Kamis, 14 April 2011

PENGADAAN SUKHOI 27/30 TNI AU

PENGADAAN SUKHOI 27/30 TNI AU

Rusia menawarkan cara pembayaran kenyal (flexible) kepada Indonesia untuk pembelian pesawat tempur serbaguna Sukhoi Su-30MKI, pesawat yang pernah diminati Indonesia bagi TNI AU. Kehadirannya terhadang oleh krisis moneter dan masalah Timor Timur sehingga kehadirannya di Bumi Indonesia tersendat hingga sekarang.
Tawaran Rusia tersebut dikemukakan oleh Mikail A Pogosyan, pucuk pimpinan pabrik pesawat tempur Sukhoi, kepada Kompas, awal September 2002, di Moskwa. "Sukhoi punya tradisi cara pembayaran saling menguntungkan kedua belah pihak, yaitu sebagian dapat dibayar dengan barang produksi Indonesia atau mungkin cara lain yang diusulkan oleh Indonesia," ujarnya memberi contoh yang pernah diberikan kepada India, Cina, dan Vietnam. Dalam arti lain Rusia bersedia pembayaran dengan cara imbal-beli (counter-trade), namun Pogosyan belum bersedia merinci lebih rinci sebelum kontrak ditandatangani. ' Tahun 1996, sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Udara pernah mencicipi kehebatan mesin perang terbang unggulan Rusia ini di Jakarta, sewaktu Rusia menghadirkan Sukhoi Su-30MKI di Indonesia Air Show. Letnan Satu (Pnb) Agung "Sharky" Sasongkojati, penerbang F-16 yang tergabung dalam tim aerobatik Elang Biru, menjadi pilot pertama Indonesia yang diizinkan membuat pergerakan Pugachev Cobra, pergerakan yang tersohor itu, pada pameran tersebut. Pergerakan hebat ini melekat erat pada kehebatan pesawat Sukhoi. Kini "Sharky" berpangkat Mayor dan bertugas di Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas). Terkesan akan kehebatan pesawat tempur buatan Rusia ini, Indonesia waktu itu menyatakan minatnya untuk mengadakannya bagi TNI Angkatan Udara-nya. Disayangkan, embusan angin kencang krisis moneter yang menerpa Indonesia serta negara kawasan Asia menjadi kendala ditambah lagi krisis Timor Timur membuat pengadaan Su-30MKI tambah tidak terjangkau akibat tekanan-tekanan yang dilancarkan. Akhir-akhir ini baik dari pihak Rusia pun Indonesia seiring dengan mulai lebih membaik dan meningkat lagi hubungan antara kedua negara, minat menjual dan membeli jet tempur supersonik bermesin ganda tersebut tambah menggeliat. Apalagi menoleh pengalaman pernah terkena embargo suku cadang bagi ratusan pesawat tempur MiG-15, MiG-17 dan jet supersonik MiG-21 maupun pembom Tu-16 di masa dekade tahun 1960 sehingga melumpuhkan kekuatan Angkatan Udara maupun Angkatan Laut Republik Indonesia, Indonesia ketika itu tidak punya pilihan kecuali menoleh ke Blok Timur untuk pasokan pesawat tempur dan kapal perang yang dibutuhkan bagi pembebasan Irian Jaya sebab pihak Barat menolak memasoknya. Indonesia kemudian juga tidak punya pilihan lain pascaera tahun 1965, kecuali menggantungkan diri pada pemasok tunggal Barat untuk menjaga kedaulatan udaranya. Mulailah jet-jet tempur Barat memperkuat TNI Angkatan Udara, termasuk juga pesawat angkutnya. Kemudian untuk ke-dua kalinya Indonesia mencicipi pil pahit embargo, kali ini dari Barat, dipicu oleh kasus Timor Timur dan keterbatasan dana akibat terpaan krisis moneter bagi pengadaan pesawat baik militer pun komersial. Belajar dari pengalaman masa silam dan terakhir ini, serta pengalaman negara Malaysia dengan kombinasi perpaduan produk Barat dan Timur bagi Angkatan Udara-nya, Indonesia meski masih terbatas dananya, mulai pula mengambil sikap tidak ingin tergantung oleh pemasok tunggal bagi sistem alat pertahanannya. Kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Ceko beberapa waktu lalu merupakan salah cerminnya. Berbeda dengan Malaysia yang baru mengoperasikan MiG-29, Indonesia sudah tidak asing lagi dengan sistem Blok Timur (Uni Soviet), pernah mengoperasikan jet supersonik MiG-21 yang kala itu merupakan pesawat yang disegani. Indonesia kala itu menjadi negara pertama di luar Blok Timur, Angkatan Udara-nya dipersenjatai dengan jet mutakhir -waktu itu- tersebut. Pertama pula yang di luar Uni Soviet memiliki pembom Tupolev Tu-16 Badger yang mampu menjatuhkan bom nuklir serta pernah menyusup ke jantung Australia, llyushin II-28 merupakan pembom ringan Blok Timur lainnya yang pernah dioperasikan Indonesia. "Dengan kemampuan radius terbang jarak jauh, kami yakin pesawat Su-27 atau Su-30 cocok bagi Indonesia yang memiliki wilayah udara luas," alasan Pogosyan mengapa Sukhoi menawarkan jenis jet tempur supersonik tersebut. Ia tambah yakin bahwa pesawat tempurnya cocok bagi Indonesia sebab sejumlah negara di kawasan ini sudah pula meliriknya, di antaranya Malaysia dan Korea Selatan. "Sukhoi ikut serta aktif dalam tender-tender di negara-negara Asia Tenggara," ujarnya lagi. Bila Indonesia jadi membeli Su-3OMKI, jenis yang sama dibeli India dan diproduksi India di bawah lisensi, Rusia juga bersedia memberi kepada alih teknologi serta membantu mengembangkan industri dirgantara Indonesia. Selain India, Rusia juga memberi lisensi kepada RR Cina memproduksi Sukhoi Su-27 Flanker. Pogosyan yang berencana datang ke Indonesia untuk memberi pemaparan mengharapan, dari pengadaan Su-30 Indonesia tersebut, suatu kerja sama jangka panjang 10 tahun dengan industri Indonesia. Selain itu, menurut dia, juga mendidik para penerbang serta mengirim para ahlinya kepada Indonesia dan membantu membangun sistem logistiknya. Sukhoi yang ditawarkan Rusia antara lain dipersenjatai dengan rudal H-59ME udara-ke-darat, H-31A udara-ke-kapal dan R-27R1 udara-ke-udara dan rudal ke-balik-cakrawala (over-the-horizon) serta sejumlah rudalnya dengan cakupan yang amat luas radarnya. Selain Su-30MKI, Rusia juga menawarkan kepada Indonesia helikopter buatan pabrik Mil di antaranya Mil-8 dan Mil-17, Mi-2A, juga --bila berminat-- helikopter serang Mi-28. Pabrik helikopter ini keseluruhannya pernah membuat 28.000 unit, dioperasikan oleh 90 negara. Pabrik lainnya, Kamov yang berada di luar Kota Mokswa juga menyodorkan buatannya. Mungkin salah satu yang menarik bagi Indonesia adalah heli pengintai Ka-31 untuk patroli maritim di perairan Indonesia yang amat luas. Selain berpangkalan di atas kapal, helikopter segala cuaca Ka-31 ini berpangkalan di darat. Dengan kemampuan terbang jarak jauh, kecepatan jelajah patrolinya adalah 100 km per jam.
Pertahanan dirgantara Indonesia kini dilengkapi dua pesawat Sukhoi Su-27 tipe SK Upgrade yang tiba di Lapangan Udara Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, Rabu (27/8) pagi tadi. Dalam waktu tiga pekan, dua kendaraan tempur itu siap diuji coba pilot dari pabrik asalnya, Rusia. Sebanyak enam pilot TNI Angkatan Udara juga segera datang dari Moskow setelah dilatih menerbangkan Su-27 selama dua bulan. Paket Sukhoi pun akan dilengkapi dua Su-30 yang bakal datang dari Rusia sekitar sepekan lagi, yang rencananya disusul kemudian dua helikopter Mi-35, September mendatang.
Menurut instruktur pesawat F-16 Mayor Penerbang TNI AU Agung Sasongko Jati, tujuan utama pembelian keenam alat tempur itu bukan untuk kekuatan militer. Sebab, lantaran jumlahnya sedikit, peralatan itu hanya diprioritaskan untuk mencetak penerbang-penerbang terlatih dan profesional. Keenam pilot yang sudah dilatih khusus nantinya ditugaskan menurunkan ilmunya kepada pilot-pilot. Targetnya, supaya pada akhirnya jumlah penerbang andal di Tanah Air meningkat. "Dalam waktu enam bulan, jumlah penerbang bisa meningkat sampai 16 orang. Jadi, kalau nanti beli pesawat lagi, penerbang-penerbang kita sudah siap," jelas Agung kepada Arief Suditomo, dalam dialog di Studio SCTV, Jakarta, Rabu (27/8) petang. Target lain yang diyakini akan dicapai dengan pembelian paket Sukhoi, lanjut Agung, adalah meningkatkan martabat kedirgantaraan Indonesia yang selama ini dipandang sebelah mata. Seperti kasus lolosnya pesawat tempur Hornet F/A-18 milik AU Amerika Serikat di Pulau Bawean, Jawa Timur, awal Juli silam . "Dengan adanya Sukhoi, maka kita membuat tekanan ke luar negeri agar berhati-hati memasuki wilayah kita," tegas pilot yang juga menerbangkan Hawk-200 itu. Menurut rencana, pesawat-pesawat tercanggih se-Asia Tenggara tersebut ditempatkan di pangkalan udara wilayah timur yang berbatasan dengan negara lain. Di Asia sendiri, baru beberapa negara yang dilengkapi Sukhoi, antara lain Malaysia, India, Vietnam, dan Cina. Memang, tambah pilot yang dijuluki Sharky ini, secara jumlah, Sukhoi tak mampu menambah kekuatan operasional TNI AU. Idealnya, komposisi tangguh pesawat tersebut bisa mencapai 100 unit Tapi dia meyakinkan bahwa kepemilikan Sukhoi tak kalah efektif dengan satu skuadron pesawat tempur jenis F-16 yang dimiliki TNI AU. Sebab, secara keseluruhan, Sukhoi jauh lebih unggul dibanding F-16, terutama yang tipe generic. Meskipun berbadan lebih besar, Sukhoi dengan gaya andalan patukan kobra-nya memiliki kemampuan tempur dan kelincahan lebih hebat dibanding F-16. "Dari segi radar, rudal, dan senjata-senjata lainnya, Sukhoi menang jauh," beber Agung. Ibaratnya, lanjut dia, F-16 versus Sukhoi seperti pertempuran antara pistol generasi sederhana dengan senapan serbu terbaru yang dilengkapi alat melihat di malam hari serta fasilitas canggih lainnya. Su-27 dikenal sebagai pesawat tempur multifungsi, terutama fungsi air superiority atau keunggulan di udara. Pesawat dengan fungsi ini memiliki satu ciri khas yakni jarak jangkauan jelajahnya yang jauh, serta manuverabilitas yang tinggi. Su-27 memiliki kemampuan combat radius sejauh 1.500 kilometer serta jarak jelajah maksimal 4.000 km, alias sepersepuluh keliling bumi. Artinya, apabila ada pesawat Australia bermain-main di sekitar negara Timor Leste atau Papua, Su-27 mampu mencegatnya walaupun take-off pesawat itu dari Makassar, Sulawesi Selatan. Sementara Su-30, memiliki maximum operating range sampai 5.200 km dan kecepatan tertinggi mencapai 2,3 kali kecepatan suara. Pengamat militer ini menyatakan, kemampuan Su-27 SK Upgrade setara dengan F-18 yang biaya operasinya dinilai terlalu mahal. Pesawat tempur yang mampu menandingi kecanggihan Su-27 cuma tipe-tipe terbaru seperti F-22 Raptor. Sementara Su-30 lebih unggul dibanding Strike Eagle dan F-15 Eagle. "Dalam segala aspek, Su-30 jauh lebih unggul sehingga bisa menjawab tantangan perang di masa depan," ucap Agung.

Sumber :
Kompas, 8 September 2002 http://www.ksatrian.or.id/tulisan/su-tawar.htm

1 komentar: