Kamis, 16 Juni 2011

PESAWAT SIKUMBANG

 PESAWAT SIKUMBANG


Tipe             Pesawat serang anti gerilya (COIN)
Produsen     LIPNUR
Perancang   Nurtanio
Status         Eksperimental
Pengguna    Indonesia

Data Teknis (NU-200)

Data Umum 
Awak: satu, pilot
Mesin: 1 × de Havilland Gipsy Six, 150 kW (200 hp)

Performa 
Kecepatan maksimum: 260 km/h (160 mph)
Jarak: 960 km (600 miles) 
Proses pembuatan N 200 Sikumbang di LIPNUR


Sikumbang adalah pesawat serang produksi LIPNUR cikal bakal IPTN (Sekarang PT Dirgantara Indonesia). Hanya sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka, Indonesia telah berhasil berdikari dan mandiri dengan membuat pesawat tempur untuk kepentingan angkatan udara Indonesia TNI-AU.
Pesawat Sikumbang (dengan kode dari pembuat: X-01) adalah pesawat low-wing monoplane yang dibuat di Indonesia pada tahun 1954 sebagai COIN dan pesawat anti gerilya .

Pesawat ini mempunyai fixed tricycle undercarriage. Pilot duduk di dalam bubble canopy.
Pesawat pertama mendapat nomor NU-200 di tahun 1954. 

 Penerbangan di bulan November 1954

Ini adalah Nurtanio (LIPNUR) NU-200 Sikumbang difoto tahun 1955.

Dan sebuah lagi NU-225 di tahun 1957. Pesawat kedua dipensiunkan pada tahun 1967.

 NU-225 di tahun 1957

 NU-200 setelah pensiun dan dijadikan monumen di Lanud Husein Sastranegara Bandung.

Nurtanio dan si Kumbang dalam Kenangan!

Pagi itu, 28 Oktober 2010, hari sumpah pemuda, saya berangkat dari Jakarta menuju Bandung. Sesampai di Bandung saya langsung menuju ke PTDI.   Dengan diantar oleh Avi, putra almarhum Nurtanio kami menuju hanggar tua tempat Nurtanio dulu bekerja membuat pesawat terbang eksperimen.

Diantara sekian banyak pesawat yang  diproduksi, pernah digunakan oleh beberapa sekolah penerbang (sekbang) sebagai pesawat latih.   Sekbang  AU di Jogyakarta, Sekbang di Curug dan juga  Angkatan Darat di Semarang, sempat menggunakan pesawat hasil Nurtanio ini.

Salah satu pesawat buatan Nurtanio yang cukup terkenal adalah “si Kumbang” yang ternyata sampai kini masih ada dan utuh.   Pesawat  dirawat dan dibangun kembali oleh beberapa eks anak buah almarhum Nurtanio yang setia sejak awal pembuatan “si Kumbang”.

Di Pagi hari yang cerah itu saya sempat bertemu dengan  (lihat gambar) Dr. Tedjo Narsoyo Reksuatmodjo, ST, MPd ( Dosen Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia) pangkat terakhir Letkol (mengenakan pici) dan Pak Darwis R (yang pakai Topi) serta beberapa orang yang pernah membantu almarhum Nurtanio bekerja di hanggar tua itu.

Mereka berasal dari angkatan pertama CASSA yang dikirim ke Spanyol untuk produksi pesawat C-212 di bulan Oktober 1975.   Dari waktu yang dialokasikan 6 bulan, mereka bisa menyelesaikannya hanya dalam waktu tidak lebih dari 4 bulan dan dari   10 “The Best Direct Labour of The Year” pada waktu itu 3 orang berasal dari Indonesia , yaitu Saudara Wagimun, Undang dan Toyo.   Satu prestasi yang sangat membanggakan.

Dalam Hanggar tua yang nyaris tidak terpelihara itu, masih ada tersimpan salah satu “mesin jahit” tua merek “singer” yang digunakan  untuk menjahit “fabric” sebagai bagian dari struktur kerangka pesawat terbang buatan Nurtanio.   Beberapa “test flight” yang dilaksanakan bagi pesawat-pesawat produksi Nurtanio dilakukan oleh Test Pilot asing antara lain Capt. Powers.

Menyaksikan bersama salah seorang putra Nurtanio dan para eks teknisi yang pernah bekerja membangun pesawat “si Kumbang” didalam Hanggar tua pagi hari itu, saya “merinding” terharu membayangkan bagaimana dengan peralatan yang seadanya, mereka semua bekerja untuk menghasilkan pesawat terbang buatan sendiri.   Dengan bertopang dalam tubuh tua yang sudah renta,mereka bercerita kepada saya dengan wajah yang sangat bercahaya penuh semangat dan harapan membeberkan kebanggaannya saat bekerja di “pabrik” pesawat terbang pertama dibumi pertiwi ini.   Mereka pula yang beberapa tahun belakangan ini membangun kembali “si Kumbang” dari sosok yang sudah setengah berkarat untuk diperbaiki seadanya , kemudian di cat untuk dapat dilihat sebagai sebuah pesawat yang utuh dan siap terbang.   Saat saya tanyakan, apakah pesawat ini bisa terbang, mereka sama menjawab sulit untuk mengembalikan kondisi pesawat tua ini untuk bisa terbang.   Tetapi mereka dengan penuh semangat menyampaikan kepada saya bahwa mereka sedang berusaha keras agar bisa, paling tidak untuk menghidupkan kembali “engine” pesawat “si Kumbang” ini.   Sungguh saya sangat mengagumi “semangat” yang tiada mengenal lelah apalagi menyerah dari para prajurit ini.

Saya tahu betul, semangat mereka itu dipicu oleh janji dari pihak PTDI, yang katanya akan membangunkan “museum” Nurtanio di hanggar tua itu dimana “si Kumbang” konon akan diperagakan disana.  Para Prajurit Purnawirawan ini menjadi sangat bersemangat kembali, karena ternyata akhirnya ada juga pihak yang sedikit menghargai pekerjaan mereka.

Tidak mudah sebenarnya mengajak para prajurit yang tanpa pamrih itu untuk bekerja kembali membangun si Kumbang yang sudah tergeletak bagai layaknya barang rongsokan milik para pemulung.

Mereka, sebagaimana seluruh keluarga besar Angkatan Udara, sulit untuk dapat menerima dan merasa sangat “dikhianati” saat nama Nurtanio dihilangkan begitu saja secara semena-mena dan sewenang-wenang oleh orang yang sangat berkuasa pada saat itu.   Mereka merasa “rumah” nya sendiri (pangkalan udara Husein Sastranegara) sudah di obrak abrik oleh orang lain, kemudian saat IPTN baru sedikit berkembang, satu per satu mereka pun dibuang keluar.   Demikian pula gedung-gedung fasilitas pangkalan dan perawatan pesawat Angkatan Udara satu persatu digusur dan dirubuhkan untuk kemudian dibangun gedung-gedung yang “mewah” dan “megah” serta menyingkirkan nama besar yang sangat dihormati Angkatan Udara sebagai Pahlawannya,  Bapak Nurtanio.

Beruntung dari semua produk Nurtanio, ada satu “si Kumbang” yang masih memungkinkan untuk dibangun kembali setelah beberapa waktu sempat menjadi semacam “monumen” di Lanud Husein Sastranegara Bandung.  Pesawat inilah yang saya saksikan dipagi hari itu.

Kami semua dengan menahan kesedihan dan kepedihan hati,namun tetap berselimut kebanggaan yang meluap-luap, didalam hanggar tua tidak terawat (namun masih terasa bernyawa dengan spirit dan semangat kuat membangun kekuatan udara), menyaksikan kembali “si Kumbang” yang baru saja di cat kembali seadanya, seolah menyaksikan kelahiran kembali Nurtanio !

Saya melihat wajah berbinar-binar dari prajurit eks anak buah Nurtanio, terasa masih menyimpan semangat yang tinggi, jauh dari sekedar harapan untuk dihargai orang lain, apalagi oleh PTDI atau pemerintah.   Saya tidak tega untuk berpisah begitu saja dengan mereka, para patriot udara, tanpa mengabadikannya dengan berfoto bersama didalam Hanggar yang sangat bersejarah namun terbengkalai tidak karuan.

Saya menangis dalam hati menyaksikan ini semua, dan diluar Hanggar diseberang landasan, masih terlihat kemegahan gedung-gedung PTDI walaupun sudah tidak terlihat lagi produksi pesawat terbangnya.   Tidak lagi terlihat sang Tetuko (Sing Tuku ora teko, Sing teko ora tuku).

Benar-benar “menyedihkan”, Angkatan Udara sudah jadi korban babak belur, namun pabrik pesawat kebanggaan bangsa tidak juga terwujud.   Quo Vadis PTDI, sebuah proyek penuh ambisi yang dibangun dengan kesombongan dan keangkuhan tiada tara kemudian berakhir dengan porak poranda. Semoga tidak terulang kembali.   Mudah-mudahan Tuhan YME mengampuni semua orang-orang yang berdosa dimuka bumi ini. Amin.

Inilah beberapa gambar yang sempat diabadikan dipagi hari yang cerah di Kota Bandung, 28 Oktober 2010.   Gambar yang berisi ribuan kata-kata , termasuk didalamnya berisi semangat militan dari para prajurit Udara kebanggaan Bangsa ! Swa Buana Paksa !  Bung Karno pernah berkata bahwa :” Bangsa Yang Besar adalah Bangsa yang menghargai para Pahlawannya !”

Kondisi pesawat "Si Kumbang" NU-200 RI01 saat ini.

Mesin Jahit Tua yang digunakan untuk Menjahit Kebutuhan Pesawat

Hangar Yang Digunakan Oleh Nurtanio

Gedung Belakang Hangar

Gedung Belakang Hangar Nurtanio

Dengan Sesepuh "Nurtanio" dan Si Kumbang
Dr. Tedjo Narsoyo Reksuatmodjo, ST, MPd ( Dosen Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia) pangkat terakhir Letkol (mengenakan pici) dan Pak Darwis R (yang pakai Topi) serta beberapa orang yang pernah membantu almarhum Nurtanio

Foto Bersama Dengan Sesepuh "Nurtanio"

Selain Si kumbang masih ada lagi satu pesawat buatan LIPNUR yang dinamakan Belalang.
Pada tahun 1958 berhasil diterbangkan prototip pesawat latih dasar "Belalang 89" yang ketika diproduksi menjadi Belalang 90. Pesawat yang diproduksi sebanyak lima unit ini dipergunakan untuk mendidik calon penerbang di Akademi Angkatan Udara dan Pusat Penerbangan Angkatan Darat. Di tahun yang sama berhasil diterbangkan pesawat oleh raga "Kunang 25". Filosofinya untuk menanamkan semangat kedirgantaraan sehingga diharapkan dapat mendorong generasi baru yang berminat terhadap pembuatan pesawat terbang.

Sekarang ini pesawat yang mirip dengan gambar tersebut dibeli dari Korea. Sayangnya produksi pesawat ini tidak pernah dilanjutkan dan bahkan pemerintah sibuk dengan program-program lisensi yang sangat membuat harga pesawat menjadi mahal.

Tahun 2009, Indonesia dikejutkan dengan keberhasilan anak-anak SMK memproduksi pesawat Jabiru yang membuat titik kebangkitan penerbangan di masa era reformasi ini menjadi terlihat kembali.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Pesawat_Sikumbang
http://sejarah.kompasiana.com/2010/10/30/nurtanio-dan-si-kumbang-dalam-kenangan/
http://www.aviastar.org/air/indonesia/lipnur_nu-200.php

1 komentar:

  1. Bismillah, kenapa tidak diteruskan ptoyek si kumbang Nu225,Nu 200 nurtanio ini?,prihatin sekali hanya cuma sejarah dan cerita proyek nurtanio sejak 1957,akan tetapi sebagai generasi muda tidak mau meneruskan proyek pesawat latih dan berfungsi sebagai pesawat COIN seperti Tucano,ov bronco.Coba mari kita kembangkan lagi si kumbang ini agar jadi maskot ditanah air,bahwa kita bisa mendisgn serta merakit sendiri kapal jenis COIN ini.mudah mudahan kementrian riset bisa berminat mengembangkan teknologi nurtanio ini kembali jadi maskot ditanah air.

    BalasHapus