendidikan yang dilakukan Jepang selama masa pendudukannya, yaitu: (1) Pendidikan ditata kembali atas dasar keseragaman dan kesamaan untuk seluruh kelompok etnis dan kelas sosial (berbeda dengan masa kolonial Belanda yang membedakan pendidikan berdasar ras); (2) Secara sistematis pengaruh Belanda dihapuskan dari sekolahsekolah, sedangkan unsur-unsur kebudayaan Indonesia dijadikan landasan utama; (3) Semua lembaga pendidikan dijadikan alat untuk memasukkan doktrin gagasan Kemakmuran Bersama Asia Tenggara di bawah pimpinan Jepang (Lapian, 1988:87).
Kelompok masyarakat yang benar-benar mendapatkan perhatian untuk digarap secara serius oleh pemerintah pendudukan Jepang ialah kelompok pemuda. Meski berasal dari strata sosial yang berbeda-beda mereka ini dihimpun dalam suatu organisasi yang sama. Mengapa perhatian Jepang dicurahkan kepada kaum muda? Karena umumnya pemuda memiliki sifat giat bekerja/kerja keras, dan semangat tinggi/yang diliputi oleh idealisme yang tinggi. Mereka belum dipengaruhi oleh alam pikiran Barat.
Pada masa pendudukan Jepang masalah pendidikan tidak diperhatikan, tidak seperti pada masa Hindia Belanda. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 manjadi 13.500, sekolah lanjutan dari 850 menjadi 20, Perguruan Tinggi/Fakultas terdiri dari 4 buah, dapat dikatakan untuk berapa lama belum dapat melakukan kegiatan-kegiatannya. Pendidikan bagi rakyat yang kurang diperhatikan ini mempengaruhi tingkat intelektualitas mereka. Angka buta huruf tinggi sekali walaupun memang ada di sana-sini dilakukan usaha untuk pemberantasan buta huruf. Sistem pengajaran dan struktur kurikulum ditujukan kepada keperluan Perang Asia Timur Raya (Poesponegoro dan Notosusanto [ed], 1983: 52)
Di sekolah Bahasa Indonesia digunakan sebagai mata pelajaran utama. Bahasa Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib. Kita sangat diuntungkan dengan adanya peraturan itu, karena Bahasa Indonesia dapat berkembang. Para siswa di sekolah tersebut juga dilibatkan dalam usaha yang berkaitan dengan perang yang dilakukan Jepang. Sekolah pada saat itu merupakan tempat indoktrinasi Jepang. Melalui pendidikan itu mentalitas dan cara berpikir masyarakat dapat diubah dan dialihkan, dari mentalitas Eropa kepada “alam pikiran Nippon” (Lapian, 1988: 87). Pendidikan yang ada adalah untuk mempelopori dan membentuk kader bagi konsepsi untuk memenangkan perang. Salah satu contoh indoktrinasi itu ialah bahwa setiap siswa diharuskan bersumpah (Sumpah Pelajar) setia kepada Jepang. Sumpah itu berbunyi: “ ware rawa sing njawani gaturowari, ware rawa daeniponno sidhhonomoto, dai toak zeinozungzai tarangkotowok chiko, dai toak kensetsu notomunimanaki ”(Wawancara dengan Bapak Rachmat 17 April 2007)
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah: “Kami pemuda maju kedepan berani untuk menyempurnakan pembangunan dan kesejahteraan Asia Timur Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, kami pemuda mementingkan budi pekerti dan menjunjung tinggi peraturan seinendan, kami pemuda berusaha sekuat-kuatnya dalam pekerjaan kami masing-masing dan maju terus memperbanyak hasil usaha, kami pemuda mempertahankan Tanah Air kami dengan sekuat tenaga sambil bekerja bersama-sama sepenuhnyapenuhnya, kami pemuda menghargai semangat yang bersahaja dan teguh, bersumpah akan melatih jasmani dan rohani, menuju cita-cita yang tinggi.” Para pelajar atau pemuda Jawa itu secara otomatis dimasukkan dalam organisasi Djawa Seinendan untuk dididik untuk fanatik dan berpendirian ekstrim dengan latihan-latihan fasistis dan indoktrinasi Jepang secara efektif. Di Magelang sendiri juga berdiri sekolahsekolah Jepang, antara lain: (1) sekolah calon guru (shihan gakko); (2) sekolah menengah pertama (tsu gakko); (3) sekolah pertanian (no-gakko); (4) sekolah bahasa Jepang (zokyu nippono gakko).
Bagi Jepang Magelang memiliki manfaat politis. Mengapa demikian? Karena Magelang terletak di tengah-tengah dan mempunyai manfaat lebih dalam rangka mengawasi daerah sekitarnya. Dengan menguasai Magelang sangat mudah mengontrol daerah-daerah kekuasaan Jepang di sekitarnya karena Magelang terletak di tengah jalur yang menghubungkan utara-selatan maupun timur-barat. Magelang sendiri merupakan kota yang dapat disebut kota pendidikan militer. Bekas gedung komplek Secaba sekarang pada masa Jepang dijadikan tempat pendidikan kemiliteran dalam rangka merekrut pasukan perang baik itu untuk Peta, Heiho, Seinendan, Keibodan guna membantu perang yang dilakukan Jepang dalam lingkup se-Karesidenan Kedu.  Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Masyarakat Magelang Bagi masyarakat pedesaan, terutama para petani kewajiban serah padi ini dirasa sangat berat. Para petani diharuskan memenuhi kuota beras yang telah ditentukan pemerintah. Penyerahan padi yang luar biasa besarnya ini telah menekankan kehidupan ekonomi petani secara serius. Mudah diduga bahwa rakyat, yang selama zaman Belanda hanya makan 60% saja dari apa yang dibutuhkan, terpaksa harus lebih banyak lagi mengurangi konsumsi mereka, dan akan menderita kelaparan. Kekurangan pangan yang juga terjadi secara langsung jugaberdampak pada kesejahteraan petani. Bahkan, ini juga berdampak pada tingkat kesehatan masyarakat yang buruk, banyak dari mereka yang menderita penyakit beri beri, busung lapar, kudisan, dan lainlain. Petani yang menanam padi tidak dapat merasakan hasil jerih payahnya tetapi harus makan apa yang ada misalnya umbi, pohon pisang, kulit pisang, kulit ubi kayu, batang pohon pepaya hanya untuk bertahan hidup, padahal jelas bahwa apa yang mereka makan itu mengandung sangat sedikit vitamin. Ini berdampak pada tingkat kesehatan masyarakat yang sangat buruk, banyak dari mereka yang menderita penyakit beri-beri, busung lapar, kudisan dan lain-lain. Tak berbeda dengan apa yang terjadi di Magelang. Kehidupan Magelang sejak pendudukan Jepang sangat sulit terutama dibidang perekonomian. Sebagian produk pangan rakyat dirampas Jepang untuk memenuhi kebutuhan logistik mereka dan untuk biaya perang melawan Sekutu.
Kondisi perekonomian Magelang sangat buruk pada masa kekuasaan Jepang. Kebijakan wajib setor beras yang diberlakukan oleh pemerintahan Jepang juga diberlakukan di Magelang. Para petani diwajibkan untuk menyetor beras kepada pemerintah Jepang sebanyak 50% dari hasil sawahnya secara keseluruhan. Apabila itu tidak dituruti/dilakukan maka yang melanggar akan diberi hukuman. Hukuman yang diberikan dapat berupa hukuman penjara atau perampasan sawahnya, bahkan dapat juga dibunuh. Kadang untuk menghindari atau setidaknya agar bisa tetap bertahan hidup mereka menyimpan sebagian beras yang mereka miliki dengan cara menguburnya di dalam lubang yang telah mereka buat di dalam rumah. Lubang itu biasanya berkisar pada kedalaman 1 m (Wawancara dengan Bapak. Simhadi, 17 April 2007).
Adanya kebijakan wajib setor beras semakin mempersulit kondisi warga Magelang. Pada masa itu mereka mengalami kesulitan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka sendiri. Beras dari hasil sawah mereka dirampas Jepang, sedangkan mereka sendiri juga butuh makan. Hasil panenan mereka telah berkurang setengah dari yang semestinya mereka peroleh sehingga mereka terpaksa mencukupi kebutuhan konsumsi mereka dengan apa yang masih mereka miliki (Wawancara dengan Bapak. Sabar, 18 April 2007).
Kebijakan ini menimbulkan kekurangan pangan yang juga secara langsung berpengaruh pada kesejahteraan petani. Para petani tidak dapat menjual hasil panen mereka karena adanya kebijakan yang mewajibkan mereka untuk menjual hasil pertanian mereka kepada Jepang. Tetapi apabila mereka berhasil menjualnyapun tidak banyak berbeda. Disamping harga yang murah di pasarpasarpun tidak ada beras yang dijual. Bapak Sabar mengatakan bahwa pada masa itu bisa makan beras satu kali sehari itu sudah bagus. Fakta yang ada mendukung pendapat itu. Ada sebuah keluarga di daerah Cuk Kramat yang merupakan keluarga yang terpandang dan dianggap kaya di daerah tersebut karena kebijakan wajib setor beras yang diberlakukan pemerintahan pendudukan Jepang kemudian menjadi sebuah keluarga yang serba kekurangan. Mereka harus menyetor beras kepada Jepang hingga mencapai 75% dari hasil sawahnya. Hingga terpaksalah orang dari keluarga itu pergi ke daerah lain untuk sekedar mencari makan (Wawancara dengan Bapak Simhadi, 17 April 2007).
Keadaan perekonomian yang sulit itu diperburuk dengan adanya blokade ekonomi Belanda terhadap Republik Indonesia. Blokade ekonomi ini adalah berupa larangan masuk barang-barang dan makanan maupun persenjataan ke Indonesia, baik melalui darat maupun laut. Kesulitan yang diderita penduduk Magelang antara lain adalah adanya peredaran Oeang Republik Indonesia (ORI) palsu yang dikeluarkan oleh Belanda (Priadji, 1995:75).
Penduduk Magelang apabila akan mencari kebutuhan sehari-hari terpaksa harus membeli di daerah lainnya, seperti Ambarawa, Semarang dan Salatiga dengan harga yang sangat mahal, karena daerah itu dekat dengan pelabuhan yang merupakan pusat kegiatan ekonomi (keluar masuk barang dari daerah lain) yang melewati jalur laut. Barang-barang kebutuhan seharihari misalnya bahan makanan dan pakaian sangat jarang bahkan hampir tidak ada. Barang industri sangat sulit didapat terutama tekstil. Akibatnya pakaian rakyat terbuat dari serat rami, karung goni, atau bagor. Apabila dipakai dan badan masih agak basah pakaian itu lengket di kulit. Itu pun jumlahnya sangat terbatas. Setiap orang pada umumnya hanya punya satu atau dua stel. Sebab itu sering terjadi bila orang harus mencucinya maka sambil menanti pakaian itu dijemur ia harus tetap berendam di sungai sampai pakaian itu kering untuk segera dapat dipakainya kembali (Soemarmo, 2001: 40).
Dapat dikatakan bahwa bidang perdagangan pada masa ini lumpuh atau tidak dapat berjalan karena menipisnya persediaan akibat barang yang dibutuhkan atau dicari tidak ada begitu juga uang untuk membelinya tidak sebanding nilainya. Di Magelang sendiri kondisinya juga tak jauh berbeda. Rakyat Magelang juga mengalami kesulitan memperoleh sandang. Mereka menggunakan karung goni dan bagor sebagai bahan membuat pakaian sehari-hari. Bahkan sepeda yang digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari oleh rakyat Magelang menggunakan karet mentah untuk rodanya (Wawancara dengan Bapak Simhadi, 17 April 2007).
Praktik- praktik romushamerupakan bentuk yang sangat nyata dari praktik eksploitasi tenaga kerja dan manusia pada masa pendudukan Jepang. Hal itu sekaligus merupakan suatu bentuk pemiskinan mentalitas masyarakat. Dengan demikian telah terjadi perubahan mentalitas masyarakat yang sangat mendasar pada masa pendudukan Jepang sebagai akibat penetrasi dan sistem pendudukan yang bersifat militer.
Keadaan yang sangat buruk itu menghantui masyarakat desa yang harus juga mengirimkan penduduknya untuk berangkat menjadi romusha. Hal itu berkembang menjadi ketakutan kolektif dan kegelisahan komunal. Masyarakat desa tidak berani menentang perintah Jepang di satu sisi, tetapi tidak menginginkan berangkat sebagai tenaga paksa Jepang. Akhirnya terjadi kekerdilan mental sebagai akibat penetrasi politik yang sangat keras. Tekanan-tekanan politik, ekonomi, sosial dan kultural saat itu telah menciptakan kondisi masyarakat pedesaan yang diliputi kecemasan dan ketakutan. Pendudukan Jepang di Magelang tidak hanya membawa dampak negatif yang berupa menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat, tingkat kematian yang sangat tinggi baik karena masalah kesehatan maupun kekurangan ekonomi, atau kemunduran mental. Tetapi pendudukan Jepang juga memberi dampak yang positif bagi rakyat Magelang, misalnya pengenalan teknik bercocok tanam padi yang baru (larikan) yang membuat hasil panen rakyat meningkat. Begitu juga dengan pendirian sekolah pertanian di daerah Mertoyudan dalam rangka peningkatan hasil produksi pertanian (menemukan bibit unggul) yang secara tidak langsung mendorong perubahan ke arah yang lebih baik terutama dalam hal bercocok tanam. Selain itu ada pula pendidikan militer yang diberikan baik di sekolahsekolah maupun melalui organisasi semi militer maupun organisasi militer bentukan Jepang (Heiho, Peta, Seinendan, Keibondan) kepada para pemuda dan pemudi Magelang yang bermanfaat bagi peningkatan kedisiplinan dan juga bangkitnya rasa nasionalisme, terutama berkaitan dengan usaha merebut kemerdekaan dan juga mempertahankan daerah Magelang pada masa-masa perjuangan selanjutnya.
Masalah pendidikan yang meski pada masa pendudukan ini tidak terlalu diperhatikan, adanya sekolah-sekolah Jepang yang dibuka di Magelang semakin meningkatkan tingkat intelektual masyarakat.

Salah satu sekolah yang dibuka di Magelang adalah pendirian sekolah Jepang di Magelang. Orang-orang muda mendapatkan pendidikan formal yaitu pada tahun 1942 mulai didirikan sekolah menengah pada masa penjajahan Jepang yang diberi nama "Syoto Chu Gakko". Pada masa itu lebih dikenal dengan nama SMP Botton, karena letaknya berada di Kampung Botton.
Saat dibukanya SMP Magelang yang terletak di Jalan Botton (sekarang Jalan Pahlawan) sekolah tersebut baru mempunyai 4 kelas, dengan jumlah guru 4 orang, yaitu Bapak Soetedjo Atmodipoerwo (merangkap direktur), Bapak Soediman, Bapak Mardiyo dan Bapak P. Siagian (Prastowo, 1945 : 18). Mata Pelajaran yang disajikan adalah Pelajaran Umum, disamping Bahasa Jepang serta Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Kegiatan Belajar Mengajar pada saat itu harus disesuaikan dengan Kurikulum dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh penguasa Jepang. SMP Botton ini selama Pendudukan Jepang pernah dipimpin oleh
Kepala Sekolah Pertama : Bp. Soetedjo Atmodipoerwo ( 1942 - 1944 )
Kepala Sekolah Kedua : Bp. P. Siagian ( 1944 - 1946 )
Lalu selain itu ada juga Pendidikan kesehatan (membalut luka, bedah peluru) juga diberikan di sekolah-sekolah terutama kepada para wanita. Para wanita ini nantinya menjadi orang-orang yang memegang peranan penting dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, karena tentunya dalam peperangan seorang tenaga medis dan pengobatan sangat dibutuhkan. (Wawancara dengan Ibu Hardjanti, 17 April 2007).

Perjuangan melawan pendudukan Jepang
Rakyat  Magelang  telah  sampai pada puncak penderitaan lahir dan batin. Penderitaan yang memuncak itu mau tidak mau menimbulkan dan menambah rasa benci terhadap Jepang. Muncul pula rasa nasionalisme dalam diri rakyat Magelang untuk bebas dari penderitaan itu. Timbullah perlawanan lokal terhadap Jepang di Magelang.
Situasi pada bulan-bulan mendekati jatuhnya penjajahan Jepang penuh dengan ketegangan, terutama di kota yang strategis seperti Magelang dan Semarang. Di Magelang para pemimpin mulai melakukan kegiatan. Dari kegiatan bekerja sama dengan pemerintah Jepang atau paling sedikit kurang memusuhi pihak Jepang sekarang beralih kepada gerakan rahasia atau ilegal untuk menentang kekuasaan Jepang. Gerakan yang dilakukan antara lain dengan cara menyusup ke dalam pemerintahan pendudukan Jepang. Ada juga yang menggunakan cara lainnya yaitu dengan cara mendirikan usaha berupa kedai makan yang sering digunakan untuk menyelenggarakan rapat dan pertemuan rahasia melawan pemerintah pendudukan Jepang (Wiyono,dkk, 1991: 39).
Beberapa tokoh pejuang di Magelang sebenarnya sudah menaruh rasa tidak percaya akan janji-janji Jepang yang akan memerdekakan Indonesia di kelak kemudian hari. Mereka berpendapat bahwa kalau memang akan memerdekakan bangsa Indonesia “sekarangpun sudah siap”. Atas dasar keyakinan itu maka pada tanggal 31 Oktober 1944 malam, mereka berkumpul dan membentuk sebuah kelompok perlawanan yang bernama Barisan Pelopor yang diterima secara aklamasi. Para tokoh Barisan Pelopor (BP) Magelang itu antara lain : Dr. Mardjaban, W. Soemowarsito, Adisoedjono, Said, Soelito, R. Koesman, R. Abdulkadir. BP ini akan berusaha menggerakan kekuatan nasional untuk segera menyambut Kemerdekaan.
Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima yang menewaskan sedikitnya 78.000 orang. Pada tanggal 9 Agustus bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki (Ricklefs, 1991: 314).
Dan akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Pada hari-hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia secara sayup-sayup terdengar berita tentang penyerahan Jepang terhadap Sekutu tanpa syarat. Berita penyerahan Jepang kepada Sekutu diterima dengan keragu-raguan oleh masyarakat Magelang. Betapa tidak, tentara Jepang masih berkuasa dalam kota, juga pemerintahan sipil berjalan biasa, seperti tidak terjadi apa-apa. Hanya saja orang-orang Jepang yang ada di Magelang baik yang sipil maupun yang militer, tampak bermuka suram, tidak ada yang tertawa, tampak gelisah lebih banyak berdiam diri di tangsi atau tempat tinggal mereka di rumahnya masing-masing, mereka tampak kehilangan gairah hidup. Orang-orang Jepang di Magelang tampak lebih banyak bergerombol di penginapannya masing-masing, tentu sebagian akibat daripada kalah perang. Tetapi yang jelas suasana pada saat itu mereka bermuka suram dan loyo tidak seperti biasanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia disiarkan melalui RRI dari Jakarta.
Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia belum sampai diterima oleh masyarakat Magelang. Pada tanggal 18 Agustus 1945 begitu mendengar Proklamasi R. P. Soeroso langsung berangkat ke Jakarta untuk membuktikan peristiwa luar biasa itu dan untuk mengetahui lebih lanjut akan kondisi politik nasional R. P. Soeroso menyadari bahwa letak wilayahnya itu berada pada titik pusat pulau Jawa, sehingga mempunyai nilai strategis untuk menguasai pulau Jawa. Hal ini berarti bahwa rakyatnya perlu dipersiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan. Setelah mendengarkan berita tentang Kemerdekaan Indonesia secara serentak tampak adanya perubahan pada sikap dan wajah masyarakat kita yang sekaligus merubah suasana. Beribu-ribu bendera Merah Putih serentak muncul dimana-mana, teriakan “Merdeka” terus menerus terdengar, rakyat nampak seolah-olah bangun dari tidurnya, semangat bergelora. Perubahan suasana tersebut dilihat oleh fihak Jepang dengan sikap lesu, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tentara Jepang masih bersenjata dan berjaga di tempat-tempat tertentu, sedangkan bendera Jepang masih tampak berkibar di tempat-tempat resmi. Memang nyatanya tentara Jepang meskipun secara formil sudah menyerah kalah terhadap Sekutu, akan tetapi secara de facto masih berkuasa dan masih menyandang senjatanya dengan lengkap, menunggu penyerahan kepada fihak Sekutu. Suasana demikian memang sulit dipertahankan terlalu lama.
Mereka yang tergabung dalam “Berisan Pelopor” (dimana duduk Alm. Dr. Mardjaban, W. Sumowarsito, Adisunjojo, Sahid, Sulito, Kusman dan Abdulkadir) setelah mendengar berita Proklamasi itu segera mengadakan perundingan pada tanggal 19 Agustus 1945 (Arsip Sejarah Peristiwa Magelang, KODAM VII/DIPONEGORO). Rapat dilakukan dari jam 01.00 sampai dengan jam 05.00 WIB, barisan pelopor mengadakan rapat membicarakan tindakan yang perlu diadakan guna menghadapi perubahan politik yang mendadak itu, setelah mendengar berita pasukan Jepang menyerah kepada sekutu. Dalam pertemuan tersebut R.A.A. Sosrodiprodjo menghimbau kepada seluruh anggota barisan pelopor, agar tetap tenang dalam menghadapi situasi sekarang ini.
Bersamaan itu, beliau mengetahui sesungguhnya perubahan politik yang terjadi di Jakarta maupun daerah Republik Indonesia yang lain pada tanggal 21 Agustus 1945, setelah syotyokan Raden Panji Soeroso baru saja datang dari Jakarta.
R. P. Soeroso selaku pejabat pemerintah sipil yang berkedudukan di Magelang yang setelah terbentuknya Kabinet RI yang pertama pada tanggal 2 September 1945 beliau diangkat menjadi Gubernur Jawa Tengah, terus mendagakan konsultasi dan konsulidasi guna mencari jalan untuk mengambil alih kekuasaan sipil dari tangan Jepang. Dari tokoh-tokoh BP mengusulkan agar diadakan pertemuan dengan Kepala-Kepala Kantor dan Jawatan pemerintah bangsa Indonesia guna mencari jalan pemecahan yang sebaik-baiknya dalam menghadapi keadaan.
Sehubungan dengan itu Barisan Pelopor mulai bergerak bersama rakyat ke tempat kediaman Raden Panji Soeroso pada tanggal 3 September 1945 jam 21.00 WIB. Mereka menuntut kepada baliau untuk mengumumkan secara resmi kemerdekaan Republik Indonesia kepada rakyat Magelang dan menyatakan kebulatan tekat Karisidenan Kedu menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Raden Panji Soeroso mengumumkan berita proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan menyatakan kebulatan tekat Karisidenan Kedu menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Bersamaan dengan itu beliau menghimbau kepada seluruh rakyat Magelang untuk jangan terlalu gembira guna menjaga perasaan pasukan Jepang yang kalah perang dengan pasukan sekutu.
Atas usul BP tersebut maka pada tanggal 10 September 1945 bertempat di rumah kediaman Dr. Mardjaban di Jalan Sultan Agungan No. 9 diadakan pertemuan yang dihadiri oleh : Para Kepala kantor dan jawatan pemerintah bangsa Indonesia, unsur KNI dan beberapa tokoh pemuda yang lain, pertemuan ini mengambil keputusan antara lain :
1. Bahwa semua pegawai pemerintah berjanji untuk setia kepada Pemerintah Republik Indonesia, dan tidak akan mau diperintah oleh pembesar-pembesar Jawatan yang terdiri dari orang Jepang.
2.  Membentuk beberapa sayap Pemuda untuk dapat diajak bersama-sama mengatasi segala persoalan.
3. Bahwa dalam kurun waktu yang singkat para Pemuda pejuang ini hendak melaksanakan pengambil alihan kekuasaan di kantor-kantor dan jawatan-jawatan Pemerintah, untuk mencegah agar alat kekuasaan itu tidak diserahkan oleh Jepang kepada Sekutu.
Pada tanggal 13 September 1945 telah diumumkan Proklamasi kemerdekaan Indonesia di Magelang. Tetapi, timbul permasalahan baru yang harus dipecahkan. Pertama, pemindahan kekuasaan dari Jepang (kalau perlu dengan perebutan); Kedua,usaha memperoleh senjata.
Sebagai langkah pertama kemudian diadakan suatu gerakan penempelan bendera Merah Putih, yang digerakkan secara serentak pada tanggal 23 September 1945 malam hari, sesudah terlebih dahulu diadakan pertemuan kilat yang berupa pembulatan tekad bertempat di sebuah gedung di jalan Poncol, depan foto studio “Gah Hien”, gedung yang mana sekarang ditempati Dr. Kusen (Arsip Sejarah Peristiwa Magelang, KODAM VII/DIPONEGORO).
Terjadi suatu insiden karena hal itu, yang biasa disebut “Insiden Hotel Nitaka” (saat ini Polwil Kedu). Insiden itu disebabkan karena ada orang Jepang yang mencopot bendera Merah Putih yang dipasang di tembok hotel itu. Hotel tersebut waktu itu merupakan markas RAPWI (Relief Action Prisoners of War and Interness) yaitu pasukan Sekutu yang bertugas menangani para tahanan perang dan hasil pampasan perang, yang dijaga serdadu Jepang. Seorang pemuda yang melihat kejadian itu segera mendatangi serdadu tersebut untuk memprotes, pertengkaranpun timbul dan dengan teriakan “Siap” berkali-kali maka dalam sekejap saja gedung itu telah dikepung oleh ratusan orang dengan bermacam-macam senjata, dari bambu runcing, pisau batu dan lain-lain (Soekimin Adiwiratmoko, tanpa tahun: 17).
Untuk menyelesaikan masalah tersebut keduanya bersepakat untuk membicarakannya di markas Kempetai (gedung SMIP Wiyasa). Tetapi pembicaraan itu tidak menemukan kesepakatan. Mereka kemudian berbondong bondong menuju markas Nakamura Butai, yang merupakan komandan pasukan Jepang, untuk membicarakan masalah kemerdekaan itu. Tetapi, tidak ada keputusan yang dihasilkan dan semakin membuat kecewa para pemuda yang berkumpul itu.

Peristiwa tanggal 25 September 1945 ini merupakan buntut dari kejadian “Insiden Hotel Nitaka” sehari sebelumnya, dimana pada tanggal itu sekitar jam 04.00 sd 05.00 ratusan rakyat, pemuda warga Magelang berbondong-bondong mendaki Gunung Tidar dari arah timur, barat, utara dan selatan dengan satu tujuan hendak mengikuti upacara pengibaran bendera Sang Merah Putih di Puncak Gunung Tidar Magelang. Dalam upacara itu, mereka mengalami kebingungan karena tidak ada satupun yang membawa Bendera Marah Putih untuk dikibarkan. Kemudian atas inisiatif salah satu pemuda yang hadir menyarankan agar supaya menggunakan pakaian pemuda Selamet dan Gimin yang kebetulan mamakai pakaian merah dan putih. Setelah pakaian disambung, maka pengibaran bendera pun dilaksanakan. Pada jam 06.00 upacara pengibaran bendera Sang Merah Putih dimulai dan berjalan secara khidmat dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya sehingga beberapa anggota yang mengikuti acara ini sampai meneteskan air mata. etelah upacara selesai maka beberapa pemuda dengan bersenjatakan "yari" (semacam tombak untuk latihan kemiliteran Seinendan) ditugaskan tetap tinggal menjaga di Puncak Tidar dan yang lain membubarkan diri. Tapi saat bubaran upacara ini terdengarlah serentetan letusan senjata api dari arah markas Kompetai. Pasukan Kompetai menembakan senjata karena mereka takut melihat massa yang turun dari gunung Tidar sehingga mereka jadi panik dan kalut lalu menembakkan senjata.
Mendengar tembakan itu massa tidak menjadi takut dan mereka terus maju dan sebagian menolong rekannya yang menjadi korban ke rumah sakit yaitu ke RSU Tidar yang kebetulan letak RSU Tidar bersebelahan dengan markas Kompetai itu.
Massa lalu menyerbu dan mengepung markas Kompetai bahkan ingin meringsek masuk ke markas Kompetai. Dalam kondisi genting itu lalu datanglah Residen Kedu R.P. Soeroso dan Kepala Polisi Kota Inspektur Legowo untuk meminta massa mengurungkan niatnya. Karena kalau dipaksakan tetap menyerbu markas Kompetai akan banyak memakan korban jiwa di pihak kita.
Korban yang gugur di pihak kita ada 5 yaitu Kusni, Djajus, Sujud, Samad Sastrodimedjo, dan Slamet (yang meninggal 2 hari setelah dirawat di RSU Tidar).
Ke empat orang yang langsung gugur yaitu Kusni, Djajus, Sujud, Samad Sastrodimedjo lalu dimakamkan di Makam pahlawan dengan dihantarkan oleh massa yang banyak. Akibat peristiwa di jalan Tidar ini pasukan kompetai yang bermarkas di Jalan Tidar lalu dipindahkan ke Wonosobo dan bekas markasnya digunakan sebagai markas BKR. Untuk mengenang kejadian kepahlawanan itu kemudian dibangun tugu di dekat Gunung Tidar. (Arsip Sejarah Peristiwa Magelang, KODAM VII/DIPONEGORO).
Tentara Inggris kemudian datang di Magelang tanggal 26 Oktober 1945. Oleh Sekutu mereka ditugaskan untuk mengurus tawanan perang yang ada di Magelang. Tetapi ternyata mereka membawa maksud lain, yaitu dengan NICA yang juga menjadi bagian dari pasukan mereka. NICA merupakan pasukan kolonial Belanda. Mereka dicurigai akan berusaha mencoba menduduki Magelang kembali. Setelah datang mereka membangun benteng, mengeluarkan larangan dan aturan yang harus dipatuhi rakyat Magelang. Itulah yang membuat rakyat menjadi tidak senang, hingga pada akhirnya terjadi pertempuran yang dahsyat.
Peristiwa lain yang tidak kalah hebatnya adalah pembantaian penduduk Dusun Tulung Magelang yang berjumlah kurang lebih 50 orang dibunuh secara kejam oleh pasukan Jepang. Di duga pasukan Jepang itu didatangkan dari Semarang karena pada pertengahan bulan Oktober sekutu sudah mengirimkan ke Semarang.

Pada tanggal 31 Oktober 1945 pasukan Kido Butai yang masuk ke gedung SMP N 1 Magelang menyergap beberapa guru dan murid yang sedang berlatih kepalang merahan di sekolah. Oleh bapak Siagian para murid diperintahkan untuk mencari perlindungan. Dan para murid mencari perlindungan di ruang guru. Akan tetapi para murid ini ditembaki lewat pintu angin dengan menggunakan senjata automatis. Sehingga akhirnya pasukan Kido Butai dapat masuk ke dalam ruang guru. Para murid akhirnya semua menyerah dengan mengangkat tangan sebab kalau tidak mengangkat tangan jiwa para murid pasti semuanya akan dihabisi oleh tentara Kido butai ini. Seorang murid bernama Prayitno yang kebetulan sedang bertugas jaga di sekolah itu ditembak dan gugur di tempat. Prayitno ini sehari-harinya selalu memakai kupluk (songkok) dan Prayitno ini anak dari Temanggung.
Para murid SMP N 1 Magelang ini lalu ditawan dan digiring ke arah balaiirung oleh tentara Kido Butai dan disuruh duduk dengan tangan di atas kepala. Selanjutnya salah satu tentara Kido Butai menyuruh Pak Siagian untuk berjibaku dengan memberikan senjatanya namun Bapak guru Siagian menolaknya.
Sedangkan seorang murid yang bernama Soeprapto dari kejauhan nampak merunduk-runduk menuruni selokan air Kota yang berada di belakang SMP N 1 Magelang. Lalu Soeprapto terus menyusup ke beranda gedung SMP bagian sayap kiri. Maksud Soeprapto ini hendak membebaskan guru dan para siswa SMP N 1 Magelang yang sedang ditawan oleh Kido Butai. Setelah dekat dengan balaiirung sebelah selatan saudara Soeprapto dengan cara merunduk / membongkok membelokkan diri ke arah utara jadi berhadap-hadapan dengan para tawanan dengan menenteng senjata disebelah tangan tangannya. Akan tetapi salah seorang tentara Kido butai melihatnya lalu dengan tangkas dan cepat tentara Kido Butai mengacungkan senjatanya ke arah Soeprapto dan menarik picu senjatanya. Soeprapto tertembak tepat di dahinya Soeprapto. Pada waktu itu Soeprapto mengenakan baju hijau dan memakai topi baja akan tetapi peluru yang ditembakkan tentara Kido Butai menembus topi bajanya dan langsung menembus kepalanya. Tersungkurlah Soeprapto dengan posisi tengkurap dengan kepala ke arah utara. Dalam kondisi telah tertembak akan tetapi Soeprapto masih berusaha mengacungkan tangan kirinya ke atas untuk memekikkan kata "Merdeka" akan tetapi tidak kesampaian. Setelah itu para tawanan yang terdiri dari dua guru yang bernama Siagian dan Fx. Surjowidagdo (mengalami luka-luka parah terkena tembakan) dan para murid diminta berdiri lalu digiring ke depan gedung SMP lalu berjalan menuju ke utara menyusuri jalan Botton ke arah markas tentara Sekutu (Inggris) di Badaan. Di Badaan para tawanan dimasukkan ke dalam rumah blok militer dekat Plengkung yang menghadap ke selatan. Dan diantara tawanan dalam rumah itu yang paling tua adalah seorang pensiunan Bupati Kendal dengan usia +/- 80 tahun dan ada pula yang anggota BKR yang menceriterakan pembentukan BKR sudah dimulai dan diatur dengan komandan regu, komandan seksi dan seterusnya. Mungkin anggota BKR ini adalah bekas anggota PETA/HEIHO.
Tanggal 1 November 1945 Bung Karno datang ke Magelang berunding dengan tentara Inggris yaitu Jendral Bethell untuk menyerukan agar kedua belah pihak menghentikan pertempuran. Siang harinya para tawanan dibebaskan dan boleh pulang ke rumah masing-masing.
Hingga pada akhirnya tanggal 21 November 1945 (malam hari) karena sadar adanya perbedaan kekuatan yang sangat mencolok pasukan Inggris mundur dan meninggalkan Magelang menuju Ambarawa.

DAFTAR PUSTAKA
Arsip Sejarah Peristiwa Magelang Kodam VII/Diponegoro

Arsip Sejarah Kodam VII/Diponegoro Lapian. 1988. Dibawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalaminya. Jakarta: Arsip Nasional RI

Darto Harnoko, Magelang Pada Mas Revolusi Fisik Periode 1945-1949. Balai Kajian Sejarah. Yogyakarta

Nagazumi, Akira. 1988. Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. Terjemahan Taufik Abdullah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nugroho Adi Perdana. 2010. Pengaruh Pendudukan Jepang Terhadap Masyarakat Magelang 1942-1945. Paramita Vol. 20 No. 2 - Juli 2010.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed). 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Priadji. 1997. “Perjuangan Komando Distrik Magelang Pada Masa Revolusi Fisik Tahun 1948-1949”.
Skripsi. Jurusan Sejarah UNNES

Ricklefs, MC. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Soemardjan, Selo. 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: UGM Press

Soemarmo, AJ. 2001. Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press

Utomo, Budi Cahyo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Semarang : IKIP Semarang Press

Wiyono. dkk. 1991. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Tengah. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

4 komentar:

  1. SANGAT BAGUS PEMUATAN SEJARAH INI, SAYA ADALAH SEORANG PENULIS NOVEL FIKTIF, PENULISAN INI SANGAT MEMBANTU.
    MOHON IZIN UNTUK SAYA JADI REFERENSI BAHAN TULISAN.
    SALAM SUKSES UNTUK ANDA.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan dan terima kasih banyak atas perhatiannya

      Hapus
  2. Gan mohon ijin tulisannya dijadikan refrensi ya. berhubung sy sedang menulis modul SMA tentang pendudukan jpg di Magelang..terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo. Untuk SMA berapa di Magelangnya Bu Mela Mita Septiana.

      Hapus