PERANAN TORPEDO DAN PELURU KENDALI DI DALAM TEKNOLOGI ANTI AKSES ANGKATAN LAUT
Untuk merespon konsep strategi dan operasi angkatan laut yang berfokus pada peperangan kawasan littoral, kini beberapa negara berkembang menembangkan strategi anti akses.
Strategi anti akses adalah strategi yang bertujuan menghambat manuver kekuatan angkatan laut lawan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Untuk dapat melaksanakan strategi anti akses ini sedikitnya terdapat dua persyaratan dari aspek teknologi yang harus dipenuhi oleh angkatan laut.
Pertama, sistem sensor.
Rudal anti kapal maupun rudal jelajah hanya dapat bekerja dengan baik apabila didukung oleh sistem sensor yang memadai dan dapat diandalkan. Bentuk sistem sensor itu bisa berupa radar pengamatan, radar kendali penembakan, dapat juga berupa sistem pandu berbasis satelit. Sistem pandu berbasis satelit sangat penting untuk sasaran-sasaran yang diluar daya jangkau radar kendali penembakan, meskipun sebenarnya bisa saja semuanya dipercayakan pada pemandu yang ada di rudal tersebut.
Kedua, peperangan elektronika.
Dalam aplikasi strategi anti akses, kemampuan ini mutlak dibutuhkan karena merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari strategi anti akses. Apabila radar pengamatan dan perangkat sensor lainnya telah dibungkam oleh lawan, rudal anti akses tidak akan dapat digunakan sebagaimana fungsi asasinya. Oleh sebab itu, setiap angkatan laut yang serius mengembangkan stratei anti akses harus mengadopsi teknologi yang erkaitan dengan peperangan elektronika semisal ECM (Electronic Counter Measures), ECCM (Electronic Counter Counter Measures), dan ESM (Electronic Support Measures).
Tanpa didukung dua teknologi terkait, implementasi strategi anti akses tidak akan terlaksana. Dan dewasa ini masalah yang dihadapi oleh angkatan laut negara berkembang secara teoritis potensial adalah menyangkut kedua hal tersebut. Ketersediaan perangkat sensor dan kemampuan peperangan elektronika bersifat fundamental. Tanpa hal tersebut, kepemilikan rudal berkemampuan anti akses menjadi seolah tidak berarti banyak dari sudut pandangan strategis.
Sebenarnya kedua jenis perangkat tersebut banyak tersedia di pasaran internasional. Namun kendala yang dihadapi oleh angkatan laut negara berkembang adalah ketersediaan dana dan penerapan kendali ekspor yang ketat oleh negara-negara produsen, khususnya negara-negara Barat. Adapun produk buatan Rusia dan China dari segi harga maupun keandalan bisa bersaing dengan keluaran negara-negara Barat. Namun pengadaan satu sistem rudal beserta sistem sensor dan perangkat peperangan elektronika masih dipandang terlalu mahal daripada hanya membeli rudal beserta sistem kendali penembakannya saja.
Gambaran Strategi Anti Akses di Indonesia
Potensi Indonesia untuk menggelar strategi anti akses sudah lama diperhitungkan oleh beberapa penggunaan perairan negeri ini. Oleh sebab itu secara tidak langsung mereka mencoba mengendalikan sistem senjata angkatan laut yang dijual ke Indonesia, khususnya rudal anti kapal maupun rudal jelajah. Begitu pula dengan perangkat sistem sensor, khususnya yang berkemampuan di atas 40 mil laut.
Walaupun implementasi teknologi anti akses tidak murah akan tetapi Indonesia bisa mewujudkannya dengan tetap berbasis pada cost effectiveness. Idealnya adalah memadukan jaringan radar pengamatan maritim berkemampuan hight frequency dapat difungsikan sebagai over horizon radar (OTHR), sehingga bisa memperpanjang kemampuan deteksi untuk mendukung rudal anti kapal. Penggunaan radar non hight frequency bisa saja ditempuh, akan tetapi jangkauan efektifnya hanya akan berkisar pada 40 mil laut.
Untuk pasokan jaringan radar pengamatan maritim, sesungguhnya ada peluang menjalin kerjasama dengan pihak tertentu di dalam negeri yang tengah mengembangkan radar. Radar yang mereka kembangkan selama ini perlu ditingkatkan kemampuannya sehingga memenuhi spesifikasi militer. Sedangkan rudal anti kapal berbasis di daratan cukup banyak tersedia di pasaran internasional termasuk salah satunya adalah rudal versi kapal perang yang kini dioperasikan oleh TNI AL.
Membangun jaringan radar pengamatan maritim beserta rudal anti kapal berbasis di daratan hanya salah satu pendekatan dalam pengembangan strategi anti akses. Pendekatan lainnya yaitu membangun kemampuan serupa yang berbasis ruang angkasa. Untuk hal yang terakhir bukan hal mustahil, mengingat para ahli Indonesia telah mampu membuat satelit. Yang dibutuhkan adalah kemampuan politik pemerintah dalam membenahi pertahanan, sebab adanya kemauan politik akan mengurangi hambatan seperti masalah anggaran.
Strategi anti akses merupakan perpaduan antara sistem senjata di laut, daratan dan udara. Walaupun Indonesia mempunyai keterbatasan dalam membangun kekuatan pertahanannya, namun bukan berarti tidak ada peluang yan tersedia. Ekploitasi kondisi geografis wilayah Indonesia melalui teknologi anti akses merupakan satu diantara peluan itu.
Dari aspek teknologi, eksploitasi dengan menggunakan teknologi yan "biasa-biasa saja" yang sebagian berbasis industri pertahanan nasional sudah cukup untuk membuat pengguna perairan Indonesia berpikir keras. Sedangkan dari aspek strategis, kemampuan Indonesia menggelar strategi anti akses akan meningkatkan kemampuan penendalian laut dan daya tawar di tingkat kawasan dalam hubungan antar bangsa.
Strategi anti akses adalah strategi yang bertujuan menghambat manuver kekuatan angkatan laut lawan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Untuk dapat melaksanakan strategi anti akses ini sedikitnya terdapat dua persyaratan dari aspek teknologi yang harus dipenuhi oleh angkatan laut.
Pertama, sistem sensor.
Rudal anti kapal maupun rudal jelajah hanya dapat bekerja dengan baik apabila didukung oleh sistem sensor yang memadai dan dapat diandalkan. Bentuk sistem sensor itu bisa berupa radar pengamatan, radar kendali penembakan, dapat juga berupa sistem pandu berbasis satelit. Sistem pandu berbasis satelit sangat penting untuk sasaran-sasaran yang diluar daya jangkau radar kendali penembakan, meskipun sebenarnya bisa saja semuanya dipercayakan pada pemandu yang ada di rudal tersebut.
Kedua, peperangan elektronika.
Dalam aplikasi strategi anti akses, kemampuan ini mutlak dibutuhkan karena merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari strategi anti akses. Apabila radar pengamatan dan perangkat sensor lainnya telah dibungkam oleh lawan, rudal anti akses tidak akan dapat digunakan sebagaimana fungsi asasinya. Oleh sebab itu, setiap angkatan laut yang serius mengembangkan stratei anti akses harus mengadopsi teknologi yang erkaitan dengan peperangan elektronika semisal ECM (Electronic Counter Measures), ECCM (Electronic Counter Counter Measures), dan ESM (Electronic Support Measures).
Tanpa didukung dua teknologi terkait, implementasi strategi anti akses tidak akan terlaksana. Dan dewasa ini masalah yang dihadapi oleh angkatan laut negara berkembang secara teoritis potensial adalah menyangkut kedua hal tersebut. Ketersediaan perangkat sensor dan kemampuan peperangan elektronika bersifat fundamental. Tanpa hal tersebut, kepemilikan rudal berkemampuan anti akses menjadi seolah tidak berarti banyak dari sudut pandangan strategis.
Sebenarnya kedua jenis perangkat tersebut banyak tersedia di pasaran internasional. Namun kendala yang dihadapi oleh angkatan laut negara berkembang adalah ketersediaan dana dan penerapan kendali ekspor yang ketat oleh negara-negara produsen, khususnya negara-negara Barat. Adapun produk buatan Rusia dan China dari segi harga maupun keandalan bisa bersaing dengan keluaran negara-negara Barat. Namun pengadaan satu sistem rudal beserta sistem sensor dan perangkat peperangan elektronika masih dipandang terlalu mahal daripada hanya membeli rudal beserta sistem kendali penembakannya saja.
Gambaran Strategi Anti Akses di Indonesia
Potensi Indonesia untuk menggelar strategi anti akses sudah lama diperhitungkan oleh beberapa penggunaan perairan negeri ini. Oleh sebab itu secara tidak langsung mereka mencoba mengendalikan sistem senjata angkatan laut yang dijual ke Indonesia, khususnya rudal anti kapal maupun rudal jelajah. Begitu pula dengan perangkat sistem sensor, khususnya yang berkemampuan di atas 40 mil laut.
Walaupun implementasi teknologi anti akses tidak murah akan tetapi Indonesia bisa mewujudkannya dengan tetap berbasis pada cost effectiveness. Idealnya adalah memadukan jaringan radar pengamatan maritim berkemampuan hight frequency dapat difungsikan sebagai over horizon radar (OTHR), sehingga bisa memperpanjang kemampuan deteksi untuk mendukung rudal anti kapal. Penggunaan radar non hight frequency bisa saja ditempuh, akan tetapi jangkauan efektifnya hanya akan berkisar pada 40 mil laut.
Untuk pasokan jaringan radar pengamatan maritim, sesungguhnya ada peluang menjalin kerjasama dengan pihak tertentu di dalam negeri yang tengah mengembangkan radar. Radar yang mereka kembangkan selama ini perlu ditingkatkan kemampuannya sehingga memenuhi spesifikasi militer. Sedangkan rudal anti kapal berbasis di daratan cukup banyak tersedia di pasaran internasional termasuk salah satunya adalah rudal versi kapal perang yang kini dioperasikan oleh TNI AL.
Membangun jaringan radar pengamatan maritim beserta rudal anti kapal berbasis di daratan hanya salah satu pendekatan dalam pengembangan strategi anti akses. Pendekatan lainnya yaitu membangun kemampuan serupa yang berbasis ruang angkasa. Untuk hal yang terakhir bukan hal mustahil, mengingat para ahli Indonesia telah mampu membuat satelit. Yang dibutuhkan adalah kemampuan politik pemerintah dalam membenahi pertahanan, sebab adanya kemauan politik akan mengurangi hambatan seperti masalah anggaran.
Strategi anti akses merupakan perpaduan antara sistem senjata di laut, daratan dan udara. Walaupun Indonesia mempunyai keterbatasan dalam membangun kekuatan pertahanannya, namun bukan berarti tidak ada peluang yan tersedia. Ekploitasi kondisi geografis wilayah Indonesia melalui teknologi anti akses merupakan satu diantara peluan itu.
Dari aspek teknologi, eksploitasi dengan menggunakan teknologi yan "biasa-biasa saja" yang sebagian berbasis industri pertahanan nasional sudah cukup untuk membuat pengguna perairan Indonesia berpikir keras. Sedangkan dari aspek strategis, kemampuan Indonesia menggelar strategi anti akses akan meningkatkan kemampuan penendalian laut dan daya tawar di tingkat kawasan dalam hubungan antar bangsa.
Untuk mengembangkan strategi anti akses, salah satu senjata pamungkas adalah torpedo. Kita punya kemampuan untuk kembangkan torpedo, sudah dilaksanakan oleh PT. DI melalui lisensi torpedo SUT. Cuma masalahnya sebagian besar komponen torpedo itu masih diimpor dari Eropa sebagai pemberi lisensi.
Itu tantangan nyata bagi kita. Memang ada keinginan untuk kembangkan torpedo sendiri. Keinginan demikian patut untuk dihargai, namun dibutuhkan waktu yang lama agar kita bisa menguasai teknologi torpedo secara mandiri. Karena ilmu-ilmu tentang pengembangan torpedo harus kita curi dan sangat keliru kalau harapkan orang lain akan sumbangkan ilmu itu kepada kita.
Pertanyaannya, apakah ada program pemerintah dan industri terkait untuk kembangkan torpedo secara mandiri? Kalau ada bagus. Tetapi tetap saja ada masa transisi ketika teknologi torpedo dicoba untuk dikuasai.
Dalam masa transisi itu, AL tetap butuh torpedo untuk kepentingan operasional. Itu kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda menunggu program torpedo nasional selesai. Artinya, kita tetap membutuhkan pasokan torpedo dari luar selama jangka waktu itu.
Masalahnya adalah tidak ada jaminan bahwa pasokan torpedo akan lancar sesuai kebutuhan kita. Masalah politik dapat mengalahkan soal uang. Meskipun kita punya uang, kalau penjual tidak mau jual kepada kita karena alasan politik, kita tidak bisa apa-apa.
Ingat, RI Matjan Tutul mandul hadapi kapal destroyer Belanda karena nggak punya torpedo. Kapalnya dijual oleh Jerman Barat ke Indonesia, tapi torpedonya tidak. Beberapa tahun lalu pun kita diembargo oleh Barat, akibatnya pengadaan senjata strategis kita dan suku cadangnya terhambat. Bukan nggak mungkin kasus serupa RI Matjan Tutul akan terjadi lagi di masa depan, dalam arti kapal diberikan tapi tanpa senjata.
Yang perlu kita antisipasi seandainya kita sepakat untuk mengembangkan strategi anti akses adalah upaya invisible hands hambat pengadaan torpedo untuk kita. Kecuali torpedo yang kita beli dari Rusia misalnya, itu pun tidak ada jaminan 100 persen. Pesan yang ingin disampaikan di sini adalah kita harus mengembangkan strategi ini secara diam-diam dan tidak agresif.
Ini juga nggak gampang, karena negara-negara maju punya data berapa rata-rata Indonesia beli torpedo dalam jangka waktu tertentu. Dengan data itu, mereka bisa memperhitungkan berapa kira-kira torpedo yang tersedia di arsenal kita.
Pertanyaannya, apakah ada program pemerintah dan industri terkait untuk kembangkan torpedo secara mandiri? Kalau ada bagus. Tetapi tetap saja ada masa transisi ketika teknologi torpedo dicoba untuk dikuasai.
Dalam masa transisi itu, AL tetap butuh torpedo untuk kepentingan operasional. Itu kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda menunggu program torpedo nasional selesai. Artinya, kita tetap membutuhkan pasokan torpedo dari luar selama jangka waktu itu.
Masalahnya adalah tidak ada jaminan bahwa pasokan torpedo akan lancar sesuai kebutuhan kita. Masalah politik dapat mengalahkan soal uang. Meskipun kita punya uang, kalau penjual tidak mau jual kepada kita karena alasan politik, kita tidak bisa apa-apa.
Ingat, RI Matjan Tutul mandul hadapi kapal destroyer Belanda karena nggak punya torpedo. Kapalnya dijual oleh Jerman Barat ke Indonesia, tapi torpedonya tidak. Beberapa tahun lalu pun kita diembargo oleh Barat, akibatnya pengadaan senjata strategis kita dan suku cadangnya terhambat. Bukan nggak mungkin kasus serupa RI Matjan Tutul akan terjadi lagi di masa depan, dalam arti kapal diberikan tapi tanpa senjata.
Yang perlu kita antisipasi seandainya kita sepakat untuk mengembangkan strategi anti akses adalah upaya invisible hands hambat pengadaan torpedo untuk kita. Kecuali torpedo yang kita beli dari Rusia misalnya, itu pun tidak ada jaminan 100 persen. Pesan yang ingin disampaikan di sini adalah kita harus mengembangkan strategi ini secara diam-diam dan tidak agresif.
Ini juga nggak gampang, karena negara-negara maju punya data berapa rata-rata Indonesia beli torpedo dalam jangka waktu tertentu. Dengan data itu, mereka bisa memperhitungkan berapa kira-kira torpedo yang tersedia di arsenal kita.
Strategi anti akses merupakan operasi gabungan dan melibatkan banyak sistem persenjataan
Kemajuan teknologi yang terkait dengan sistem senjata serta peredaran produk teknologi itu di pasaran internasional melahirkan kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara maju. Mereka khawatir sistem senjata hasil kemajuan teknologi itu akan makan tuan, seperti kasus Exocet MM-39 Angkatan Udara Argentina yang melumpuhkan kapal perang Inggris HMS Sheffield (D-80). Sebab sistem senjata itu memberikan kemampuan kepada negara-negara berkembang untuk mengembangkan kemampuan anti akses.
Sehingga wajar bila kini penjualan sistem senjata kepada Angkatan Laut negara-negara berkembang yang dapat digunakan untuk kepentingan anti akses sangat dikontrol. Hanya negara-negara berkembang yang digolongkan sebagai sekutu dan teman yang dapat memperoleh sistem senjata itu. Sistem senjata yang dimaksud di sini bukan semata rudal saja, tetapi mencakup pula pendukungnya seperti surveillance radar, fire control radar dan combat system management.
Indonesia yang di masa lalu relatif mudah mengakses sistem senjata yang mempunyai kemampuan anti akses kini tidak lagi menikmati kemudahan itu dari negara-negara Barat. Akibatnya, daya tangkal pada kapal perang yang memperkuat Angkatan Laut negeri ini mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Sebab sebagian besar sistem senjata yang ada di kapal perang itu kini telah kadaluarsa. Menurunnya kemampuan penangkalan diikuti oleh meningkatnya ancaman dan tantangan di laut yang muncul dari negara-negara di sekeliling Indonesia
Untuk menghadapi situasi demikian, Indonesia berpaling pada sistem senjata buatan Rusia dan Cina. Misalnya pengadaan rudal P-800 Onix alias Yakhont dari Rusia dan rudal C-802 dan C-705 asal Negeri Tirai Bambu. Pembelian dari dua negeri yang menjadi pesaing Paman Sam itu diharapkan mampu mendongkrak kembali kemampuan penangkalan Indonesia.
Sehingga wajar bila kini penjualan sistem senjata kepada Angkatan Laut negara-negara berkembang yang dapat digunakan untuk kepentingan anti akses sangat dikontrol. Hanya negara-negara berkembang yang digolongkan sebagai sekutu dan teman yang dapat memperoleh sistem senjata itu. Sistem senjata yang dimaksud di sini bukan semata rudal saja, tetapi mencakup pula pendukungnya seperti surveillance radar, fire control radar dan combat system management.
Indonesia yang di masa lalu relatif mudah mengakses sistem senjata yang mempunyai kemampuan anti akses kini tidak lagi menikmati kemudahan itu dari negara-negara Barat. Akibatnya, daya tangkal pada kapal perang yang memperkuat Angkatan Laut negeri ini mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Sebab sebagian besar sistem senjata yang ada di kapal perang itu kini telah kadaluarsa. Menurunnya kemampuan penangkalan diikuti oleh meningkatnya ancaman dan tantangan di laut yang muncul dari negara-negara di sekeliling Indonesia
Untuk menghadapi situasi demikian, Indonesia berpaling pada sistem senjata buatan Rusia dan Cina. Misalnya pengadaan rudal P-800 Onix alias Yakhont dari Rusia dan rudal C-802 dan C-705 asal Negeri Tirai Bambu. Pembelian dari dua negeri yang menjadi pesaing Paman Sam itu diharapkan mampu mendongkrak kembali kemampuan penangkalan Indonesia.
Strategi anti akses membutuhkan perpaduan peluru kendali berbasis di darat dan di kapal perang semisal C 705, C 802 atau P-800 Onix alias Yakhont.
Eksistensi rudal buatan Rusia dan Cina dalam arsenal Angkatan Laut negeri ini harus dieksploitasi secara optimal. Misalnya menghadirkan kapal perang yang menggendong rudal Yakhont di perairan sekitar Selat Malaka dan Selat Singapura secara rutin. Bisa pula menghadirkan kapal perang yang bersenjatakan C-802 di perairan Selat Lombok, Selat Ombai dan Laut Sulawesi secara rutin pula. Hal itu penting untuk unjuk kekuatan, sebab negara-negara di sekitar Indonesia hanya paham dengan bahasa kekuatan, bukan bahasa diplomasi yang bertumpu pada soft power.
Hingga awal 1990-an, selalu ada pemandangan indah di sekitar Selat Singapura apabila kapal perang Indonesia jenis kombatan melintas di sana. Sebagian kapal perang Negeri The Red Dot akan keluar dari pangkalannya dalam kondisi peran tempur mengawasi gerak-gerik kapal kombatan Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa kapal perang negeri ini sebenarnya mempunyai kemampuan penangkalan yang diperhitungkan oleh pihak lain apabila sistem senjatanya memadai dan tidak ketinggalan teknologi.
Pemandangan indah tersebut sangat besar peluangnya untuk diulangi kembali kini dan tahun-tahun ke depan. Syaratnya cuma satu, yaitu kita mampu mengeksploitasi kapal perang yang mengusung sistem senjata yang mematikan asal Rusia dan Cina.
Hingga awal 1990-an, selalu ada pemandangan indah di sekitar Selat Singapura apabila kapal perang Indonesia jenis kombatan melintas di sana. Sebagian kapal perang Negeri The Red Dot akan keluar dari pangkalannya dalam kondisi peran tempur mengawasi gerak-gerik kapal kombatan Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa kapal perang negeri ini sebenarnya mempunyai kemampuan penangkalan yang diperhitungkan oleh pihak lain apabila sistem senjatanya memadai dan tidak ketinggalan teknologi.
Pemandangan indah tersebut sangat besar peluangnya untuk diulangi kembali kini dan tahun-tahun ke depan. Syaratnya cuma satu, yaitu kita mampu mengeksploitasi kapal perang yang mengusung sistem senjata yang mematikan asal Rusia dan Cina.
Sumber :
Allhans, 2010, Teknologi Anti Akses Angkatan Laut, Defender Edisi 53 tahun 2010, Jakarta, hal : 60 - 63.
Allhans, 2010, Teknologi Anti Akses Angkatan Laut, Defender Edisi 53 tahun 2010, Jakarta, hal : 60 - 63.
http://damnthetorpedo.blogspot.com/2008/06/torpedo-dan-strategi-anti-akses.html
http://damnthetorpedo.blogspot.com/2010/01/eksploitasi-rudal-yakhont.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar